KARENA WEWE GOMBEL



Oleh : Hakim Syah Reza Lubis
            Tahun 2004, Pagi menjelang siang di kelas 1 – V, SLTP Negeri 16 Medan, tengah berlangsung mata pelajaran Aksara Arab Melayu yang di ampu oleh seorang guru bernama Pak Usman. Setiap guru tentunya mempunyai sesuatu yang khas di mata siswa, yang menjadi pembeda antara guru yang satu dengan guru yang lain. Bila kita sebut nama Pak Usman di hadapan para siswa, semua akan sepakat, kalau secara fisik beliau tinggi dan memilki rambut keriting nanggung. Tapi bila ada yang bermasalah dengan beliau, siap – siap saja menerima pijatan plus – plus beliau, beliau akan mengarahkan ujung jempol dengan ke empat ujung jari lainnya ke arah lengan kita, bukan hanya ke kulit, namun terasa hingga ke tulang, kemudian beliau menggoyangkan jari – jemarinya, maka akan terasa ngilu hingga nyeri bagi yang menerimanya, dan berkata “aduh pak... ampun pak... sakit pak...” kepad beliau. Itu juga yang menjadi khas dari beliau.
            Setelah menerangkan pembelajaran, seperti biasa beliau menyuruh kami untuk mengerjakan LKS (lembar kerja siswa) Aksara Arab Melayu. Bila diberikan tugas oleh guru di kelas tentunya tipikal siswa sangat beraneka ragam, ada yang mengerjakan dengan serius dan tekun tanpa ngobrol kiri – kanan, adanya juga yang mengerjakan sambil ngobrol, ada juga yang banyak ngobrol sedikit kerjanya, ada yang ngobrol saja tanpa mengerjakan, bahkan ada yang sengaja cepat – cepat mengerjakan agar bisa ngobrol. saat itu aku sudah selesai mengerjakan tugas yang diberikan Pak Usman, tugasnya terasa mudah bagiku, karena sudah menjadi santapan sehari – hariku di bangku madrasah selama tujuh tahun.
            Dalam satu kelas kami berjumlah empat puluh orang, formasi duduk kami di tata dalam empat banjar, satu banjar terdiri dari lima meja, dan satu meja di huni oleh dua orang siswa. Meja guru berada di depan banjar yang ke empat bila di hitung dari pintu kelas, tepatnya di sudut ruangan kelas. Siswa perempuan lokasi duduknya lebih konsisten, bila dibandingkan kami yang laki – laki, kami bisa nomaden dari satu kursi ke kursi yang lain, bisa di hari yang berbeda, bisa di mata pelajaran yang berbeda, bisa juga karena ingin berdiskusi dengan teman yang lebih paham terkait materi tertentu, atau karena ada misi – misi khusus yang ingin dijalankan. Namun kami memiliki bangku tetap yang ditandai dengan kehangatan pantat kami.
            Kursi tetap berada di banjar ke tiga bila di urutkan dengan dari pintu kelas, mejaku juga berada di urutan ketiga bila di hitung dari depan, aku berada di sayap kanan bila menghadap ke papan tulis, sementara disebelah kiriku ada Indra Juansa. Namun saat pelajaran Pak Usman aku tengah duduk di meja paling belakang, banjar ketiga, dan sayap kanan juga, di sampingku saat itu ada Wahyu, di depanku ada Tika, dan di depan Wahyu ada Dwi.
            Sejak SD hingga SMP, sepertinya sudah menjadi kebiasaan di kalangan anak – anak saling menyebut nama orang tua, menyebut nama orang tua bagi anak – anak saat itu termasuk ke dalam konteks mengejek. Aku tidak hobbi dalam hal ejek – mengejek nama orang tua, namun bila ada yang mengejek aku juga ikut menyebut nama orang tuanya. Ejek – ejekan seperti itu bagi kamu bukanlah suatu pertikaian yang besar hingga menimbulkan dendam kesumat, hanya sendaun – gurau semata, namun ada saja siswa yang sakit hati, hingga berujung menjadi merajuk. Kalau orang medan bilang TIPIS pergaulan.
