Dari Balik Jendela
Sejak
masih duduk di bangku TK hingga kelas dua SD, aku dan omak (ibu) sering diajak
ayah pergi ke Kota Singkil, dulunya kota tersebut merupakan bagian dari
Kabupaten Aceh Selatan, namun setelah mengalami pemekaran menjadi bagian dari
Kabupaten Aceh Singkil. Kami kesana bukan dalam rangka liburan, sebab ayah
sudah bertugas di Kantor Pengadilan Agama Singkil sejak aku kecil. Sebulan
sekali biasanya ayah pulang ke Medan, setelah beberapa hari baru ayah balik
lagi ke Singkil, sejak kecil aku sudah terbiasa seperti itu, namun sesekali
ayah membawa kami ke Singkil.
Ketika
aku masih anak satu – satunya hampir sering ayah membawa kami ke Singkil,
ketika adikku Fadil lahir yang berjarak lima tahun denganku, ayah mulai jarang
membawa kami ke Singkil, yang aku ingat terakhir kali ayah membawa kami ke
Singkil itu saat aku masih di kelas dua SD. Mungkin seiring dengan bertambahnya
anak berbanding lurus dengan peningkatan biaya transportasi. Dulu ketika masih
TK mungkin aku masih terhitung gratis dan bisa dipangku, sesekali duduk
dibangku kosong yang belum ada penumpang, atau duduk di celah sempit antara
ayah dan pintu mobil. Tapi alasan terpenting adalah agar tidak mengganggu
sekolahku dan menambah catatan ketidakhadiranku di absensi kelas, karena kalau
sudah ke Singkil biasanya kami menghabiskan sekitar waktu seminggu di sana,
apalagi itu bukan saat musim liburan, bila masa liburan tentunya ayah yang lama
di Medan.
Kalau ke Singkil biasanya kami menggunakan mobil panter
atau L300 yang sediakan oleh jasa transportasi dengan rute Medan – Singkil,
loketnya ada di Jalan Bintang Medan. Waktu tempuh Medan – Singkil biasanya kami
habiskan dalam satu hari satu malam. Rute yang kami lalui adalah Medan –
Brastagi – Kabanjahe – Sidikalang – Tapaktuan – Singkil, sesekali pak supir
memberhetikan mobil untuk makan dan beristirahat. Selama di perjalanan aku jarang
sekali tertidur, kecuali pada malam hari. Biasanya ayah menyuruhku membaca
tulisan – tulisan yang aku lihat selama di perjalanan, sesekali ayah
menjelaskan bila melalui tempat – tempat penting dan mendapat pertanyaan
dariku.
Aku masih ingat saat kami melewati dataran tinggi, dengan
medan yang menanjak, menurun, dan berkelok – kelok. Selama mataku masih segar
aku selalu memperhatikan panorama yang kami lalui saat di perjalanan dari
jendela mobil, mulai dari perbukitan, gunung, hutan, sungai, tebing, jurang,
pertanian, hingga permukiman masyarakat yang yang sesekali muncul di sepanjang
jalan lintas. Kalau aku sudah mabuk perjalanan biasanya ayah selalu melarangku
melihat hutan yang di lalui selama perjalanan, aku sangat suka meilhat
pepohonan yang seolah – olah berlari kencang, padahal kenyatannya mobil kami
yang melaju kencang. Ayah menyuruhku untuk melihat kedepan saja, katanya itu
yang membuat ku jadi pusing.
Dari semua panorama yang aku saksikan selama di
perjalanan dari Medan ke Singkil, ada satu panorama yang begitu aku sukai,
yaitu saat melihat sesuatu yang aku yakini adalah gunung.
“yah itu gunung
ya?” tanyaku kepada ayah sambil melekatkan wajahku ke kaca mobil.
“itu namanya gunung sipiso - sipiso?” jawab ayah
kepadaku.
“kenapa namanya sipiso – piso yah?”
“karena di dekat situ ada air terjun namanya sipiso –
piso”
“kalau jalan kesitu dekat ya yah?”
“itu jauh nak ... nampaknya saja yang dekat”
“pengenlah aku ke sanan nanti” ucapku dalam hati yang
saat itu masih mengenyam pendidikan TK.
Dengan bentuk kerucut yang tampak jelas dari jendela kiri
mobil. gunung tersebut seolah – olah dilapisi oleh karpet hijau, di kakinya
terhampar kawasan pertanian, aku merasa gunung itu begitu dekat. sepertinya
gunung itu tidak berpindah sama sekali meskipun mobil sudah melaju begitu
kencangnya, aku tidak pernah berhenti memandangi gunung tersebut sampai aku
tidak bisa melihatnya lagi.
