Dari Balik Jendela


oleh : Hakim Syah Reza Lubis
            Sejak masih duduk di bangku TK hingga kelas dua SD, aku dan omak (ibu) sering diajak ayah pergi ke Kota Singkil, dulunya kota tersebut merupakan bagian dari Kabupaten Aceh Selatan, namun setelah mengalami pemekaran menjadi bagian dari Kabupaten Aceh Singkil. Kami kesana bukan dalam rangka liburan, sebab ayah sudah bertugas di Kantor Pengadilan Agama Singkil sejak aku kecil. Sebulan sekali biasanya ayah pulang ke Medan, setelah beberapa hari baru ayah balik lagi ke Singkil, sejak kecil aku sudah terbiasa seperti itu, namun sesekali ayah membawa kami ke Singkil.
            Ketika aku masih anak satu – satunya hampir sering ayah membawa kami ke Singkil, ketika adikku Fadil lahir yang berjarak lima tahun denganku, ayah mulai jarang membawa kami ke Singkil, yang aku ingat terakhir kali ayah membawa kami ke Singkil itu saat aku masih di kelas dua SD. Mungkin seiring dengan bertambahnya anak berbanding lurus dengan peningkatan biaya transportasi. Dulu ketika masih TK mungkin aku masih terhitung gratis dan bisa dipangku, sesekali duduk dibangku kosong yang belum ada penumpang, atau duduk di celah sempit antara ayah dan pintu mobil. Tapi alasan terpenting adalah agar tidak mengganggu sekolahku dan menambah catatan ketidakhadiranku di absensi kelas, karena kalau sudah ke Singkil biasanya kami menghabiskan sekitar waktu seminggu di sana, apalagi itu bukan saat musim liburan, bila masa liburan tentunya ayah yang lama di Medan.
Kalau ke Singkil biasanya kami menggunakan mobil panter atau L300 yang sediakan oleh jasa transportasi dengan rute Medan – Singkil, loketnya ada di Jalan Bintang Medan. Waktu tempuh Medan – Singkil biasanya kami habiskan dalam satu hari satu malam. Rute yang kami lalui adalah Medan – Brastagi – Kabanjahe – Sidikalang – Tapaktuan – Singkil, sesekali pak supir memberhetikan mobil untuk makan dan beristirahat. Selama di perjalanan aku jarang sekali tertidur, kecuali pada malam hari. Biasanya ayah menyuruhku membaca tulisan – tulisan yang aku lihat selama di perjalanan, sesekali ayah menjelaskan bila melalui tempat – tempat penting dan mendapat pertanyaan dariku.
Aku masih ingat saat kami melewati dataran tinggi, dengan medan yang menanjak, menurun, dan berkelok – kelok. Selama mataku masih segar aku selalu memperhatikan panorama yang kami lalui saat di perjalanan dari jendela mobil, mulai dari perbukitan, gunung, hutan, sungai, tebing, jurang, pertanian, hingga permukiman masyarakat yang yang sesekali muncul di sepanjang jalan lintas. Kalau aku sudah mabuk perjalanan biasanya ayah selalu melarangku melihat hutan yang di lalui selama perjalanan, aku sangat suka meilhat pepohonan yang seolah – olah berlari kencang, padahal kenyatannya mobil kami yang melaju kencang. Ayah menyuruhku untuk melihat kedepan saja, katanya itu yang membuat ku jadi pusing.
Dari semua panorama yang aku saksikan selama di perjalanan dari Medan ke Singkil, ada satu panorama yang begitu aku sukai, yaitu saat melihat sesuatu yang aku yakini adalah gunung.
 “yah itu gunung ya?” tanyaku kepada ayah sambil melekatkan wajahku ke kaca mobil.
“itu namanya gunung sipiso - sipiso?” jawab ayah kepadaku.
“kenapa namanya sipiso – piso yah?”
“karena di dekat situ ada air terjun namanya sipiso – piso”
“kalau jalan kesitu dekat ya yah?”
“itu jauh nak ... nampaknya saja yang dekat”
“pengenlah aku ke sanan nanti” ucapku dalam hati yang saat itu masih mengenyam pendidikan TK.
Dengan bentuk kerucut yang tampak jelas dari jendela kiri mobil. gunung tersebut seolah – olah dilapisi oleh karpet hijau, di kakinya terhampar kawasan pertanian, aku merasa gunung itu begitu dekat. sepertinya gunung itu tidak berpindah sama sekali meskipun mobil sudah melaju begitu kencangnya, aku tidak pernah berhenti memandangi gunung tersebut sampai aku tidak bisa melihatnya lagi.
