TIDAK JADI MENINGGAL

Oleh : Hakim Syah Reza Lubis
            Medan, Tahun 2001, saat aku masih kelas 4 SD. Minggu pagi yang tenang tiba – tiba berubah menjadi kelabu.
            “assalamua’alaikum” omak (ibu) mengucap salam ketika memasuki dengan gelagat yang gelisah.
            Omak yang baru pulang belanja bahan masakan, langsung meletakkan barang yang dibawanya, dan langsung duduk di kursi.
            “wa’alaikumsalam” jawab kami.
            Aku yang sedang menonton televisi, dan bouk (adik ayah perempuan) yang tengah bekerja di mesin jahitnya, langsung tertuju kepada omak yang sedang tidak karuan.
            “ya Allah bouk... Kim...” ucap omak dengan nada panik.
            “kenapa kakak?” tanya bou kepada omak.
            “tadi aku jumpa si Maria waktu pulang belanja... dia bilang ada mobil tujuan Medan dari Aceh masuk jurang di daerah Sidikalang... ngengenge...” omak mencoba menjelaskan sambil merengek.
            Uak Maria merupakan teman seumuran omak, bukan teman dari kecil, tapi teman ketemu besar. Lebih tepat lagi teman seprofesi, yaitu agen jual – beli, mulai dari lemari bekas, kursi bekas, kulkas bekas, tempat tidur bekas, meja makan bekas, rumah, hingga jual beli tanah (lahan).
            Aku yang mendengar omak menyampaikan kabar buruk tersebut, tidak tahu harus berkata apa dan berbuat apa, namun aku tahu kalau omak khawatir itu adalah ayah. aku masih tidak percaya, rasanya seperti mimpi. seperti dikejutkan oleh petir yang menggelegar di siang bolong, tanpa ada mendung dan hujan.
            Saat itu handphone belum booming, yang punya handphone hanya segelintir orang saja. Kalau sekarang semua orang sudah punya handphone, baik dari ekonomi kelas atas maupun kelas bawah. Kala itu harga handphone belum terjangkau, sehingga yang punya hanya orang – orang dengan ekonomi menengah ke atas. Ayah belum punya handphone, kami apa lagi. Kalau kami sudah punya handphone, kami bisa langsung tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan ayah.
            “dari mana Kak Maria tahu kabar itu?” tanya bou penasaran.
            “ayahnya si Maria baca koran, terus dikasih tahu ke si Maria, di koran itu dibilang ada mobil jurusan Aceh – Medan, masuk ke dalam jurang di jalan lintas Sidikalang, salah seorang korbannya bernama Adam, usianya 40 tahun”  jawab omak ke bou.
            Jelas saja omak khawatir, karena dari semua ciri – ciri yang disebutkan Uak Maria banyak yang merujuk ke ayah. Ayah memang bekerja di Aceh, kalau pulang ke Medan naik mobil yang melewati jalan lintas Sidikalang, namanya sama dengan nama ayah, usianya juga sesuai dengan usia ayah saat itu.
            “koran apa? dan koran kapan? Yang dibaca ayah Kak Maria rupanya kak”
            “itulah... nggak ku tanya pulak”
            “cobalah kesana dulu kakak... bawak si Hakim” saran bou agar pergi ke rumah Uak Maria.
            Aku dan omak segera bergegas menuju rumah Uak Maria. Rumah kami dan rumah Uak Maria masih dalam satu kelurahan yaitu Kelurahn Sei Agul, serta masih dalam satu jalan utama yaitu Jalan Karya. Kami di Gang Suka Damai dan Uak Maria di Gang Subur, bila dari simpang Gang Suka Damai ke arah simpang Gang Subur, gang kami sama – sama berada di sebelah kiri Jalan Karya. Jalan karya memanjang dengan arah Utara – Selatan, jika melewati Jalan Karya dari arah Utara  ke Selatan, maka Gang Suka Damai lebih dulu, setelah itu ada Gang Wakaf (dari TK hingga kelas 3 SD kami pernah tinggal disini), kemudian ada Jalan Teuku Amir Hamzah, ketika aku belum masuk TK jalan ini bernama Jalan Suka Ramai, saat itu jalannya tidak selebar sekarang, banyak lobang di sana – sini yang digenangi air, semenjak aku SD perpotongan Jalan Karya dan Jalan Suka Ramai sudah disulap menjadi Simpang Empat yang memilik lampu lalu lintas. Jalan Suka Ramai yang memanjang dengan arah Timur – Barat, pada bagian Baratnya sudah menjadi jalan tembusan ke arah Gaperta, dengan ruas jalan yang lebih lebar dari Jalan Karya. Setelah Jalan Teuku Amir Hamzah, ada Gang Dukun (kami pernah disini sejak aku dilahirkan ke dunia), setelah itu baru Gang Subur. Antara Simpang Gang Dukun dan Gang Subur, kami pernah tinggal di tepi jalan besar (jalan karya), setelah pindah dari Gang Dukun.