Sejak kecil sepertinya sudah terlihat kalau aku ini orang
yang suka naik gunung dan masuk kehutan, bayangin ketika melihat gunung aku
ingin merasa ingin segera mendekatinya, ketika melihat hutan aku begitu
penasaran akan apa yang ada didalamnya. Ketika sejak kecil aku selalu punya
imajinasi bila melewati jalan lintas yang dikanan – kirinya membentang hutan
yang lebat dan luas, mau tahu gak apa yang aku bayangkan? Aku tuh suka
membayangkan seandainya aku ditinggal di jalan yang sepi – senyap dan
dikerumuni kelebatan hutan seperti itu, aku akan tinggal dimana? akan menemui
siapa? Akan makan apa? sok survive banget kan!
Lima belas tahun kemudian, apa yang aku inginkan saat
melihat Gunung Sipiso – piso di waktu kecil akhirnya menjadi
kenyataan. Sejak menjadi mahasiwa Jurusan Pendidikan Geografi aku mulai aktif
melakukan pendakian gunung di Sumatera Utara bersama teman – teman sekelas.
Tahun 2011 untuk pertama kalinya aku dan beberapa orang temanku melakukan
pendakian Gunung Sibuatan dan Gunung Sipiso – sipiso, mereka adalah beri dan
johan yang merupakan teman sekelasku di bangkus, serta setiawan atau yang kerap
disapa blues, ia merupakan teman di lingkungan rumah beri yang kuliah di
Universitas Panca Budi. Mereka bertiga tergabung di dalam organisasi Mapala
(mahasiswa pecinta alam) kampus, Cuma aku yang tidak, aku ini mah apa atuh,
kalau mereka bilang sih Sapala (sahabat pecinta alam).
Secara administratif Gunung Sibuatan dan Gunung Sipiso –
piso berada di Kecamatan Merek, Kabupaten Karo. Bila kita melintas dari tugu
perjuangan Kecamatan Merek ke arah Sidikalang, Gunung Sipiso – sipiso lebih
dahulu tampak di sebelah kiri jalan, sedangkan Gunung Sibuatan berada di
sebelah jalan. Kedua gunung tersebut tampak dekat di mata, namun bila kita dekati kakinya tidak
sedekat yang kita lihat.
Rencana pendakian kami adalah mendaki Gunung Sibuatan
terlebih dahulu baru mendaki Gunung Sibuatan. Hari pertama kami kemah di kaki
Gunung Sibuatan, keesokan paginya aku melihat Gunung Sipiso – piso begitu indah
meskipun dari kejauhan, bagaimana tidak indah, matahari terbit dari balik
Gunung Sipiso – piso, pertanda kalau Gunung Sipiso – piso berada di sebelah timur
Gunung Sibuatan.
“ayah ... insya’allah besok aku akan mendaki gunung yang
pernah aku lihat dari jendela mobil saat kita pergi ke Singkil” ucapku dalam
hati kepada almarhum ayah.
Sebelum menemukan puncak Gunung Sibuatan kami berkemah
satu malam lagi ditengah rimba yang lembab, sangking lembabnya diselimuti lumut
abadi. Keseokan paginya kami melanjutkan pendakian kembali menuju puncak yang
kami cari. Ketika sampai di puncak Gunung Sibuatan, aku mengingat kembali
kelebatan hutan yang telah kami lalui sembari melihat kelebatan hutan yang
menyelimuti kaki – kaki Gunung Sibuatan. Dari puncak sini tampak jalan lintas
sidikalang, jalan yang pernah aku lalui saat pergi ke Singkil bersama ayah,
jalannya terlihat sanga kecil.
“ayah... akhirnya aku melalui dan berada dibalik
kelebatan hutan yang selama ini aku pandangi saat kita dalam perjalanan ke
Singkil” ucapku dalam hati kepada ayah.
Gunung Sibuatan bukanlah gunung yang memiliki kawah, puncaknya
didominasi oleh hutan sabana, namun gunung yang memiliki ketinggian 2.457 mdpl
tersebut merupakn puncak tertinggi Sumatera Utara, juga merupakan dinding alami
yang membatasi Kabupaten Karo dengan Kabupaten Dairi. Hari itu juga kami turun
dari Gunung Sibuatan dengan melanjutkan bermalam di rumah teman seorganisasi
Beri di Mapala Unimed yang masih di Kecamatan merek. Kesekoan paginya kami
melanjutkan perjalanan ke Kaki Gunung Sipiso – piso dengan menggunakan jasa
becak mesin dan bermodalkan informasi seadanya dari teman Beri.
Tibalah kami di kaki Gunung Sipiso – piso, kini gunung
yang selama ini aku lihat dari kejauhan begitu tampak jelas di mataku.
