Menuju Pintu Kubur


Oleh : Hakim Syah Reza Lubis
            Sudah hampir sebulan ayah terbaring di rumah, semenjak pulang dari RSU Pirngadi Medan. Obat dari dokter rutin kami berikan ke ayah, selain itu kami juga memberikan pengobatan non medis kepada ayah. Saat masih di rumah sakit, ada seorang saudara yang berkunjung, dia merekomendasikan seorang ahli urut syaraf yang sudah terbiasa mengobati orang yang terkena stroke. Setiap seminggu sekali ayah di urut oleh seorang tukang urut. Saat pertama kali ayah diurut, aku menanyakan terkait pengurutan yang dilakukannya.
            “Kalau boleh tahu ... bedanya pengurutan yang bapak lakukan dengan pengurutan biasa apa ya pak?”
            “kalau pengurutan biasa itu kan untuk yang terkilir dan pegal – pegal” jawab beliau dengan antusias.
            “kalau yang ini pak?”
            “saya buat ini pengurutannya memang pada titik - titik syaraf yang memang sering menyebabkan storke”
            “kalau boleh tahu bapak belajar dari mana ya?”
            “wah kalau ini memang langsung dari korea ilmunya?”
            “hmmmmm ...” ucapku sambil mengangguk.
            “saya serius ... saya ada kok sertifikatnya”
            “oh ya pak ... makanan atau minuman yang cocok diberikan ke ayah apa ya kira – kira?”
            “kalau ada daun sup, itu direbus dengan air, kemudian airnya sering – sering diminumkan ke bapak”
            Semenjak ayah di rumah, aku sering telat tiba di sekolah dari biasanya, karena setiap pagi aku, ibu, dan adik menggotong ayah untuk ke kamar mandi, kami dudukkan ayah di atas kursi pelastik yang memiliki sandaran. Volume badan ayah kini semakin berkurang bila dibandingkan saat ia sehat, namun masih terasa berat bila hanya dipapah oleh satu orang, apalagi ayah sudah sulit untuk menggerakkan anggota tubuhnya. Aku basuh tubuhnya mulai dari ujung kaki hingga ujung rambut, tampak ia semakin kedinginan ketika air tiba di wajah dan kepalanya, mulutnya yang miring bergerak – gerak menikmati segarnya air di pagi hari. Aku sabuni seluruh tubuhnya, aku usapkan shampo ke kepalanya dan aku pijat juga.
            “ayah ... dulu kau yang memapahku saat berjalan, kau juga yang memandikanku saat aku masih kecil. Kini aku yang memapahmu ke kamar mandi, dan aku juga yang memandikanmu setiap pagi, ini belum apa – apa dari apa yang telah kau berikan kepada kami” ucapku dalam hati saat memapah dan memandikan ayah.
            Setelah selesai mandi, kami sapu air yang ada di tubuhnya dengan handuk hingga mengering, kami kenakan pakaiannya, lalu kami papah kembali ke atas kasur. Setelah itu aku baru berangkat ke sekolah. Sebelum seperti ini, aku terbiasa menaiki angkota (angkutan kota) yang sepi, namun untuk saat ini harus terbisa dengan angkot yang isinya padat, karena aku berangkat pada jam – jam terakumulasinya orang yang berangkat kerja dan pergi sekolah.
            Selain kondisi ayah yang memang tengah sakit, ada juga faktor yang membuat kondisi berat badan ayah semakin berkurang. Akhir – akhir ini ayah semakin enggan untuk minum dan makan, kalaupun demikian ia makan dan minum dengan seadanya. Kalau tidak dipaksa dia tidak akan membuka mulutnya untuk menyambut makanan dan minuman yang diberikan. Bila seperti itu, kesabaran kita tengah di uji, seperti anak kecil yang sulit untuk disuapi makan dan minum.
            30 Januari 2008, waktu menunjukkan pukul 10.00 WIB, di kelas XI IPA 2 SMA Amir Hamzah Medan sedang berlansung pembelajaran Seni Musik yang diampu Pak Erizon sebagi guru mata pelajaran. Aku baru saja kembali ke bangku setelah membawakan lagu ciptaanku di depan kelas, tepuk tangan dari Pak Erizon dan teman – teman memenuhi suasana kelas. Seni Musik adalah salah satu pelajaran yang aku suka, ditambah lagi Pak Erizon selalu memberikan kesempatan kepadaku untuk bernyanyi di depan kelas, bila aku punya lagu yang baru saja aku ciptakan. Tiba – tiba ada seorang guru yang mengetuk pintu kelas.
