Berawal dari Ritsleting
Oleh : Hakim Syah Reza Lubis
Sejak pertama
hingga terakhir kali aku melihat ayah di bumi, sungguh tidak pernah aku
melihatnya mengenakan celana jeans. Apa karena beliau sudah tua? Tapi ada juga
kok orang tua yang pakai celana jeans. Apa karena ukuran pinggang yang besar?
Bukannya celana jeans tersedia dari berbagai ukuran. Atau ayah memang tidak
suka pakai celana jeans? Belum pernah sih ku tanyakan. Atau karena ayah alumni
pondok pesantren? Memang sih aku pernah dengar orang menyebutnya celana Jin.
Aku
sudah membuka lembaran – lembaran yang berhubungan dengan rekam jejak ayah di
masa lampau, aku perhatikan foto – foto beliau saat masih kurus, alias saat
masih muda, sama sekali tidak ada foto beliau yang mengenakan celana jeans. Aku
memang melihat ayah menggunakan celana bermodel cutbray di foto lamanya, tapi bahannya bukan jeans, kalau aku pikir
– pikir modis juga ayah pada zamannya. Ungkapan yang tepat untuk menggambarkan
gaya berbusana beliau merujuk kepada Elvis Presley, bagaian atas mengenakan
kemeja lengan panjang yang dimasukkan ke dalam celana cutbray, mengenakan tali pinggang dan sepatu kulit, tidak lupa kaca
mata dan rambut klimisnya, wajar sih kalau omak (ibu) terpesona.
Suatu
hari di tahun 2007, omak baru saja pulang dari pasar. Kebiasaan yang kami lakukan
saat omak tiba di rumah setelah dari pasar ialah segera menghampiri dan
mengerumuninya. Kami menyerbu bingkisan – bingkisan plastik yang ia bawa ke
rumah, siapa tahu ada makanan ataupun barang yang bisa diambil, biasanya omak
merepet, namun telinga kami sudah terbiasa dengan itu. Aku melihat ada celana
jeans di salah satu bingkisan tersebut, warnanya biru, aku melihat ukurannya
yang besar, lalu aku pergi ke kamar untuk mengenakannya, ternyata memang bukan
untukkku. Setelah aku tanya omak, ternyata celana tersebut untuk ayah. Tumben
omak membelikan ayah celana jeans, selama ini aku tidak melihatnya berbuat
demikian, mungkin lagi ada diskon besar – besaran.
Beberapa
bulan terakhir ini ayah baru saja pindah kerja ke Kuala Simpang – Kabupaten
Aceh Tamiang, terletak di sebelah barat daya Sumatera Utara, waktu tempuh
kesana bila menggunakan mobil sekitar tiga jam tiga puluh menit, lebih dekat
dari tempat kerja ayah biasanya, namun tetap di Provinsi Aceh. Itu merupakan
penempatan kerja ayah yang ketiga. Sejak aku kecil hingga kelas tiga SMP ayah
bertugas di Pengadilan Agama Singkil – Kabupaten Aceh Selatan, saat itu ayah
pulang sekali dalam sebulan ke Medan dengan menggunakan mini bus. Di penghujung
kelas tiga SMP, ayah dipindahtugaskan ke tempat yang lebih jauh, di Pulau
Simelue (Aceh), yaitu gugusan pulau kecil di Samudera Hindia sejalur dengan
Pulau Nias (Sumatera Utara), dan Kepulauan Mentawai (Sumatera Barat), ayah
bertugas di Kantor Pengadilan Agama Simelue hingga aku kelas dua SMA, ayah yang
biasanya pulang sebulan sekali menjadi lebih lama lagi, hampir dua bulan
sekali, sebab kesana harus menggunakan jalur darat selama sehari - semalam
ditambah jalur laut yang juga sehari – semalam. Karena alasan keluarga ayah
mengajukan pemindahan tugas ke tempat yang lebih dekat, tidak bisa bila pindah
antar provinsi, harus tetap di Provinsi Aceh. Akhirnya saat dipertengahan kelas
dua SMA, ayah pindah kerja ke Kuala Simpang, sejak saat itu ayah bisa pulang
dalam seminggu sekali. Untuk hal yang darurat ayah bisa saja pulang dalam
sehari karena hanya tiga setengah jam waktu tempuhnya, namun bila dilakukan
setiap hari tentunya akan menguras tenaga.
