SOMETHING NEVER DIE


Oleh : Hakim Syah Reza Lubis
            Sudah 12 tahun berlalu, sejak kepergian ayah pada 30 Januari 2008. Ayah meninggalkan seorang istri; Fathiah Hasibuan, serta 7 orang anak; Aku, Fadil Syah Reza Lubis, Muhammad Asra’i Lubis, Khairunnisa Lubis, Siti Nurhalizah Lubis, Siti Rahmadhani Lubis, dan Ulul Azmi Lubis. Aku adalah abang dari ke 6 anak ayah yang lain, aku tidak pernah meminta menjadi anak pertama. Seandainya aku boleh memilih, aku sangat ingin punya seorang abang dan kakak. Namun aku tidak pernah menyesali semua itu, karena sebelum nyawa dihembuskan ke jasadku, aku sudah menyepakatinya dengan Allah. Siap tidak siap, terima tidak terima, aku wajib melakoninya.
            “Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati” begitulah janji Allah yang tertuang di dalam kitab suci Al – Qur’an. Kita tidak tahu kapan kita akan mati, kita tidak bisa menundanya, mempercepatnya, apalagi harus memilih di waktu yang kita inginkan. Ayah dijemput Malaikat Izra’il di saat kami masih menempuh masa sekolah. Saat itu aku baru kelas 2 SMA, selebihnya ada yang masih SMP dan kebanyakan masih SD, kecuali Ulul yang baru berusia 1 tahun. Aku yakin ayah pun berharap dijemput dari bumi saat semua anak – anaknya sudah menuntaskan masa sekolah, harapan itu tidak selamanya berbuah manis, sudah menjadi kehendak Allah untuk menentukan apa yang menurutnya baik, karena memang Ia Sang Maha Baik.
            Sejak ayah tiada, banyak sanak saudara yang mengatakan ini kepadaku “Kau itu abang sekaligus ayah untuk adik – adikmu”. Kata – kata itu memang singkat, namun menyimpan makna dan harapan yang mendalam. Omak (ibu) memang masih ada, namun lelaki yang paling besar di rumah adalah aku, maka dari itu estafet tanggung jawab, mau tidak mau harus ku sambut dengan genggaman erat. Wasiat sanak saudara tersebut ku peroleh saat aku masih menikmati masa – masa remaja, tapi aku berusaha untuk mengemban amanah tersebut seutuhnya. Awalnya aku tidak begitu menghiraukannya, namun itu terus menjadi momok besar yang bersarang di dalam kepalaku.
            Aku sudah tidak bisa melihat raga ayah di bumi ini, apalagi harus memeluk ayah di saat aku rindu. Meski ayah sudah mengakhiri nafasnya di bumi, namun kenangan saat bersamamu tidak pernah berhenti bernafas di alam pikiranku, mulai dari canda, tawa, marah, serta sifat – sifat yang khas dari dirimu. Kau memang sudah mati, namun ada something never die dari dirimu, yaitu nasehatmu yang selalu hidup selama aku hidup.
            Sejak aku kecil hingga aku remaja, begitu banyak petuah yang ayah berikan kepadaku. Aku tak akan mampu mengurai semua nasehat itu satu persatu, namun aku selalu menanam yang paling berkesan di lahan subur sanubariku. Suatu hari di penghujung tahun 2007, sebulan sebelum kau jatuh sakit, tiga bulan sebelum kau kepergianmu ke alam barzah. Saat itu kau tengah duduk di bangku kayu yang ada di dekat pintu rumah, sedang aku duduk di kursi. Menurutku ini merupakan perbincangan paling serius antara kau dan aku tanpa ada embel – embel masalah yang baru saja aku lakukan. Biasanya kau menasehatiku panjang kali lebar di saat aku baru saja berbuat yang tidak indah di matamu, namu kali ini beda.
            “Kim...” ayah memanggil ujung namaku.
            “Iya yah...” menjawab sahutan ayah.
            “Kau sudah tahu mau kuliah jurusan apa nanti?”
            “Alhamdulillah sudah yah”
            “Mau jurusan hukum? Biar jadi hakim seperti ayah...”