            Oh ya... belum berangkat – berangkat ya dari tadi? Slow... aku masih mendeskripsikan letak dan lokasi antar rumahku dengan rumah Uak Maria, biar nggak tersesat dalam khayalan, maklumlah orang Geografi, jadi harus dijelaskan secara keruangan. Jarak antara rumah kami dengan rumah Uak Maria sekitar 1 km, kalau nggak percaya coba aja ukur, sekarang kan sudah ada aplikasi Google Map.
            Dari rumah aku dan omak berjalan menuju simpang Gang Suka Damai, setelah itu kami naik angkot ke Gang Subur, saat itu masih dikenakan Rp. 1.000 untuk omak dan aku Rp. 500. Kalau bukan karena darurat mana mau omak naik angkot ke rumah Uak Maria, biasanya omak jalan ke rumah Uak Maria. Omakku adalah orang yang tahan berjalan berkilo – kilometer, sepertinya sisa – sisa peradaban manusia masa berburu dan mengumpulkan makanan yang mampu berjalan sejauh ribuan kilometer masih tersisa pada dirinya. Itu merupakan satu hal yang membuatku kagum kepada beliau, meskipun dia putri asli Medan, namun dari apa yang ia ceritakan kepaku, sejak kecil dia sudah jalan jauh – jauh, kalau orang Medan bilang “melalak”, dan itu tertular pada diriku saat ini.
            Ketika tiba di depang Gang Subur, omak meminta kepada bang supir untuk berhenti. Setelah ongkos dibayar, kami berjalan menuju rumah Uak Maria, rumah Uak Maria di ujung gang, dari simpang jaraknya sekitar 200 m. Kami pun tiba di rumah Uak Maria.
            “assalamu’alaikum... assalamu’alaikum Mar...” sapa omak kepada penghuni rumah.
            “wa’alaikumsalam Fat” jawab Uak Maria mengahmpiri kami dari dalam rumah.
            “benarnya berita yang kau bilang tadi...? mau lihat aku korannya la” ucap omak.
            “eh masuk lah kelen dulu... bentar biar ku minta dulu korannya sama ayahku”
            Kami pun masuk kerumah, dengan rasa was – was kami menunggu Uak Maria yang tegah mengambil koran. Uak Maria datang dari arah belakang rumah dengan membawa koran plus dengan ayahnya yang menjadi sumber Informan.
            “eh kau Fat... coba kau cek dulu berita di koran ini... benarnya itu suami kau?” ucap ayah Uak maria sambil memberikan koran dari salah satu perusahaan surat kabar ternama di Medan.
            Omak membaca koran itu dengan seksama, aku pun yang duduk disamping omak ikut membacanya, koran tersebut merupakan terbitan kemarin. Semua yang disampaikan Uak Maria sesuai dengan yang dibaca omak. Bahkan disitu di ceritakan kronologis bagaimana mobil tersebut bisa terjerumus ke jurang. “mobil yang membawa penumpang dari arah aceh tersebut melaju kencang di salah satu tikungan jalan lintas Sidikalang, karena melihat mobil yang tiba – tiba datang dari arah Medan membuat supir hilang kendali, sehingga mobil tersebut beserta penumpangnya masuk ke dalam jurang” tulisan di koran.
            Membacanya membuat kami semakin GeGaNa (Gelisah Galu Merana), apalagi bisa dipastikan kalu itu memang benar – benar ayah, karena di koran tersebut tidak ditampilkan wajah – wajah para korban lakalantas (kecleakaan lalu lintas) tersebut. Kalau pun ditampilkan, pastilah kami tida sanggup menyaksikannya. Aku hanya bisa terpaku menyaksikan omak yang tengah bersedih.
            “ya Allah!!! Benarnya ini???” ucap omak histeris setelah membaca koran.
            “yaudah kau telepon ajalah ke Aceh Fat...” saran Uak Maria yang mencoba menenangkan omak.
            “jam segini belum buka lah wartel” ucap omak dengan nada sedih.
            Wartel bukanlah sejenis sayuran yang menjadi makanan kelinci, eh itu wortel ya? Lagi suasan sedih masih sempat aja bercanda! Serius dong! Ya sudah aku serius nih, wartel itu akronim dari Warung Telepon. Buat generasi terkini mungkin tidak pernah menikmati fasilitas wartel. Wartel merupakan layanan jasa yang menyediakan telepon, dimana tarif biaya permenitnya bisa kita lihat di layar.
            Masa – masa ketika handphone masih memlih – milih untuk dimiliki semua orang, saat itu merupakan masa kejayaan Wartel, kini aku yakin sudah tidak ada lagi Wartel yang beroperasi. Terakhir aku menggunakan jasa Wartel itu saat kelas 1 SMA di tahun 2007, setelah itu kedatangan handphone membunuh pendapatan pengusaha Wartel dengan paksa.