Seperti
biasa di hari senin, setelah shalat subuh aku menemani ayah ke simpang gang
untuk membantu membawa tasnya dan menemaninya menunggu angkot. Ayah naik angkot
ke stasiun pinang baris di perbatasan barat Kota Medan, dari situ ayah naik
mini bus tujuan Kuala Simpang, biasanya ayah tiba di sana pukul 10.00 pagi.
Dari rumah biasanya ayah mengenakan pakaian biasa, setelah tiba di kantor baru
ganti kostum. Kali ini omak meminta ayah mengenakan pakaian jeans yang
dibelinya kemarin, untuk menyenangkan hati omak ayah pun memakainya. Aku
tertawa melihat ayah yang tidak pernah ku lihat memakai celana jeans, ayah pun
ikut tertawa melihat aku yang tengah menertawainya.
Kedua
kaki ayah sudah di balut dengan celana jeans, tinggal ritsleting nya yang belum
ditutup. Sepertinya ayah kesulitan mengancingnya, tidak biasanya seperti itu,
terakhir aku lihat ritsletingnya lancar – lancar saja. Ayah memintaku untuk
membantu mengancingnya, aku menghampirinya, memang sulit, aku juga tidak bisa
mengancingnya, terasa keras dan sangkut. Karena takut telat ayah pun kembali
membuka celana tersebut, akhirnya ayah menggunakan celana lain. Setelah pamit
dengan omak dan adik – adik, ayah pun berangkat kerja. Namun anehnya setelah
ayah pergi kerja ritsleting celana yang tadi sangat sulit dikancing, kini sudah
lancar – lancar saja. Hmmm... aneh!
Sore itu
aku tiba di rumah saat waktu ashar, karena sehabis pulang sekolah aku pergi
dulu ke rumah teman. Tidak beberapa lama bou (adik ayah perempuan) datang ke
rumah.
“Assalamualikum
...,” ucap bou saat memasuki rumah.
“Wa’alaikumsalam
bou,” jawabku.
“Kim...
kim... bou dapat telepon dari kuala simpang tadi siang” bou menyampaikan dengan
gelagat panik dan cemas.
“Kabar
apa bou?” tanyaku penasaran.
“Kata
kawan ayah... ayah jatuh tadi pagi waktu mau masuk ke kantor, sekarang ayah
sedang di rawat di rumah sakit umum kuala simpang.”
“Jatuh
gimana bou?”
“Kata mereka
naik darah tinggi ayah.”
“Sekarang
bersiaplah kau... biar bou suruh amang boru (suami bou) ngawani kau ke sana
sore ni juga.”
“Kalau
jatuhnya tadi pagi... kenapa baru tadi siang di kabari bou?”
“Kata
mereka ayah nahan – nahan handphone nya, mereka mau coba hubungi keluarga di
Medan tapi ayah nggak ngasi, akhirnya waktu ayah lengah mereka ambil
handphonenya, barulah mereka bisa menghubungi bou.”
Jiwaku
yang mulai tidak tenang, aku coba untuk menenangkannya. Aku shalat ashar,
memohon kepada Allah agar ayah diberikan kesehatan dan baik – baik saja di
sana. Setelah amang boru tiba di rumah, kami pun langsung bergegas menuju
stasiun pinang baris untuk memesan bus tujuan kuala simpang. Selama di
perjalanan aku benar – benar tidak tenang, cahaya – cahaya lampu rumah maupun
jalan yang tampak selama diperjalanan terasa seperti tidak berkilauan di
mataku, rasanya aku ingin segera tiba di sana. Aku baru tersadar akan sulitnya
mengancing ritsleting celana ayah tadi pagi saat hendak pergi kerja, tapi
setelah ayah pergi begitu mudah dan lancarnya untuk di kancing, mungkin itu
menjadi suatu pertanda akan apa terjadi hari ini.
Sekitar
pukul sembilan malam kami tiba di kuala simpang. Kami berhenti di simpang jalan
menuju RSU Kuala Simpang, dari situ kami naik becak mesin menuju rumah sakit.
Aku kabari teman ayah yang sedang di rumah sakit kalau kami sudah sampai di
depan rumah sakit, kami tidak sempat berbasa – basi, dia langsung membawa kami
menuju kamar dimana ayah dirawat.
Saat
tiba di depan pintu kamar tempat ayah dirawat, aku melihat ayah yang tengah
terbaring dengan spontan mengahampirinya. Langsung aku peluk dan ku cium wajah
beliau.