            Ayah memang pernah menyarankan aku untuk masuk jurusan hukum, karena katamu aku sangat suka berdebat denganmu.
            “Enggaklah yah...” jawabku.
            “Memangnya mau kuliah jurusan apa?”
            “Mau kuliah itu yah... jurusan yang berhubungan sama pengamatan cuaca, iklim, gempa dan gunung berapi gitu... pokoknya yang masih berhubungan dengan alam lah.”
            “Ohhh... kalau itu sepertinya ada di Jawa.”
            “Masak sih yah... tapi guru Geografiku kuliahnya di Medan kok.”
            “Ohhh... kalau itu kuliahnya di IKIP lah... di jalan Pancing sana.”
            IKIP merupakan singkatan dari Institut Kejuruan Imu Pendidikan yang merupakan perguruan tinggi negeri yang mencetak para guru, hampir setiap kota di Indonesia memilki IKIP. Seiring perkembangan waktu IKIP Medan berubah menjadi Unimed (Universitas Negeri Medan). Dulu jalan tempat kampus tersebut berada namanya Jalan Pancing, sekarang sudah menjadi Jalan Willem Iskandar. Meskipun  sudah dirubah, generasi – generasi jauh sebelumku masih terbiasa menyebutnya IKIP Medan dan Jalan Pancing.
            “Ya sudah... dimanapun kau kuliah nantinya, yang penting kau belajar dengan sungguh – sungguh,” ayah menambahi.
            “Insy’allah yah.”
            “Insy’allah dengan gaji yang ayah peroleh, ayah sanggup membiayai kuliahmu sampai kau tamat... tamat pun kau nanti, ayah masih aktif bekerja sebagai PNS.”
            “Iya makasih yah...”
            “Kau harus lebih tinggi dari ayah, kalau ayah bisa lulus sarjana, seharusnya kau lebih dari itu, yah minimal sarjana juga seperti ayah...”
            “Iya yah... insya’allah.”
            “Selain itu.. kau juga harus jadi orang sukses, kau itu anak pertama... adik – adikmu akan mencontoh apa yang ada pada dirimu, kalau kau sukses mereka juga akan ikut sukses, tapi kalau tidak begitu juga sebaliknya.”
            Itu lah pesan – pesan yang terpaku mati di benakku, yang seakan - akan sudah menjadi ideologi bagiku sejak kau tiada. Kelak kata – katamu itu yang selalu menjadi penyemangat bagiku dalam mengejar cita – citaku dan apa yang kau cita – citakan akan diriku. Tekad dan semangat merupakan energi yang dinamis di dalam diri siapapun, terkadang bisa naik, terkadang bisa turun. Tapi aku tidak akan membiarkan semangat itu luntur dan hilang dari diriku, seperti kata Udak (Paman) Adek kepadaku “Kalau kita mulai melenceng sedikit, ingat kembali almarhum ayah kita.” Jadikan itu sebagai navigator dalam hidup, jadi tidak ada kata tersesat dan kehilangan arah.
            Ayah dan omak merupakan orang tua yang peduli terhadap pendidikan kami, namun bila dibandingkan dengan omak, jujur aku katakan ayah lebih tegas dan keras dalam memperhatikan perkembangan pendidikan kami, bagi dia pendidikan itu sangat penting untuk kehidupan kami di masa depan. Bahkan ayah pernah mengatakan “Nanti kalau kau nikah, cari juga istrimu yang berpendidikan,” saat itu aku hiraukan saja karena belum kepikiran untuk nikah. Berapapun uang yang diperlukan, selama itu memang benar – benar untuk keperluan sekolah, beliau siap memberikannya. Biasanya bila menjelang bagi raport ayah selalu bertanya kepadaku “Rangking berapa kau nanti?” Bagi raport saja belum, tapi aku tetap menjawabnya sesuai prediksiku. Kemudian ayah menambahkan “Yang belajar kau... yang ujian kau... seharusnya kau tahu dapat rangking berapa.” Disitu ayah mau mengajarkan kalau nilai yang kita peroleh merupakan hasil dari apa yang kita upayakan, kalau istilah sekarang bilang “usaha tidak akan pernah menghianati hasil”, sebenarnya saat itu ayah mau menguji sudah sejauh mana kerja kerasku  selama belajar di rumah maupun di sekolah. Kalau nilaiku turun, biasanya ayah mengintrogasiku dengan berbagai rumusan masalah, setelah itu beliau memotivasiku agar merebutnya kembali di semester depan. Selain nilai, ayah juga menegaskan kami agar menjaga sikap, waktu aku SD ayah pernah mengatakan “Gurumu itu tahu apa yang kau lakukan di rumah... gurumu tahu bagaimana sikapmu di rumah... dia itu tahu kau rajin kah? Sopan kah? di rumah”. saat itu aku heran bagaimana mungkin guruku bisa tahu sikapku di rumah, apa dia setiap hari touring ke rumah siswa - siswanya yang begitu banyak, lalu mengendap – endap untuk mengintai tingkah laku para siswanya di rumah, atau para guru punya ilmu untuk menerawang kami dari kejauhan. Setelah aku jadi guru baru aku tahu, kalau apa yang dibilang ayah itu benar, sebab guru itu harus memahami psikologi pendidikan, karena sikap siswa di sekolah merupakan cerminan mereka di rumah.