            Dwi termasuk teman yang suka menyebut nama ayahku “Adam”, saat itu menjadi suatu kebanggan bila kita mengetahui nama orang tua teman. Dari mana tahunya? Bisa dari data raport, bisa juga dari teman sekelas yang rumahnya berdekatan dengan kita, karena selingkungan dengan kita tentunya teman tersebut sering mendengar nama orang tua kita. Dwi yang mengetahui aku duduk di belakangnya, langsung mengambil kesempatan.
            “hei Adam” ucap dwi dengan kepala sedikiti miring kanan ke arah belakang.
            Sayangnya, saat itu aku tidak tahu nama orang tua Dwi.
            “siapa nama orang tua di Way?” tanyaku kepada Wahyu yang ada di sampingku.
            “nggak tahu juga aku Kim” jawab Wahyu.
            “hei Adam” ucap Dwi lagi sambil tersenyum.
            Karena aku tidak tahu nama orang tua Dwi, aku mengambil secarik kertas, mau ngapain? Mau buat puisi? Mau buat perahu kertas? pesawat kertas? Atau kertasnya mau digulung – gulung seperti bola untuk dilemparkan? Nggak kok, aku Cuma mau menggambar, wah jadi kelihatan nih jiwa seninya. Dengan kelihaian jari – jemariku, aku menggambar seorang laki – laki yang tidak enak di pandang di atas kertas tersebut, dengan wajah dan bentuk tubuh yang aneh – aneh. Kemudian aku buat hastage, hahaha... jaman itu belum ada istilah hastage, karena belum ada instagram, facebook saja belum ada! Intinya aku buat keterangan.
            “ayah Dwi” tulisan di atas gambar.
            Lalu aku berikan kertas itu kepada Dwi, ia pun menerimanya, aku bisa melihat wajahnya tampak tersenyum bercampur geram, kemudian dia melirik ke arahku sekilas. Lalu aku lihat jari – jemari mulai bekerja di atas kertas tersebut, kemudai dia memberikan kertas itu kembali kepadaku. Aku lihat gambar buatannya.
            “Adam” tulisan di atas gambar yang di buat Dwi, dia juga membuat seorang laki – laki.
            gambar yang di buat Dwi dengan dengan gambar yang kubuat jelas berbeda, kalau aku menggambar orang tua yang jelek namun tetap memiliki nilai estetika, berbeda dengan dia, apa yang dibuat Dwi menurutku memang jelek tanpa harus di jelek – jelekkan, sepertinya dia memang tidak punya bakat menggambar. Aku yang membuatnya justru tertawa akan gambaran yang dia buat.
            “hahaha... gambar apa nih??? nih lihat lagi ya!!!” ucapku sambil menggambar sosok yang baru lagi.
            Kalau tadi aku menggambar sosok ayahnya, sekarang aku menggambar sosok ibunya, udah seperti peramal aja kau ini, jelas – jelas aku belum pernah bertemu dengan ortunya. Dengan bakat menggambar yang aku punya, aku buat lagi gambar yang lebih WOW!!! Bahkan Wahyu yang menyaksikan proses finishing tersebut ikut – ikutan tertawa.
            “kenapa Way?” tanyaku kepada wahyu yang tengah kegelian menahan tawa.
            “sumpah... gilak kali gambarnya” jawab Wahyu.
            Gambar kelar! Kalian tahu apa yang aku gambar? Salah satu tokoh misteri wanita dalam dunia perhantuan tanah air. Kuntilanak? Bukan!!! Kalau kuntilanak masih mau tampil cantik sesekali. Sunder bolong? Bukan juga!!! Kalian tahu hantu wanita yang rambutnya panjang, wajahnya benar – benar, gigi taring dari atas dan bawah yang keluar, bola mata yang besar dan mau copot, kukunya panjang bukan main, tubuh bagian atas tidak menggunakan pakaian, tubuh bagian bawah hanya menggunakan rumbai – rumbai rumput kering, dan yang paling ngekhas dia punya payudara yang besar dan panjanggnya hingga hingga ke pinggang. Tidak salah lagi, dia dalah Wewe Gombel. Tidak lupa ku buat keterangan “Ibu Dwi”.