Sebenarnya ini bukan kali pertama aku berada begitu dekat dengan gunung
tersebut, tahun 2009 saat acara perpisahan kelas dengan teman SMA, kami
melewati kakinya ketika perjalanan dari Simarjarunjung ke Air Terjun Sipiso –
piso yang tidak jauh dari kaki gunung tersebut, aku melihatnya dari bus yang
sedang berjalan dan dari Air Terjun Sipiso – piso, setiap kali melihtanya aku
semakin tertantang untuk menaikinya, namun saat itu aku belum punya teman yang
hobi mendaki gunung.
Mendaki Gunung
Sipiso – piso tidaklah selama ketika mendaki Gunung Sibuatan, sebab
lebih rendah, ketinggianya hanya 1900 mdpl. Untuk mencapai puncaknya kami
menghabiskan waktu sekitar sembilan puluh menit, sebab ke atas sudah ada jalan
aspal, jadi tidak pakai acara kesasar seperti mendaki Sibuatan. Aspal menuju
puncak sudah banyak yang berlubang, bahkan tingginya ilalang sampai menutupi
jalan, bila dari kejauhan jalan aspal tersebut memiliki pola zigzag mulai dari
kaki hingga ke puncak. Sepertinya tempat ini dulu ramai dikunjungi, namun kini
sudah jarang dikunjungi. Ketika di ujung aspal yang mencapai puncak, terdapat
dua pondopo dengan dengan atap menyerupai atap rumah adat karo, peondopo
tersebut kelihatan sudah tua dan usang, pilar – pilar betonnya banyak yang
menjadi wadah vandalisme orang – orang yang pernah ke sini.
Ternyata dari sini itu sungguh menakjubkan, dari puncak
Gunung Sipiso – Sipiso kami dapat melihat megahnya danau toba dengan pulau
samosir yang ada di tengahnya, sungguh indah ciptaan tuhan! Selain itu kami
bisa melihat Gunung Sibuatan yang tampak hijau kegelapan, air terjun sipiso –
piso, hamparan pertanian yang ada di Kecamatan Merek, kaki gunung ini memanjang
hingga menyusup ke dalam danau toba.
Aku ingat kata dosan geomorfolgi kami Pak Ardin Sialagan,
saat kami Kuliah Kerja Lapangan di tahun 2012, tidak jauh dari air terjun sipiso
– piso beliau menjelaskan “gunung sipiso – piso merupakan anak dari Gunung Toba
atau Tumor Batak yang pernah meletus jutaan tahun yang lalu, ketika Gunung Toba
meletus magma yang ada dibawahnya juga mendorong lapisan kulit bumi yang ada
disekitarnya sehingga lahirlah dua anak anak Gunung Toba, yaitu Gunung Sipiso –
piso dan Gunung Pusuk Buhit”
Selama mendaki kami tidak melihat hutan yang lebat di
sepanjang lereng Gunung Sipiso – piso, ternyata karpet hijau yang selama ini
aku lihat dari kejauhan bila didekati adalah ilalang dan semak belukar. Sepertinya
pohon – pohon besar sulit bertahan disini karena lapisan humusnya sangat tipis,
beberapa centimeter saja sudah ditemukan batuan tua yang merupakan hasil
pengangkatan dari Gunung Toba di masa lampau.
Hutan yang lebat hanya ditemukan di puncak Gunung Sipiso –
piso, namun jalan aspal tida sampai ke sana, kalau bisa jangan sampai, nantinya
akan merusak habitat para penghuni gunung ini. Proses pelapukan dan sedimentasi
yang sangat lama di puncaknya sepertinya mendukung pembentukan hutan yang
lebat. Kami yakin pilarnya ada di dalam sana, bagi kami tidak lengkap rasanya
mendaki gunung bila tidak menemukan pilar, yaitu titik pasti yang menjadi
penanda ketinggian suatu gunung atau bukit. Ketika mencoba menerobos hutan,
dibali ialang kami melihat tapal batas yang menjadi penanda bahwa gunung ini
merupakan perbatasan antara kabupaten karo dengan kabupaten Simalungun. Sekitar
lima belas menit dengan melewati jalan hutan yang cukup menanjak, kami
menemukan pilar gunung tersebut. Aku kelilingi pilar itu, aku peluk, bahkan aku
cium, begitulah kebiasaanku ketika menemukan pilar gunung.
“ayah ... aku Cuma mau bilang, aku yakin kau pasti
mendengarnya di sana, anakmu yang dulu sangat suka melihat gunung Sipiso – piso
dari jendela mobil saat kita dalam perjalanan ke Singkil, ia pernah bermimpi
untuk mendakinya, sekarang ia sudah ada di puncak gunung tersebut, seandainya
kau masih nyata di hadapanku, akan ku ceritakan semunya kepadamu” ucapku dalam
hati namun menggetarkan jiwa.
Komentar
Posting Komentar