            Aku bersyukur karena tidak terlahir di lingkungan orang tua yang suka mengekang pilihan anaknya terkait pilihan jurusan kuliah dan cita - cita, meskipun ayah alumni dari IAIN (Institut Agama Islam Negeri), beliau tidak pernah memaksa kami agar kami masuk jurusan agama dan menjadi hakim sepertinya. Selama aku menjadi tenaga pendidik aku sering menemukan orang tua memaksakan kehendaknya kepada anak mereka. Aku pernah punya siswa yang ingin mengambil jurusan hukum, namun dia bercerita orang tuanya memaksanya untuk menjadi dokter. Yang lebih miris lagi aku pernah punya siswa yang ingin menjadi guru karena dia senang mengajar, namun orang tuanya tidak setuju, karena gajinya sedikit dan tidak bisa memenuhi segala kebutuhan hidup untuk kedepannya. Khalil Gibran mengatakan dalam kutipan pusinya “anakmu bukanlah milikimu, mereka adalah putra putri sang hidup, yang rindu akan dirinya sendiri”.
            Awal – awal kepergian ayah, saat aku tengah mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas, aku pernah menangis tanpa suara. Air mata yang menetes lembut seketika segera aku hapus cepat – cepat, agar teman – teman yang lain tidak tahu, tapi sepertinya teman sebangkuku dan guruku tahu, mungkin mereka paham atas kemalangan yang baru saja menimpaku. Aku coba fokus mengikuti materi yang dijelaskan guruku, tapi sesekali sosokmu terus hadir menghantuiku. Hal seperti itu sering terjadi kepada diriku, kerinduan yang tidak pernah habis akan dirimu selalu merasuki kehidupanku, bahkan sampai saat ini aku bisa meneteskan air mata seketika bila mengingat segala yang berkesan tentang dirimu. Dalam menyusun tulisan ini air mataku juga turut hadir, begitu juga dengan tulisan – tulisan lain yang berhubungan dengan dirimu.
            Di akhir kelas 3 SMA, beberapa teman sekelasku tengah hangat - hangatnya berbincang mengenai perguruan tinggi negeri favorit dan bimbel (bimbingan belajar) yang mereka ikuti selepas pulang sekolah dalam rangka menghadapi ujian masuk perguruan tinggi negeri. Ada yang mau ke UGM (Universitas Gajah Mada) lah, UI (Universitas Indonesi) lah, USU (Universitas Sumatera Utara) lah dan beberapa universitas negeri lainnya yang ada di luar Medan. Jujur saat itu aku juga ingin mengikuti bimbel untuk masuk perguruan tinggi negeri, aku tahu biayanya tidak murah, maka dari itu aku urungkan niatku. Aku tidak mau merepotkan omak, uang sekolahku bisa terbayar saja aku sudah bersyukur, apalagi aku sekolah di Swasta yang uang sekolahnya notabene lebih merogoh kocek dari pada di SMA negeri. Mereka sudah tau mau kemana, sementara aku saat itu belum tahu mau kemana setelah tamat sekolah, inilah salah satu kegalauanku di penghujung masa SMA.