            Aku sodorkan gambar tersebut kepada Dwi, dia menerimanya. Sementara aku dan Wahyu mencoba menahan tawa ketika Dwi melihat gambar yang aku persembahkan kepadanya, geli sekali rasanya, sumpah kami tidak sanggup menahannya, kami berusaha semampu kami agar Pak Usman yang tengah serius tidak mendengar kegaduhan kami di belakang.
            “ih... gambar apa ini??? seram kali wajahnya!!!” ucap Dwi dengan histeris.
            “wewe gombel... khikhikhi” jawabku sambil menahan tawa bersama Wahyu.
            Tika yang duduk disamping Dwi tiba – tiba ikut campur. Ketika Dwi mengembalikan kertas tersebut ke meja kami, seketika Tika menghadap ke belakang.
            “mana kek gini Wewe Gombel” ucap tika sambil berusah mencoret kertas tersebut.
            Untungnya, aku dapat dengan cepat menarik kertas gambar hasil karya aku dan Dwi, sehingga tidak sempat tercoret, namun hentakan tangan Tika yang gagal meraih kertas tersebut, seketika mengundang kegaduhan di pendengaran Pak Usman.
            “biarlah... apa urusannya sama mu!” jawabku.
            “ada apa itu?” tanya Pak Usman dengan suara keras dari depan.
            “ini pak... ada yang gambar – gambar wajah orang tua pak!” jawab Tika dengan sungguh percaya diri.
            Sumpah aku merasa dongkol dengan Tika, apa hak dia mencampuri urusan aku dengan Dwi, padahal Dwi saja tidak mempermasalahkan, kenapa malah dia yang jadi dongkol. Tidak sepantasnya dia mengkambinghitamkan aku, padahal kegaduhan itu bersumber dari tangannya yang gagal mencoret gambar buatanku. Mungkin ini yang pepatah bilang LEMPAR BATU SEMBUNYI TANGAN.
            Pak Usman melangkah menghampiri kami.
            “mana gambarnya?” tanya Pak Usman yang sudah hadir di dekat kami.
            Aku menyerahkan selembar kertas yang penuh corat – coret tersebut dalam keadaan terlipat kepada Pak Usman.
            “jangan ribut lagi kalian! Suara kalian terdengar sampai ke depan!” ucap Pak Usman dengan nada kecewa.
            Beliau kembali lagi ke meja guru dengan membawa kertas.
            “alhamdulillah...” ucapku dalam hati karena semuanya baik – baik saja.
            Tiba – tiba! Jreng... jreng...
            “siapa yang menggambar ini???” tanya Pak Usman dari depan.
            Aku dan Dwi saling tatap – tatapan, karena itu merupakan gambar kami berdua, lalu tanpa pikir panjang aku coba memberanikan diri, karena aku lelaki!
            “saya pak!!!” ucapku sambil mengangkat tangan.
            “kemari kau” perintah Pak Usman.
            Aku geser kursi ke belakang dengan pantat yang menempel di kursi dan bantuan ujung kaki yang tertumpu pada lantai, sehingga menimbulkan suara gesekan yang khas antar kaki kursi yang berbahan kayu dengan lantai yang berbahan tegel. Aku berdiri dan berjalan menuju Pak usman sambil memandang kecewa kepada Tika.
            “kau yang gambar ini?” tanya Pak Usman kembali untuk memastikan.
            “Iya Pak” jawabku pelan.
            “yang kau buat ini sudah termasuk pornografi” ucap Pak Usman sambil mendaratkan tangannya ke lengan kiriku.