            “permisi pak ...” ucap guru BK yang sering kami sapa dengan ummi.
            “iya buk ...” ia buk jawab Pak Erizon.
            “mau manggil Hakim” ucap Ummi.
            “saya mi ...” jawabku sambil mengacungkan tangan.
            “ayo kim ...” ucap Pak Erizon mempersilahkan.
            Aku pun beranjak meninggalkan kelas bersama Ummi, aku ikuti saja dia, kami berjalan ke arah kanan dari pintu kelas, kami melewati kelas XI IPA 1, saat ini kami sedang di lantai tiga dan tengah berjalan menuju tangga untuk turun ke lantai satu. Aku sangat penasaran akan apa yang sedang terjadi, biasanya kalau guru di panggil guru BK pasti karena ada msalah yang harus di tuntaskan.
            “kim ... kita ke ruang BK ya” ucap Ummi kepadaku tapi tidak dengan nada marah. Ummi adalah guru BK yang baik, namun kalau marah kejamnya gak bisa di bohongi.
            “iya mi ...” ucapku lembut.
            “itu ada saudara Hakim yang datang, dia mau bicara, kita temui dulu ya ...”
            “iya mi ...” jawabku lagi.
            Awalnya aku mengira kalau yang datang ini adalah Tulang (paman) Fahmi, beliau merupakan abang dari omak. Biasanya kalau ada permasalahan yang ingin diselesaikan dia datang menemui aku, karena aku anak pertama, biasanya sih dia datang ke rumah, tumben ke sekolah, pikirku.
            “ayah hakim sehat ?” tanya Ummi kepadaku.
            Mendengar pertanyaan Ummi yang seperti itu, aku bingung menjawabnya, karena aku enggan memberitahu kalau ayah sedang sakit, ditambah lagi pertanyaan beliau yang seperti itu membuat ku heran, kenapa tiba – tiba Ummi menanyakan kabar ayah, apa alasan di panggilnya aku ini, ada hubungannya dengan ayah, aku semakin resah namun mencoba untuk tenang.
            “eee... aaa... ayah la ... lagi sakit mmi” jawabku terbata – bata karena enggan.
            “sakit apa kim?”
            “stroke mmi”
            Kini kami tengah menuruni anak tangga yang nantinya tembus ke kelas – kelas anak TK.
            “sudah berapa lama ayah sakit kim?”
            “sudah hampir sebulan mmi”
            “sudah dibawa berobat?”
            “sudah mmi.. kemarin baru aja pulang dari rumah sakit”
            “ya sudah ... yuk kita buruan ... saudaranya sudah nunggu tuh”
            “iya mi ...”
            Langkah kami terasa semakin cepat ketika tiba di lantai satu, karena aku mengimbangi irama langkah ummi. Kami berjalan melewati kelas TK, ruang TU, lobbi, setelah itu barulah kami dapati ruang BK. Saat kakiku mendarat ke ruang BK, aku menatap sekeliling, aku tidak melihat Tulang Fahmi. Ternayata saudara yang di maksud adalah Uak Matondang yang kerap kami sapa dengan Wak Tondang, dia termasuk kerabat dekat kami, dan juga merupakan suami dari Uak Anita, pemilik tempat bou bekerja di kustum menjahit. Wak Tondang duduk di depan meja Pak Adnan yang merupakan guru BK juga.
            “wak ... ada apa?” aku menyapa dan menyalam Wak Tondang.
            “duduk sini Kim” pak Adnan mempersilakan ku duduk dihadapannya juga.
            “iya makasih pak” jawabku.
            “bapak ini uaknya Hakim ya?” tanya Pak Adnan sambil melirik ke arah Wak Tondang dan mencairkan suasana.
            “ia pak” jawabku.