            Pernah pada saat itu Pak Musadad yang merupakan wali kelasku, mengumumkan kepada kami bahwa IPB (Institut Pertanian Bogor) memberikan kesempatan kepada siswa yang rangking 3 besar untuk masuk tanpa test, beliau mengatakan bagi yang berminat silahkan segera dilengkapi berkas – berkasnya. Temanku yang rangking 1 dan 2 sepertinya tidak berminat, aku yang rangking tiga sebenarnya berminat, pikiranku saat itu jurusan pertanian masih berhubungan dengan alam, tapi aku tidak mengambilnya. Disitulah kedewasaanku mulai diuji, selama ini sebagai abang aku masih memikirkan diriku sendiri, disitulah aku mulai berpikir bahwa dalam berkeluarga kita tidak hanya menuruti keinginan sendiri. Kita semua memang punya tujuan yang ingin kita capai, namun dalam mewujudkannya jangan sampai mengabaikan kewajiban kita kepada orang lain dan hak yang orang lain harapkan dari kita. Aku teringat pesan sanak saudara yang mengatakan kalau aku ini abang sekaligus ayah untuk adik – adikku, maka dari itu aku urungkan niatku untuk masuk IPB. Sebenarnya aku ingin kuliah di luar kota, tapi ada beberapa pertanyaan yang tengah berperang dalam pikiranku “Kalau aku kuliah di luar kota, siapa yang mengurus adik – adikku nanti? Siapa yang memperhatikan adik – adikku nanti? Siapa yang memantau adik – adikku nanti?” Semua itu aku telan sendiri. Kalau aku anak semata wayang dan tidak memiliki adik banyak yang masih kecil – kecil, tentunya aku bebas terbang kemanapun yang aku mau. Namun adik – adikku merupakan tanggung jawab yang mencengkeram erat sayapku agar tidak terbang jauh dulu.
            Sebelum aku tamat dari SMA Amir Hamzah, kami beberapa siswa kelas 3 pilihan dari 4 kelas yang saat itu di panggil ke ruang Bimbingan Konseling, kami yang dipanggil saat itu merupakan yang masuk dalam rangking 6 besar, saat itu aku merupakan rangking 3 di kelas XI IPA 2. Kami yang di panggil saat itu diarahkan untuk mengikuti program PMDK (Penelusuran Minat dan Bakat), yaitu salah satu jalur masuk perguruan tinggi negeri dengan mempertimbangkan nilai raport mulai dari kelas 1 hingga kelas 3 SMA. Dari beberapa siswa yang dipanggil banyak juga yang tidak mau mengikutinya, karena kampus yang di tuju saat itu adalah Unimed. Mereka lebih tergiur untuk masuk ke USU dan beberapa universitas negeri favorit lainnya. Sepertinya Unimed tidak favorit bagi mereka, karena kelak akan menjadi guru bila telah lulus. Aku saat itu tidak pernah berpikir bahkan bercita – cita jadi guru, namun karena ini merupakan peluang yang ditawarkan kepadaku, aku terima saja, seperti kata ayah dimanapun aku kuliah yang terpenting harus belajar dengan sungguh – sungguh. Kami yang bersedia mengikuti progmram PMDK segera mempersiapkan berkas – berkas yang dibutuhkan, jurusan yang ku pilih adalah Pendidikan Biologi, aku pilih jurusan tersebut karena memang pelajaran yang aku sukai dibandingkan Kimia dan Fisika, selain itu masih berhubungan dengan alam. Jujur saat itu pengetahuanku tentang berbagai jurusan yang ada di perguruan tinggi sangat minim, jurusan yang aku tahu hanya jurusan – jurusan yang berhubungan dengan berbagai mata pelajaran yang ada di sekolah, seperti; matematika, bahasa indonesia, bahasa inggris, fisika, bilogi, kimia, ekonomi, sejarah, geografi, sosilogi, seni musik, seni budaya, PPKn, dan lain sebagainya. Beberapa bulan kemudian pengumuman siswa yang lulus program PMDK keluar, alhamdulillah aku TIDAK LULUS, aku terima hasilnya dengan lapang dada. Guruku mengatakan kalau yang lulus itu, selain nilainya tinggi juga harus meningkat dari kelas 1 hingga kelas 3. Nilaiku memang tinggi, namun nilaiku mengalami fluktuatif mulai dari kelas 1 hingga kelas 3, menurutku naik – turunnya nilai pada raportku, merupakan saksi bahwa masalah hidup yang silih berganti memepengaruhi kinerja belajar siswa di sekolah.
