Senyuman Terakhir


Oleh : Hakim Syah Reza Lubis
            Sejak ayah terserang penyakit stroke di awal Desember 2007, sekitar satu bulan ayah di rawat di RSU Pirngadi Medan, rumah sakit tempat dimana aku dilahirkan lima belas tahun yang lalu. Selama sebulan masa perawatan, sudah tiga kali ayah pindah kamar, mulai dari IGD ketika pertama masuk setelah di oper dari RSU Kuala Simpang – Aceh Tamiang, hingga pindah ke kamar inap biasa, namun karena tempatnya sepi ayah di pindahkan lagi ke kamar inap lain yang lebih ramai suasananya. Menurut dokter kalau terjadi apa – apa bisa segera ditindak lanjuti.
            Selama ayah dirawat di rumah sakit, agenda rutinku setelah pulang sekolah adalah menemani ayah di rumah sakit hingga sore, bahkan hingga malam, terkadang adikku juga begitu. Setelah itu digantikan oleh omak (ibu), sesekali oleh bou (adik ayah perempuan) dan beberapa saudara yang berkenan. Bila hari libur bisa dari pagi aku menjaga ayah di rumah sakit.
            Hari demi hari demi hari tensi ayah mulai menurun dan keadaannya mulai membaik ungkap dokter, namun pola makannya harus tetap dijaga. meski demikian bagian tubuhnya sebelah kanan masih sulit untuk digerakkan begitu juga dengan bibirnya yang masih miring jika berbicara. Awalnya bila ingin ke kamar kecil ayah masih dipapah terlebih dahulu, namun agar lebih mudah dokter mengalihkan dengan menggunakan kateter dan pempers. Roda kehidupan begitu cepat berputar, dulu waktu aku kecil, kau yang mengurusku setiap buang air, kini keadaan berbalik.
            Selama menemani ayah di rumah sakit, mengurusi makan, minum, dan obatnya juga menjadi peranku. Bila makan aku suapi beliau, menu makanannya tidak jauh – jauh berbeda dengan di rumah sakit pada umumnya, nasi bubur plus sayur dan lauk yang rasanya serba nanggung. Sepertinya sudah begitu SOP rasa makanan di rumah sakit, tidak sampai asin. Pastilah ayah merasa berbeda dengan yang selama ini ia makan, apalagi sebagi orang Mandailing yang seleranya suka asin, pedas, dan bersantan. Namun semua itu harus dihindari, karena dapat membuat tensi ayah menjadi naik. Ayah lebih sering makan dalam keadaan berbaring, namun sesekali ayah duduk. Karena posisi tempat tidur ayah di samping jendela, ketika makan duduk, tangan sebelah kiri ayah memegang jeruji jendela sebagai pertahanan.
            Semenjak jatuh sakit, ayah sudah tidak pernah minum dari gelas langsung, kondisi mulutnya yang miring membuatnya sulit untuk menyalurkan air ke tenggorokan, yang ada airnya bisa tumpah membasahi badannya. Bila sedang duduk ayah minum dengan bantuan sedotan, bila sedang rebahan aku berikan minum dengan bantuan sendok makan. Ayah sudah tidak bisa mengatakan “ayah haus... ayah mau minum”, maka dari itu aku harus peka bila saja ayah haus, bila ia ingin minum dapat terlihat dari gerakan wajah dan mulutnya yang mengkodekan ingin sesuatu. Meskipun ia tidak meminta minum, sering juga aku berikan minum kehadapannya, terkadang ia menyambutnya, terkadang ia menutup mulut dan menggelengkan kepala, pertanda kalau ia sedang tidak ingin minum.
Sesekali kami memindahkan ayah ke kursi roda untuk menghirup udara segar dan menyaksikan taman yang ada di depan kamar inap. Pastilah ayah merasa panas dan gerah, pinggul ayah terus berkeringat karena tidur di atas kasur yang dilapis lagi dengan taplak dalam waktu lama. Selain itu, biasanya ayah juga menggunakan kursi roda untuk dibawa ke ruang terapi.
            Kami pernah mendapat kabar kalau ayah terjatuh dari tempat tidur, dari keluarga pasien lain yang sekamar dengan ayah. Saat itu omak yang sedang menjaga ayah sepertinya tengah keluar sebentar. Saat bou berkunjung ke rumah sakit, ia pernah mengatakan kalau gairah ayah semakin berkurang semenjak terjatuh, sepertinya ini insting seorang adik terhadap abangnya. katanya tatapan ayah sudah mulai kosong, sebagai seorang adik dia sangat cemas akan apa yang dikatakan orang kalau empat puluh hari menjelang kematian itu ada tanda – tandanya, dia melihat itu, dia sangat sedih saat membicarakan itu, apa lagi aku, kami terus berdoa agar diberikan yang terbaik untuk ayah.
            Bila ku pikir – pikir, semenjak terdengar kabar ayah terjatuh, memang kondisi fisiknya terlihat lebih menurun meskipun tensi darahnya menurun. Harapannya bila tensi menurun, semangatnya akan terus meningkat, aku perhatikan tatapan mata ayah memang sudah berbeda dari biasanya. Selama menjaga di ayah, silih ganti pengunjung yang datang menjenguk ayah, mulai dari saudara hingga teman kerja ayah. Terkait kunjungan tersebut, yang begitu berekesan ialah ketika rekan kerja ayah datang dari Aceh. Selama ia jatuh sakit tak pernah aku melihatnya tersenyum riang dengan mulut yang miring itu, jujur itu adalah senyum pertama dan terakhir yang aku lihat selama ayah terkena stroke, sampai sekarang aku selalu merindukan senyum itu, senyum yang selalu membuat meneteskan air mata bila mengingatnya. Ayah tampak begitu senang ketika temannya datang, aku tahu isi hatinya, sesungguhnya dia ingin kembali bekerja seperti rekan – rekannya, namun apa daya, fisiknya masih jauh dari kata pulih. Bagiku senyum adalah pancaran energi positif yang menandakan adanya semangat dalam diri kita, semenjak ayah terjatuh tidak pernah lagi senyum terpancar dari wajahnya.
            Hingga akhirnya dokter sudah memperbolehkan ayah untuk di bawa pulang ke rumah, dokter memberikan obat – obatan yang nantinya diberikan kepada ayah selama di rumah, bila obatnya habis atau terjadi gejala yang memburuk dokter menyarankan untuk berobat kembali ke rumah sakit. Dari kamar inap, kami bawa ayah dengan kursi roda menuju pintu keluar rumah sakit. Kami pulang ke rumah dengan becak mesin, aku duduk di belakang pak supir, disamping kiriku ada ayah, dan di smping kiri ayah ada omak. Sudah sebulan ayah tidak pulang ke rumah, semenjak di oper dari RSU Kuala Simpang, selamat datang kembali di rumah kita yah, sedih rasanya pulang dengan keadaan ayah yang belum kembali normal.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendakian Gunung Pusuk Buhit

PMR Madya dan Wira Sekolah Kallista Mengikuti Pelantikan PMR Se-Kota Batam Tahun 2017

Penyampai Pesan Kematian