            Kini aku benar – benar merasakan urutan Pak Usman yang selama ini dirasakan siswa – siwa lain. Rasanya ngilu dan sakit, aku merintih sambil menahan, tapi beliau terus saja menggoyangkan jari – jemarinya yang menusuk otot lenganku hingga terasa ke tulang.
            “bukan gitu pak...” jawabku.
            “darimana kau dapat gambar kayak gini?”
            “itu gambar wewe gombel pak.. di TV juga ada pak”
            “kau sering nonton film porno ya?”
            “enggak pak... gak pernah pak”
            “udah... kau ikut bapak ke piket”
            Pak Usman menggiringku ke petugas piket, dengan jari – jemarinya yang masih lengket mengurut lenganku. Kami berjalan keluar pintu kelas, setelah itu kami belok kanan, melewati kelas 1 – VI, setelah itu kami belok kiri, melewati kantor kepala sekolah, tata usaha, dan perpustakaan. Kemudian kami belok kanan, tibalah kami di meja, disitu banyak sekali guru yang tidak aku kenal, mungkin mereka mengajar kelas 2 dan 3. Disitu ada tiga guru perempuan yang menjadi petugas piket.
            “kenapa ini pak?” tanya salah seorang guru piket.
            “ini ada anak bermasalah!” jawab Pak Usman.
            “apa masalahnya?” tanya guru piket lagi.
            “nih coba selesaikan dulu... sepertinya dia terpengaruh film porno!” jawab pak usman sembari melepaskan capitannya dari lenganku.
            Saat itu aku merasa seperti bola, di oper dari guru yang satu ke guru yang lain. Setelah menyerahkanku kepada guru piket, Pak Usman kembali ke kelas. Apa lagi hukuman yang akan aku terima dari para guru piket ini? salah satu dari mereka tidak satupun yang aku kenal, kalau tidak bisa hancur reputasiku. Dua orang guru menggunakan jilbab, satu orang tidak mengenakan jilbab.
            “apa masalahmu nak?” tanya seorang guru yang beljilbab kepadaku.
            Jujur aku lupa nama beliau, Cuma beliau menjadi guru sejarah kami di kelas dua SMP, Cuma anak – anak menjulukinya Buk Doraemon, karena badannya bulat seperti tokoh kartun doraemon, jadi aku panggil Bu Dora aja ya disini. Tidak bermaksud mengejek, hanya menjelaskan apa yang terjadi saat itu. aku jawab pertanyaan beliau dengan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di kelas. Namun tetap saja mereka tidak berpihak kepadaku, mereka masih satu pemikiran dengan Pak Usman. Sumpah ketika menggambar itu, tidak sedikitipun terlintas dipikiranku khayalan - khayalan kotor apalagi yang berbau pornografi seperti anggapan mereka. Justru aku geram kepada Tika, yang sudah ikut campur dan membuatnya semakin runyam. Kalau saja mulutnya tidak “bocor”, semuanya tidak akan seperti ini.
            “kok bisa kau gambar kek gitu?” tanya guru yang beljilbab satu lagi dengan ciri khas suara yang lebih tinggi dan melengking dari Bu Dora sambil menamparku.
            Tidak sekali beliau menamparku, hampir berkali – kali, setiap kali baliau bertanya kepadaku. Tamparannya bukanlah tamparan kuat, hanya tamparangan ringan. Sakitnya memang tidak seberapa, tapi malunya itu yan seberapa, apa lagi ini kan pintu keluar – masuknya orang dari dan ke sekolah. Syukurnya ini belum jam istirahat, jadi tidak ada siswa lain yang melihatku.
            “karena saya gak tahu nama orang tuanya buk... makanya saya gambar orang tuanya begitu buk” ucapku sesuai kenyataan.
            “pernah kau nonton film porno nak?” tanya Bu Dora.
            “gak pernah buk... saya gambar itu karena ada TV” jawabku.
            “gak mau ngaku kau? Sekarang kau jongkok! Terus kau kelilingi lantai ini dengan jalan jongkok” ucap guru beljilbab satu lagi kepadaku sambil menunjuk lantai di sekitaran meja piket.