Waktu kelulusan kelas 3 semakin dekat, kegalauanku semakin menjadi – jadi  terkait “harus kemana aku setelah tamat sekolah?” Saat itu aku masih meraba – raba dalam menentukan pilihan. Seandainya aku lulus di salah satu kampus negeri, terus pembayarannya bagaimana selama aku menempuh masa kuliah? Aku tidak mungkin mengharapkan omak yang menghudupi kami dari gaji pensiun ayah yang tidak seberapa. Gajian pensiun ayah tidak diperoleh dengan utuh, karena ayah meninggal sebelum masa baktinya selesai, setengah dari gajinya saja tidak sampai. Bila kuliah di kampus swasta tentu biayanya lebih besar dibandingkan dengan di kampus negeri. Sempat juga berpikir untuk bekerja saja setelah tamat kuliah setelah modal mencukupi baru kuliah, sempat juga berpikir kuliah sambil bekerja, sempat juga tidak mau kemana – mana. Banyaknya pilihan hidup yang menggulung – gulung seperti angin puting beliung di kepalaku sempat membuatku pasrah dan tidak peduli dengan semua itu. aku juga manusia bisa yang rapuh dibalik ketegaran, apalagi setelah kehilangan sosok ayah yang sangat berpengaruh dalam momotivasiku di bidang pendidikan. Mencoba tidak peduli itu sesuatu yang mustahil, rasanya seperti melawan derasnya air terjun niagara, semakin dilawan semakin membuatku terseret oleh pesan – pesan ayah yang tidak pernah mati.
Suatu siang, seusai jam pulang sekolah aku duduk sambil menikmati potongan – potongan bakwan yang dicampur dengan kuah dan irisan cabai rawit, lokasi dudukku di kursi panjang yang ada dibalik gerobak ibu penjual es, buah, sekaligus gorengan. Salah seorang teman sekelasku yang juga duduk disampingku mengajakku mengikuti program SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri), dia juga tidak lulus PMDK, awalnya aku tidak tahu - menahu mengenai SBMPTN, apakah itu sejenis makanan ringan atau makanan berat? Dia menjelaskan seluk – beluk SBMPTN kepadaku. Aku mulai tertarik walaupun belum tahu akan berujung kemana, aku coba mengikuti ajakannya, beberapa hari berikutnya kami membayar uang pendaftaran ke bank yang sudah ditentukan oleh pihak penyelenggara.
            Langkah selanjutnya adalah mengisi biodata secara online dan mencetak kartu ujian. Sebelumnya aku harus menentukan terlebih dahulu jurusan dan kampus mana yang harus aku pilih. Meskipun aku berdomisli di Medan, namun melalui program SBMPTN kita bisa memilih berbagai universitas yang ada di indonesia dengan lokasi uijan tetap di Medan. Aku bolak – balik buku panduan SBMPTN yang menyajikan data berbagai universitas negeri yang ada di Indonesia lengkap dengan jurusan – jurusannya, buku tersebut ku peroleh dari pihak bank saat melakukan pembayaran. Aku memutuskan untuk kuliah di Medan saja, agar tetap bisa memantau adik – adik, kampus tujuanku Unimed, pilihan pertamaku Jurusan Pendidikan Biologi, pilihan keduaku Jurusan PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga), pilihan yang kedua ini belum pernah aku dengar sebelumnya. Aku memilihnya karena dari namanya aku berpikir itu seperti jurusan psikologi yang berhubungan dengan konseling keluarga, harapannya dengan masuk jurusan itu minimal aku dapat menuntaskan permasalahan – permasalahan yang ada di keluargaku. Meskipun kampus yang ku tuju Unimed, namun saat melakukan pencetakan kartu ujian kami pergi ke rental komputer yang ada di sekitaran USU. Dari beberapa informasi, kalau operator rental disana paham dalam melakukan proses pengisian data dan pencetakan kartu ujian.