“ayah
kenapa yah ...?” ucapku berulang – ulang sambil menangis.
“kenapa
ayah nggak mau ngasih tau kami?” merengek dan menangis.
“yah ..
maafin hakim yah” menangsi tersedu – sedu.
Semua
pertanyaanku tak ada satupun yang bisa ayah jawab, karena memang mulutnya sudah
sulit berbicara, mulutnya sudah miring ke samping, aku melihatnya mencoba
menjawab pertanyaanku, namun hanya suara yang tidak jelas yang aku dengar
darinya. Ku peluk ayah lebih erat lagi untuk beberapa saat, betapa aku bisa
merasakan aroma yang khas yang menandakan kalau dia memang ayahku, aroma
keringatmu adalah tanda perjuanganmu untuk kami yah.
Kami
yang ada disitu terdiam beberapa saat dalam memperhatikan ayah, mungkin mereka
masih memberi kesempatan buat ku bermesraan dengan ayah, mungkin mereka segan
juga, mereka menungguku reda dengan sendirinya. akupun mulai menenangkan
diriku, ku seka air mataku.
“jam
berapa tadi dari medan pak?” tanya teman ayah memecah keheningan.
“jam 6
sore pak” jawab amang boru.
“ini tuh
sudah mulai turun tensinya ... tadi siang itu tinggi sekali” jelas teman ayah.
“ayah
sudah makan pak?” tanyaku
“alhamdulillah
sudah makan tadi... tapi sulit juga bapak mengunyah makanan karena kondisinya
seperti ini”
“ceritanya
itu gimana pak ... kok bisa begini?” tanyaku.
“tadi
pagi itu waktu bapak jalan dari halaman ke dalam kantor sudah kelihatan
linglung jalannya, waktu ditanyakan kondisinya, tiba – tiba bapak terjatuh,
kami coba mengambil hp dari kantongnya, bapak nggak ngasih, bapak nahan –
nahan, sepertinya dia takut kalau keluarga yang di Medan tahu, mungkin dia
takut ibu kepikiran, karena melihat kondisinya yang seperti itu kami pun
melarikan bapak kemari”
“makasih
yah sudah bawah ayah kemari pak”
“iya..
sama – sama, kami itu baru bisa ngambil hp nya pas tadi siang bapak tidur,
terus kami cari – cari kontak yang bisa dihubungi, kami lihat di riwayat
panggilan ada nama Manna, itu adik ayah ya?”
“iya
pak”
“yasudah
kita diluar saja ya ngobrolnya, biar bapak bisa istirahat”
Setelah
ngobrol panjang kali lebar dengan bapak tersebut, akhirnya beliau pun pamit
untuk pulang. Setelah itu amang boru di ajak ngobrol oleh pihak rumah sakit terkait
kelanjutan perawata ayah, apakah ayah tetap mau dirawat disini, atau mau dibawa
ke Medan. Amang boru yang tidak bisa memutuskan pilihan itu mempertanyakannya
kepadaku sebagai seorang anak. Amang boru juga menjelaskan biaya ambulans yang
dikenakan bila ayah di bawa ke Medan, biayanya sekitar tiga ratus ribu rupiah
seingatku. Akhirnya aku pun memutuskan membawa ayah besok ke Medan. Karena
sudah larut malam kami pun tidur dengan kondisi seadanya di kamar tempat ayah
di rawat.
Keesokan
paginya, setera mengurus aministrasi, ayah pun dibawa dari kamar rawat menuju
ambulans lengkap dengan tiang infus dan jarum infus yang menempel di lengan
kanan ayah. Di depan ada dua orang petugas ambulan dan amang boru, sementara
aku dibelakang menjaga dan menemani ayah. Selama tiga setengah jam perjalanan,
tanggung jawabku adalah menjaga tiang infus dan selang infus agar tidak
terguncang kesana – kemari. Kupandangi wajahnya ayah dalam – dalam, tidak
kusangka akan jadi seperti ini, kini ayah terkena penyakit stroke. Aku ingat
ketika di rumah ayah pernah mengeluh kalau tangan kanannya kebas, beliau
menyuruhku untuk mengurut, mungkin itu pertanda awal akan apa yang ayah alami
saat ini. melalui Nanguda (tante) Nelly yang bertugas di RSU Pirangadi Medan,
akhirnya ayah di alihkan ke rumah sakit tersebut.
Komentar
Posting Komentar