            Aku melaksanakan apa yang mereka perintahkan. Hatiku masih saja dongkol kepada Tika yang menjadi biang kerok semua ini. aku tidak tahu sudah berapa kali aku berputar – putar mengelilingi lantai, Cuma aku tidak berhenti sebelum ada instruksi dari mereka.
            “sudah... sudah... berdiri!!!” ucap Bu Dora.
            Aku segera berdiri.
            “capek?”
            “sedikit buk”
            “sudah mau ngaku? Kalau pernah nonton film porno ...”
            “enggak pernah buk... itu dari film horor yang ada di TV” ucapku dengan nada lebih meyakinkan.
            “yaudah kalau gak mau ngaku... besok panggil orang tuamu kemari ya”
            “janganlah buk... saya memang gak pernah nonton film kek gitu” pintaku sambil merengek.
            “yasudah... besok kita selesaikan kalau orangtuamu datang”
            “jangalah buk..” pintaku sekali lagi.
            “enggak bisa... pokoknya besok panggil orang tuamu! Kalau bisa ayahmu!”
            “ayah saya lagi gak di Medan buk”
            “kemana ayahmu?”
            “ke Aceh buk”
            “ngapain?”
            “kerja buk’
            “apa kerja ayah mu?’
            “hakim buk”
            “ooo... pantaslah namamu Hakim, tapi ayahmu hakim kok kek gini kelakuanmu?” ucap guru yang beljilbab satu lagi kepadaku.
            Aku diam saja sambil menunduk, mana mungkin aku menjawabnya.
            “hakim apa ayahmu?”
            “hakim di pengadilan agama buk”
            “haaa!!! Hakim pengadilan agama lagi... kau tinggal dimana?”
            “di gang sukadamai buk”
            “ooo... dekat sini” ucap beliau sambil menunju ke arah yang dimaksudnya.
            “siapa nama ayahmu?”
            “Adam buk”
            “haaa! Adammm?”
            “Adam apa?”
            “Adam Lubis buk”
            “Adam Lubis tammatan IAIN?”
            “iya buk”
            “ya Allah anak si Adam nya kau rupanya! Kok bisalah kau kayak gini???”
            “siapa ayahnya?” tanya Bu Dora penasaran.
            “ayahnya kawan aku waktu kuliah”
            Aku sungguh terkejut mendengar pengakuan beliau kalau dia merupakan teman ayah di waktu kuliah. Bisa mangkin gawat ini kalau sampai ayah tahu. Syukurnya ayah sedang tidak di Medan. Kalau ayah di sini, bisa – bisa ayah reunian dengan teman lamanya karena kelakuan anaknya yang di anggap pornorgrafi.
            “nanti salam sama ayahmu ya...”
            “iya buk... nama ibu siapa ya?” tanyaku kepada beliau.
            “bilang aja nanti dari si Mul.. Mulyani”
            “iya buk”
            “sudah sekarang kau kembali ke kelas... jangan lupa besok panggil ibumu kemari” ucap Buk Dora.
            Aku salami mereka satu – persatu, kemudian aku kembali ke kelas dengan wajah yang murung, yah... karena besok pertama kalinya orangtuaku di panggil sekolah karena masalah. Teman – teman yang tengah belajar menyaksikan kedatanganku dengan penuh penasaran, karena mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, dan apa yang aku dapatkan selama berhadapan dengan petugas piket. Yang mereka tahu pasti hanyalah saat aku dipanggil dan digiring Pak Usman ke luar kelas. Kalau pun mereka tahu masalah apa yang sedang terjadi padaku, itu bukanlah yang sebenarnya.