            Tanpa terasa aku sudah lulus SMA, aku pun mengikuti seleksi SBMPTN yang sudah sejak jauh – jauh hari di cetak kartu ujiannya. Selain berdoa, persiapanku sebelum masa ujian adalah mempelajari paket – paket soal SBMPTN yang di jual secara eceran di depan – depan pintu gerbang Unimed. Lokasi ujianku di SMK Teladan, Kecamatan Medan Tembung, dengan pakaian atasan putih dan bawahan hitam, ujian berlangsung sekitar dua hari, aku mendapatkan sesi pagi. Ketika tiba saat pengumuman hasil test SBMPTN, aku pun langsung memberi koran, berlembar – lembar halaman koran penuh dengan puluhan ribu nama – nama peserta yang lulus. Ku cek satu – persatu dengan teliti sambil berdoa di dalam hati, mataku tertuju kepada nomor pangkal peserta ujian yang sesuai dengan nomor ujianku. Alahamdulillah aku menemukan namaku lulus pada Jurusan PKK.
            Ternyata jurusan PKK ini tidak sesuai dengan ekspetasiku, bahkan melenceng jauh dari apa yang ku bayangkan. Saat aku melakukan pembayaran biaya administrasi bagi peserta yang lulus SBMPTN di Unimed, aku menerima bukti pembayaran dengan bertuliskan Jurusan Tata Busana. Sungguh aku terkejut bukan kepalang! Aku menghampiri bapak yang menjadi petugas saat itu. aku menanyakan kepadanya, kenapa nama di bukti pembayaran beda dengan nama di daftar perguruan tinggi yang ada di Indonesia, beliau juga tidak tahu kenapa bisa begitu, dia tidak bisa memberi jawban yang memuaskan. Seandainya aku tahu Jurusan PKK itu adalah Jurusan Tata Busana, aku tidak akan membayar biaya admistrasi tersebut, namun nasi sudah menjadi bubur. Aku terus kepikiran, kok bisa – bisanya aku lulus di Jurusan Tata Busana. Aku sudah mendatangai Tulang (Paman) Ucok yang memilki banyak tetangga dosen – dosen di Unimed, aku mencoba berkosultasi, siapa tahu bisa pindah jurusan. Ternyata memang tidak bisa, aku pun memutuskan untuk menjalaninya semampuku.
            Setelah menjadi mahasiswa Jurusan PKK angakatan 2009 di Fakultas Teknik Unimed, akhirnya aku mendapat jawaban kenapa Jurusan PKK itu juga Jurusan Tata Busana. Ternyata jurusan PKK ini memiliki tiga prodi; Prodi Tata Busana, Prodi Tata Boga, dan Prodi Tata rias. Prodi Tata Busana merupakan prodi tertua dari ketiga prodi tersebut, sedangkan dua prodi lainnya masih tergolong muda, sehingga di BAN – PT (Badan Akreditasi Nasional – Perguruan Tinggi) masih terdata sebagai Jurusan PKK. Satu angkatan saat itu kami hanya dua kelas, satu kelas berjumlah sekitar 40 orang, dari satu angkatan tersebut hanya dua orang yang paling tampan, aku dan teman sekelasku Ahmad, selebihnya cantik – cantik semua. Mereka yang masuk jurusan PKK saat itu mayoritas memang merupakan siswi – siwi dari SMK Tata Busana, Ahmad memang tidak dari SMK Tata Busana, namun dia sudah terbiasa bekerja menerima jahitan pakaian dari banyak pelanggan, bahkan teman – teman sudah mengakui kepiawaiannya dalam jahit – menjahit. Sementara aku ini apalah? Aku cuma siswa SMA yang tidak pandai menjahit. Menurut cerita dari berbagai senior, memang banyak yang terjebak dengan nama PKK tersebut, dari tahun ke tahun selalu ada ayang menjadi korban karena salah persepsi dalam mengenali Jurusan PKK, kebanyakan yang dari mereka banyak yang tidak bertahan hingga akhirnya minggat. Dari teman – teman seangkatanku, ada juga yang nasibnya sepertiku, kami terjebak dalam suasana yang tidak kami harapkan. Hanya 1 semester aku mampu beradaptasi di jurusan tersebut, aku merasa tidak bisa melihat masa depanku di jurusan ini, jiwaku tidak di sini, aku merasa gelap, maka dari itu aku keluar dari kegelapan tersebut.