Sejak kecil sepertinya sudah terlihat kalau aku ini orang yang suka naik gunung dan masuk kehutan, bayangin ketika melihat gunung aku ingin merasa ingin segera mendekatinya, ketika melihat hutan aku begitu penasaran akan apa yang ada didalamnya. Ketika sejak kecil aku selalu punya imajinasi bila melewati jalan lintas yang dikanan – kirinya membentang hutan yang lebat dan luas, mau tahu gak apa yang aku bayangkan? Aku tuh suka membayangkan seandainya aku ditinggal di jalan yang sepi – senyap dan dikerumuni kelebatan hutan seperti itu, aku akan tinggal dimana? akan menemui siapa? Akan makan apa? sok survive banget kan!
Lima belas tahun kemudian, apa yang aku inginkan saat melihat Gunung Sipiso – piso di waktu kecil akhirnya menjadi kenyataan. Sejak menjadi mahasiwa Jurusan Pendidikan Geografi aku mulai aktif melakukan pendakian gunung di Sumatera Utara bersama teman – teman sekelas. Tahun 2011 untuk pertama kalinya aku dan beberapa orang temanku melakukan pendakian Gunung Sibuatan dan Gunung Sipiso – sipiso, mereka adalah beri dan johan yang merupakan teman sekelasku di bangkus, serta setiawan atau yang kerap disapa blues, ia merupakan teman di lingkungan rumah beri yang kuliah di Universitas Panca Budi. Mereka bertiga tergabung di dalam organisasi Mapala (mahasiswa pecinta alam) kampus, Cuma aku yang tidak, aku ini mah apa atuh, kalau mereka bilang sih Sapala (sahabat pecinta alam).
Secara administratif Gunung Sibuatan dan Gunung Sipiso – piso berada di Kecamatan Merek, Kabupaten Karo. Bila kita melintas dari tugu perjuangan Kecamatan Merek ke arah Sidikalang, Gunung Sipiso – sipiso lebih dahulu tampak di sebelah kiri jalan, sedangkan Gunung Sibuatan berada di sebelah jalan. Kedua gunung tersebut tampak dekat di  mata, namun bila kita dekati kakinya tidak sedekat yang kita lihat.
Rencana pendakian kami adalah mendaki Gunung Sibuatan terlebih dahulu baru mendaki Gunung Sibuatan. Hari pertama kami kemah di kaki Gunung Sibuatan, keesokan paginya aku melihat Gunung Sipiso – piso begitu indah meskipun dari kejauhan, bagaimana tidak indah, matahari terbit dari balik Gunung Sipiso – piso, pertanda kalau Gunung Sipiso – piso berada di sebelah timur Gunung Sibuatan.
“ayah ... insya’allah besok aku akan mendaki gunung yang pernah aku lihat dari jendela mobil saat kita pergi ke Singkil” ucapku dalam hati kepada almarhum ayah.
Sebelum menemukan puncak Gunung Sibuatan kami berkemah satu malam lagi ditengah rimba yang lembab, sangking lembabnya diselimuti lumut abadi. Keseokan paginya kami melanjutkan pendakian kembali menuju puncak yang kami cari. Ketika sampai di puncak Gunung Sibuatan, aku mengingat kembali kelebatan hutan yang telah kami lalui sembari melihat kelebatan hutan yang menyelimuti kaki – kaki Gunung Sibuatan. Dari puncak sini tampak jalan lintas sidikalang, jalan yang pernah aku lalui saat pergi ke Singkil bersama ayah, jalannya terlihat sanga kecil.
“ayah... akhirnya aku melalui dan berada dibalik kelebatan hutan yang selama ini aku pandangi saat kita dalam perjalanan ke Singkil” ucapku dalam hati kepada ayah.
Gunung Sibuatan bukanlah gunung yang memiliki kawah, puncaknya didominasi oleh hutan sabana, namun gunung yang memiliki ketinggian 2.457 mdpl tersebut merupakn puncak tertinggi Sumatera Utara, juga merupakan dinding alami yang membatasi Kabupaten Karo dengan Kabupaten Dairi. Hari itu juga kami turun dari Gunung Sibuatan dengan melanjutkan bermalam di rumah teman seorganisasi Beri di Mapala Unimed yang masih di Kecamatan merek. Kesekoan paginya kami melanjutkan perjalanan ke Kaki Gunung Sipiso – piso dengan menggunakan jasa becak mesin dan bermodalkan informasi seadanya dari teman Beri.
Tibalah kami di kaki Gunung Sipiso – piso, kini gunung yang selama ini aku lihat dari kejauhan begitu tampak jelas di mataku. Sebenarnya ini bukan kali pertama aku berada begitu dekat dengan gunung tersebut, tahun 2009 saat acara perpisahan kelas dengan teman SMA, kami melewati kakinya ketika perjalanan dari Simarjarunjung ke Air Terjun Sipiso – piso yang tidak jauh dari kaki gunung tersebut, aku melihatnya dari bus yang sedang berjalan dan dari Air Terjun Sipiso – piso, setiap kali melihtanya aku semakin tertantang untuk menaikinya, namun saat itu aku belum punya teman yang hobi mendaki gunung.