            Apakah sudah separah itu yang aku perbuat? Sampai – sampai orang tuaku dipanggil ke sekolah. Karena menggambar Wewe Gombel aku dianggap melakukan tindakan pornografi, padahal sosok itu ada di salah satu siaran stasiun televisi swasta. Semua orang yang menontonya pasti tahu kalau payudara Wewe Gombel itu besar, karena menurut ceritanya dia merupakan sosok makhluk halus yang suka mencuri banyak anak kecil, kemudian di bawa ke alamnya untuk disusui. Itulah kenapa payudara Wewe Gombel besar, karena dia harus menyusui anak – anak yang diculiknya. Tampilan payudara Wewe Gombel di televisi pastinya palsu, itu merupakan pakaian yang terbuat dari karet, sayangnya pada gambar yang aku buat tidak ada keterangan karet atau kulit. Seandainya aku buat keterangan “terbuat dari karet” dengan tanda panah yang tertuju pada payudara Wewe Gombel tersebut, apakah permasalahnnya tidak separah ini? aku yakin tidak! Menurutku ini perbedaan sudut pandang, meski aku menggambarnya dari sudut pandang seni, tetap saja ada orang yang berpikir kalau itu pornografi. Seperti kata seorang filsuf aristotheles “kamu adalah apa yang kamu pikirkan”.
            Setelah menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, keesokan harinya omak (ibu) datang ke sekolah. Aku dipanggil ke ruang guru, saat itu omak sudah duduk di ruang guru bersama Buk Dora. Buk Dora menceritakan apa yang terjadi menurut versi beliau kepada omak, omak menanggapinya dengan berkata.
            “anak saya ini suka baca komik – komik horor seperti Petruk dan Gareng buk, mungkin itu juga yang membuat dia menggambar sosok itu, setahu saya dia tidak ada menonton film – film yang berbau porno bu” ucap omak dengan nada tenang.
            Aku dan omak memang satu aliran, kami sama – sama pecinta film horor. Sejak kecil aku sudah suka nonton film horor, itu semua karena omak sering memutar film horor, salah satunya adalah koleksi film Suzanna. Terakit komik horor yang omak sebutkan kepada guruku, memang sejak di bangku SD aku suka membeli komik – komik Petruk dan Gareng, karena aku memang pecinta kisah horor, mungkin  itu juga yang mempengaruhi aku menggambar Wewe Gombel, karena ada salah satu edisi komik karya Mas Tatang Suhendra tersebut yang menceritakan sosok Wewe Gombel.
            Akhirnya kasus ini di anggap kelar, tanpa perlu naik banding ke pengadilan. memang masalahnya kelar, tapi tetap saja beberapa guru yang tahu mengetahui kejadian ini menganggapku telah melakukan tindak pornografi, tanpa ada klarifikasi akan hal itu. itulah sifat dari ucapan, bila sudah dilontarkan tanpa memperhatikan kebenarannya, kemudian di dengar oleh orang lain, bagaimana mau menarik ucapan tersebut? Tetap yang menjadi kesan pertama adalah apa yang pertama kali di dengar.
            Saat menutup perjumpaan itu Bu Dora mengatakan.
            “tolong di pantau anaknya ya buk... agar terhindar dari yang berbau porno”
            “iya buk” jawab omak.
            “kau juga hakim... jangan ulangi lagi seperti itu ya!”
            “iya buk” jawabku.
            Bagaimana dengan Bu Mulyani? Beliau menjadi wali kelasku saat aku kelas tiga SMP. Karena Wewe Gombel aku jadi tahu kalau beliau adalah teman ayahku, dan ayahku menjadi tahu kalau temannya bekerja di Sekolahku, namun ayah tidak tahu akan masalah yang pernah menyerangku. Selama ini bila ada pembagian raport, biasanya omak yang mengambilnya ke sekolahku, ditambah lagi ayah yang memang sedang bertugas di Aceh. Saat aku kelas tiga SMP, barulah ayah memiliki kesempatan untuk mengambil raportku, sejak saat itulah ayah baru berjumpa dengan teman lamanya yang selama ini aku ceritakan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendakian Gunung Pusuk Buhit

PMR Madya dan Wira Sekolah Kallista Mengikuti Pelantikan PMR Se-Kota Batam Tahun 2017

Penyampai Pesan Kematian