            “begini Kim ...” pak Adnan memulai inti pembicaraan yang sepertinya berat untuk di sampaikan, “bapak dapat kabar dari uaknya Hakim ... kalau ... Ayahnya Hakim ...” disini perasaanku mulai tidak enak, “meninggal setengah sepuluh tadi” beliau menuntaskan pembicarannya.
            Mendengar kalimat tersebut, aku merasa sangat hancur, sepontan air mataku menetes deras, aku menangis dihadapan mereka, ku sapu terus air mataku dengan kedua tanganku, namun semakin aku sapu malah semakin deras. Aku tidak perduli dengan mereka yang ada di ruangan BK saat itu, aku tetap saja menangis sambil merengek menyebut “Ayah ... Ayah ... Ayah ...”
            “sabar ya Kim ...” ucap Pak Adnan yang mencoba menenangkanku sembari mengelus pundakku.
            “nnngggeee ... nnngggeee” aku masih terus menangis.
            “sekarang Hakim ambil tas nya dulu ... lalu pulang ke rumah sama Uaknya” perintah Pak Adnan dengan lembut.
            Aku coba tenangkan diri sejenak, agar tidak ketahuan baru saja nangis bila aku ke kelas. Meskipun aku sembunyikan tangisku, tetap saja aura sedih masih terpancar dari wajahku. Aku melangkah menaiki tangga menuju kelas yang ada di lantai tiga. Aku kemas semua barang – barangku ke dalam tas, tanpa berkata sedikitpun kepada teman – temanku. Aku pamit kepada guru bahasa inggris yang saat itu tengah berdiri di depan kelas.
            Diperjalanan sedihku makin menjadi – jadi, aku meratapi kepergian ayah tidak disangka – sangka, air mataku terus mengalir selama di boncengan Wak Tondang. Jalanan yang ramai pun seolah menjadi sepi bagiku, semakin mendekati rumah, diri ini semakin gelisah dan tidak tenang. Melewati jalan Sekip, jalan Gereja, Jalan Karya, memasuki Gang Suka Damai, masuk lagi ke Gang Bersama. Hingga akhirnya aku tiba di depan pintu rumah. suasana sudah ramai, terpal biru sudah melintang di atas seng rumah ku dengan seng rumah tetangga, pertanda ada acara yang tengah berlangsung.
            Aku buka sepatuku, aku tidak sempat lagi mengucap salam, aku langsung menghampiri ayah yang sudah dibaringkan di ruang tamu dan diselimuti dengan kain panjang. Disamping ayah ada omak yang tengah membacakan Al – Qur’an. disekitar tubuh ayah sudah banyak pecahan kapur barus dan potongan daun pandan. Wajah ayah sudah pucat, tidak ada lagi tanda kehidupan dalam dirinya, lubang hidung ayah sudah di tutupi dengan kapas. Aku ciumi wajah ayah serekat – rekatnya, sambil ku peluk badannya sambil merengek “ Ayahhh ... nnngggeee ... Ayahhh ... nnngggeee”. aku berhenti sampai ada saudara yang mengingatkanku agar air mataku tida jatuh ke wajah ayah, dan menyuruhku untuk berwudhu agar segera membacakan Surah Yasin.
            Semakin siang semakin ramai orang yang datang. Sanak saudara dari pihak ayah dan pihak ibu pun turut berdatangan, tetangga, serta perwakilan dari sekolahku dan adik – adikku. Sungguh aku merasa sepi di tengah keramaian, aku terus saja membaca yasin dengan tersedu – sedu di samping Ayah. sebelum zuhur ayah pun di mandikan, sebagai anak yang paling besar aku di perintahkan agar ikut memandikan ayah di kamar mandi. Ayah di rebahkan di atas pangkuanku dan Tulang Ucok (abang omak), punggung ayah tepat berada di atas paha ku. Sementara ayah di siram, kami mengusap – ngusap air yang mengalair ke seluruh anggota tubuhnya, ayah sudah tidak lagi merasa kedinginan , mulutnya sudah tidak bergerak lagi seperti saat aku mandikan dia sebelum berangkat ke sekolah.