            Biasanya kalau ayah mau pulang atau ada sesuatu hal penting yang ingin di sampaikan ke kami, ayah menelepon ke nomor telepon Udak (Paman) Adek, beliau merupaka saudara kami dari pihak ayah, setelah itu Udak baru menyampaikan ke bou atau ke kami langsung. Tapi kalau kami yang hendak menghubungi ayah, kami menelepon ke nomor kantor ayah atau tetangga ayah. begitulah kondisi saat dunia belum di dalam genggaman manusia.
            “ya sudah... kau pakai telepon kami aja... tahu kau nomornya kan?” Uak Maria menawarkan.
            Omak mengeluarkan secarik kertas bertuliskan dua baris nomor telepon, baris pertama nomor atas nama Kantor Pengadilan Agama Singkil, baris kedua nomor atas nama Ayah Wawan. Ayah Wawan merupakan tetangga disebelah rumah ayah yang punya telepon, Wawan merupakan anak dari bapak yang menjadi tetangga ayah, anaknya seumuran denganku, dulu waktu ke Aceh aku sering bermain dengan dia. Selain hanya karena dia anak – anak laki yang di sebelah rumah ayah, juga karena orang tuanya buka warung mainan, jadi kalau main sama dia bisa menikmati berbagai mainan yang dimilikinya.
            Karena ini hari minggu, tentunya omak menelepon ke nomor ayah Wawan. Omak menekan tombol – tombol telepon sesuai dengan nomor yang tertera di kertas. Panggilan terkoneksi, menunggu diangkat dari sana, omak pun H2C, itu bukan struktur dari ikatan kimia, tapi akronim dari harap – harap cemas. Tuh kan bercanda lagi? Please serius sampai cerita ini kelar!
            “tuttt... tuttt... tuttt” tanda teleponnya sudah tersambung.
            “hallo... assalamu’alaikum... ini dengan siapa ya?” tanya ayah Wawan.
            “wa’alaikumsalam ayah Wawan... ini omaknya Hakim”
            “eh ibu... mau bicara sama ayahnya Hakim ya... sebentar ya biar di panggil...” ucap ayah Wawan dengan nada akrab.
            “mau di panggil????” ucap omak histeris.
            “iya buk... memang nggak mau di panggil?” jawab ayah Wawan bercanda.
            “eh boleh... boleh... pak, tolong ya pak” terlihat warna wajah omak mulai menenang.
            Beberapa menit kemudian...
            “assalamu’alaikum Fat” ucap suara dibalik telepon.
            “wa’alaikumsalam!!! Ini abang kan??” omak mulai girang setelah mendengar suara yang ia yakini suaminya.
            “ia Fat... kenapa gitu nanya nya?” merasa heran.
            “ayahnya Hakim kan?” tanya omak lagi penasaran
            “ia... ayahnya Hakim... Drs. Adam Lubis...” meyakinkan omak.
            Alhamdulillah ayah tidak jadi meninggal, ternyata sosok Adam yang di koran bukanlah ayahku. Sepertinya itu Adam – Adam lain yang kebetulan namanya sama dengan nama ayahku. Omak pun menceritakan semuanya ke Ayah terkait berita yang ada di koran tersebut. Kami kembali ke rumah dengan wajah bahagia dan membawa kabar bahagia. Semenjak saat itu kami selalu merasa cemas bila ayah sedang diperjalanan pulang ke Medan, tapi kecemasan itu akan segera luntur dengan kalimat doa yang selalu dipanjatkan sehabis shalat kepad Allah.
            Semenjak handphone mulai mampir di tangan Ayah dan Bou, rasa penasaran yang selalu menerka – nerka keberadaan ayah selama diperjalanan, sudah ada obat penawarnya. Ayah selalu memberitahukan kabar ke bou terkait lokasi dimana beliau sedang berada dan durasi berapa lama lagi tiba di Medan. Ayah mulai punya hanphone ketika aku baru masuk SMP, yang harganya sebanding dengan harga android standart saat ini. Mungin kalian yang masih hidup sezaman denganku pernah menyaksikan spesies handphone ini; ukuran layarnya kecil dan belum berwarna, memilki kode 3310, memilki 16 tombol yang setiap tombol memiliki fungsi ganda, diproduksi oleh Nokia. Setelah muncul berbagai spesies handphone yang lebih up to date, orang Medan mulai menjulukinya “handphone untuk melempar anjing”, karena bentuknya yang menggembung dan lumayan berat.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendakian Gunung Pusuk Buhit

PMR Madya dan Wira Sekolah Kallista Mengikuti Pelantikan PMR Se-Kota Batam Tahun 2017

Penyampai Pesan Kematian