            Tahun 2010 aku kembali mengiktui ujian SBMPTN, kali ini aku mengambil program IPC (Ilmu Pengetahuan Campuran) dimana sebagai siswa jurusan IPA aku bisa mengambil jurusan IPS yang ada di Perguruan Tinggi Negeri, berbeda dengan tahun lalu, dimana aku mengambil program IPA. Jujur sebelmunya aku tidak tahu kalau siswa IPA boleh mengambil jurusan IPS. Awalnya aku ingin mengambil jurusan Biologi lagi, tapi aku batalkan. Suatu hari aku pernah bermimpi bertemu seorang kakek, di dalam mimpi tersebut dia mengatakan “kau jangan ambil jurusan bilogi lagi, kau ambil jurusan geografi saja, lulus kau itu nanti”. Meskipun itu adalah mimpi yang tidak bisa dijelaskan dengan logika, namun mimpi tersebut tetap aku jadikan referensi dalam memilih jurusan, karena bisa saja mimpi itu sebuah petunjuk.
            Aku lupa kalau selama ini aku menyuakai pelajaran Geografi, itulah alasanku ingin masuk jurusan IPS waktu SMA, karena di jurusan IPS itu ada pelajaran Geografi. Namun wali kelasku di kelas 1 yang merupakan guru kimia, memasukkan aku ke jurusan IPA, meskipun sudah aku katakan kalau aku mau masuk jurusan IPS, namun dia mengatkan nanti aku jadi nakal  kalau masuk IPS. Kini saatnya aku turuti minat yang selama ini sempat terlupakan dan petuah dari mimpi yang baru saja ku alami. Kalau saja aku tahu dari sebelum – sebelumnya boleh memilih Jurusan Geografi, tentu akan memilihnya saat itu, better late than never!
            Saat itu aku juga tidak paham mengenai passing grade setiap jurusan, katanya kalau membuat pilihan jurusan di mulai dengan passing grade yang tinggi hingga ke rendah, jadi kalau nilai kita tidak mencukupi untuk pilihan pertama bisa di alihkan ke pilihan ke dua. Pilihan pertamaku saat itu adalah Jurusan Seni Musik, sedang yang ke dua adalah Jurusan Pendidikan Geografi, jelas – jelas passing grade Jurusan Pendidikan Geografi lebih tinggi dari Jurusan Seni Musik. Lokasi ujiannku saat itu di gedung Fakultas Ekonomi yang bersebelahan dengan Fakultas Teknik Unimed.
            17 Juli 2010 saat pengumuman hasil SBMPTN, setelah dengan teliti dan jantung yang berdegup kencang, aku memperhatikan daftar kelulusan nama - nama peserta yang begitu banyak jumlahnya, akhirnya aku melihat namaku tercantum di Koran Waspada, dengan nomor peserta 21014020701006, Alhamdulillah aku lulus di Jurusan Pendidikan Geografi, aku sangat bersyukur karena aku masuk di jurusan yang aku sukai.