            Setelah proses pemandian selesai, kemudian ayah dibalut dengan kain kaffan. Aku tidak ikut, hanya menyaksikan saja. Karena sudah ada pihak yang terbiasa menangani proses seperti itu. Selama proses pengkaffanan, aku dan beberapa laki – laki lainnya mengelilingi ayah sambil memegang kain yang berfungsi sebagai pagar agar pandangan orang terhalang. Sebenarnya ayah mau dimakamkan setelah ashar, karena menunggu kedatangan Udak Imam, yaitu adik ayah yang ada di bogor. Setelah dirembukkan akhirnya ayah pun dimakamkan selepas shalat dzhuhur.
            Sebelum digiring ke mesjid, kami anak – anak ayah dan omak diberikan kesempatan mencium ayah untuk terkahirnya. Dari tujuh orang anak ayah, hanya satu yang tidak ikut menciumnya, yaitu Ulul Azmi, adik kami yang paling kecil, umurnya sekitar satu tahun. Setelah itu ayah dimasukkan ke dalam keranda, aku ikut menggotong ayah ke Masjid Al – Halim, masjid tersebut bersebelahan dengan areal pemakaman, yang jaraknya sekitar 300 meter dari rumahku. Selama menggiring ayah aku lafazkan kalimat “La ila Ha Illallah” sambil menahan sedih yang masih menggrogoti dadaku.
            Yang menyhalatkan ayah hanya orang -  orang yang ikut melayat, karena ayah dishalatkan setelah selesai waktu dzuhur. Setelah dipastikan kondisi mayat ayah dalam keadaan baik, lalu kami bergegas menuju lokasi pemakaman. Dari kejauhan sudah tampak tukang penggali kubur yang sudah menyelesaikan penggalian makam untuk Ayah. Langkah ini terasa semakin berat saat kami semakin dekat menuju pintu kubur, mau tidak mau aku harus siap melepaskan ayah, ikhlas itu tidak semudah mengucapkannya, namun aku berusaha sekeras hati untuk menenangkan pertarungan antara perasaan sedih dan ikhlas yang tengah berkecamuk di dalam diriku.
            Kami tiba di tempat peristirahatan terakhir ayah di bumi, pintu kubur sudah terbuka lebar untuk melahap kembali makhluk yang penciptaannya terbuat dari tanah. Tiga orang masuk ke dalam liang kubur untuk meletakkan jenazah ayah ke dalam tanah, salah satunya adalah aku. Ini merupakan pertama kalinya bagi ku memasukkan jenazah ke dalam kubur, selama ini aku hanya menyaksikan kejadian seperti itu, karena aku anak yang paling besar, maka siapa lagi selain aku. Dulu ayah yang menggendongku saat aku datang ke dunia, sekarang aku yang menggendong ayah untuk meninggalkan dunia ini.
            Kami yang di dalam liang kubur sudah siap menerima jenazah ayah, saat itu tepat di atas liang kubur di payungi dengan kain hijau yang lebar. Saat jenazah ayah di serahkan dengan perlahan - lahan dari orang yang berdiri di atas tanah, kami pun menerimanya perlahan – lahan. Kami rebahkan tubuh ayah menghadap ke kiblat dengan wajah menempel ke tanah, wajah ayah begitu tenang dan damai. Setelah itu kami tutupi jenazah ayah dengan potongan papan – papan hingga raga ayah tak tampak lagi oleh kami. Kami bergegas naik ke atas, penggali kubur pun segera menutup kembali tanah yang sudah mereka gali. Di akhir tahun 2007 merupakan awal ayah terkena penyakit sakit stroke, dan di awal tahun 2008 merupakan akhir ayah menanggung penyakit yang di deritanya, sekaligus Allah mengakhiri jatah hidupnya di bumi. Begitu singkat semuanya berlalu, mulai dari awal desember hingga akhir januari, dua bulan ayah menanggung rasa sakit, aku yakin Allah lebih sayang kepada ayah, daripada dalam jangka waktu yang lama ayah menanggungnya. Assalamu’alaikum yah, semoga kita dipertemukan kembali di kehidupan yang selanjutnya, kami anak – anakmu akan selalu merindukan apapun itu dari dirimu.
           
           

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendakian Gunung Pusuk Buhit

PMR Madya dan Wira Sekolah Kallista Mengikuti Pelantikan PMR Se-Kota Batam Tahun 2017

Penyampai Pesan Kematian