Mendaki Gunung  Sipiso – piso tidaklah selama ketika mendaki Gunung Sibuatan, sebab lebih rendah, ketinggianya hanya 1900 mdpl. Untuk mencapai puncaknya kami menghabiskan waktu sekitar sembilan puluh menit, sebab ke atas sudah ada jalan aspal, jadi tidak pakai acara kesasar seperti mendaki Sibuatan. Aspal menuju puncak sudah banyak yang berlubang, bahkan tingginya ilalang sampai menutupi jalan, bila dari kejauhan jalan aspal tersebut memiliki pola zigzag mulai dari kaki hingga ke puncak. Sepertinya tempat ini dulu ramai dikunjungi, namun kini sudah jarang dikunjungi. Ketika di ujung aspal yang mencapai puncak, terdapat dua pondopo dengan dengan atap menyerupai atap rumah adat karo, peondopo tersebut kelihatan sudah tua dan usang, pilar – pilar betonnya banyak yang menjadi wadah vandalisme orang – orang yang pernah ke sini.
Ternyata dari sini itu sungguh menakjubkan, dari puncak Gunung Sipiso – Sipiso kami dapat melihat megahnya danau toba dengan pulau samosir yang ada di tengahnya, sungguh indah ciptaan tuhan! Selain itu kami bisa melihat Gunung Sibuatan yang tampak hijau kegelapan, air terjun sipiso – piso, hamparan pertanian yang ada di Kecamatan Merek, kaki gunung ini memanjang hingga menyusup ke dalam danau toba.
Aku ingat kata dosan geomorfolgi kami Pak Ardin Sialagan, saat kami Kuliah Kerja Lapangan di tahun 2012, tidak jauh dari air terjun sipiso – piso beliau menjelaskan “gunung sipiso – piso merupakan anak dari Gunung Toba atau Tumor Batak yang pernah meletus jutaan tahun yang lalu, ketika Gunung Toba meletus magma yang ada dibawahnya juga mendorong lapisan kulit bumi yang ada disekitarnya sehingga lahirlah dua anak anak Gunung Toba, yaitu Gunung Sipiso – piso dan Gunung Pusuk Buhit”
Selama mendaki kami tidak melihat hutan yang lebat di sepanjang lereng Gunung Sipiso – piso, ternyata karpet hijau yang selama ini aku lihat dari kejauhan bila didekati adalah ilalang dan semak belukar. Sepertinya pohon – pohon besar sulit bertahan disini karena lapisan humusnya sangat tipis, beberapa centimeter saja sudah ditemukan batuan tua yang merupakan hasil pengangkatan dari Gunung Toba di masa lampau.
Hutan yang lebat hanya ditemukan di puncak Gunung Sipiso – piso, namun jalan aspal tida sampai ke sana, kalau bisa jangan sampai, nantinya akan merusak habitat para penghuni gunung ini. Proses pelapukan dan sedimentasi yang sangat lama di puncaknya sepertinya mendukung pembentukan hutan yang lebat. Kami yakin pilarnya ada di dalam sana, bagi kami tidak lengkap rasanya mendaki gunung bila tidak menemukan pilar, yaitu titik pasti yang menjadi penanda ketinggian suatu gunung atau bukit. Ketika mencoba menerobos hutan, dibali ialang kami melihat tapal batas yang menjadi penanda bahwa gunung ini merupakan perbatasan antara kabupaten karo dengan kabupaten Simalungun. Sekitar lima belas menit dengan melewati jalan hutan yang cukup menanjak, kami menemukan pilar gunung tersebut. Aku kelilingi pilar itu, aku peluk, bahkan aku cium, begitulah kebiasaanku ketika menemukan pilar gunung.
“ayah ... aku Cuma mau bilang, aku yakin kau pasti mendengarnya di sana, anakmu yang dulu sangat suka melihat gunung Sipiso – piso dari jendela mobil saat kita dalam perjalanan ke Singkil, ia pernah bermimpi untuk mendakinya, sekarang ia sudah ada di puncak gunung tersebut, seandainya kau masih nyata di hadapanku, akan ku ceritakan semunya kepadamu” ucapku dalam hati namun menggetarkan jiwa.
           

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendakian Gunung Pusuk Buhit

PMR Madya dan Wira Sekolah Kallista Mengikuti Pelantikan PMR Se-Kota Batam Tahun 2017

Penyampai Pesan Kematian