            Perjuangan tidak sampai di situ, untuk kami yang lulus harus segera melakukan daftar ulang dan membayar biaya administrasi, batas pembayaran akhir sudah semakin dekat, sementara aku belum juga melakukan pembayaran. Aku benar – benar pusing saat itu, kalau tidak segera di bayar lenyaplah kesempatanku. Uang yang ada ditanganku sebesar Rp. 500.000, sementara uang yang harus dibayar sekitar Rp. 2.500.000. aku malu menceritakannya kepada omak dan sanak saudara, aku tidak mau memberatkan mereka. Akhirnya aku temui Hamzah, dia merupakan teman sekelasku saat di madrasah dulu, rumah kami sama – sama di Gang Sukadami. Aku menjelaskan masalahku kepadanya, barulah aku memohon agar diberikan pinjaman. Dia pun menceritakan masalah ini kepada orang tuanya. Hingga akhirnya aku dipanggil ke rumah Hamzah, ibunya mengatakan akan memberikan uang kepadaku sebesar Rp. 2.500.000, Rp. 1.000.000 itu dari uang orang tua Hamzah, Rp. 1.000.000 nya lagi dari tantenya Hamzah, dan Rp. 500.000 nya itu dari uang tabungan Hamzah. Ibunya mengatakan kalau yang Rp. 2.000.000 itu tidak perlu dibayar, yang dibayar hanya yang Rp. 500.000 ke Hamzah. Alahmdulillah... Allah mempermudah langkahku. Orang tua Hamzah mengatakan agar belajar dengan sungguh, doakan kami agar sehat selalu dan di murahkan rezekinya. Hingga akhirnya aku melakukan pembayaran di hari terakhir batas pembayaran, kalau tidak lenyap sudah harapanku. Itulah mengapa di bagian awal skripsiku ditemukan ucapan terimakasih kepada Hamzah dan keluarganya, sebab berkat merekalah aku bisa masuk Jurusan Pendidikan Geografi.
            Selama menempuh masa kuliah aku memperoleh uang dengan berbagai cara, namun tetap memperhatikan kehalalannya. Aku pernah membantu orang menjadi penjual jus, pernah bekerja di counter pulsa, pernah menjadi pencuci piring di acara pesta, pernah menjadi guru les privat, pernah menjadi volunter lingkungan di LSM dosen, bahkan pernah menjadi pengamen di jalanan dan kafe – kafe. Selain itu dengan teman – teman aku pernah mengurus beasiswa dengan menulis karya tulis ilmiah, ada Udak (paman) Adek yang membantu kekurangan biaya kuliahku, beberapa dosen yang banyak membantuku, serta kawan – kawan yang rela memberikanku hutang untuk tugas kuliah. Berkat kalian yang pernah memperkerjakanku dan menolongku, aku tidak akan bisa menyelesaikan perkuliahanku.
            Aku menyelesaikan masa kulih selama 9 semester, terlambat 1 semester bila dibandingkan pada umumnya yang hanya 8 semester. Banyak juga teman – teman sekelas yang sampai 9 semester, mereka seperti itu karena masih ada mata kuliah yang belum di selesaikan. Sementara aku yang sudah kelar mata kuliah di akhir semester 8 belum juga melakukan sidang skripsi, kendalanya adalah di laptop, saat itu aku belum memilikinya. Namun Allah mengutus orang – orang baik yang tergerak hatinya meminjamkan laptop kepadaku, saat menyusun proposal penelitian aku menggunakan laptop Fitri Amelia Ritonga dan Juahir Pratomo, saat melangsungkan sidang proposal aku menggunakan Laptop Ahmad Ghazali Rangkuti, dan saat menyelesaikan hasil penelitian aku menggunakan laptop adik kelasku Khairunnisa.
            Setelah melalui lika – liku yang cukup panjang akhirnya aku dinyatakan lulus dari Unimed pada 6 Maret 2015 dengan judul skripsi Persebaran Karakteristik Banjir di Kecamatan Medan Petisah Kota Medan. Meskipun ijazah belum keluar, dengan mengandalkan surat keterangan lulus, alhamdulillah aku sudah bekerja sebagai edukator geografi di konsultan pendidikan cabang Medan yang berpusat di Bandung. 13 Mei 2015, aku dan teman – teman seangkatan diwisuda. Semua mahasiswa dan keluarga yang datang begitu bersuka cita karena telah mendapatkan gelar sarjana. Aku juga senang seperti mereka, tapi aku aku menangis dan merengek tersedu – sedu di tengah hingar – bingarnya keramaian. Aku seperti itu karena ayah tidak hadir dalam acara wisudaku. “Yah... Hakim sudah wisuda!!! Semoga ayah tersenyum di sana!!!”

           
           

           
           


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendakian Gunung Pusuk Buhit

PMR Madya dan Wira Sekolah Kallista Mengikuti Pelantikan PMR Se-Kota Batam Tahun 2017

Penyampai Pesan Kematian