Bukan Seorang Hakim?
Oleh : Hakim Syah Reza Lubis
Pernahkah
kalian bertemu dengan segelintir orang yang tidak percaya akan profesi yang diemban
oleh orangtua kalian? Jelas - jelas ayahmu adalah seorang polisi namun orang -
orang disekitarmu tidak percaya kalau beliau berprofesi sebagai polisi, atau
ibumu merupakan seorang dokter namun orang - orang disekelilingmu tidak percaya
kalau beliau berprofesi sebagai dokter. Mungkin kalian ada yang pernah merasakannya
atau tidak sama sekali. Aku adalah orang yang pernah merasakan hal tersebut,
ayahku adalah seorang hakim, namun aku pernah memiliki beberapa teman yang
tidak percaya kalau beliau adalah hakim.
Jika ketidakpercayaan mereka tidak mendarat ke telingaku
tentunya aku tidak akan menghiraukannya, yang menjadi permasalahan adalah
mereka menanyakan profesi ayahku, namun mereka tidak percaya akan jawabanku.
Aku tidak pernah menghumbar – humbar kalau ayahku merupakan seorang hakim, dan
aku juga tidak akan memberitahukan profesi ayahku kalau tidak mereka dahulu
yang bertanya. Menurut kalian apa yang membuat mereka tidak percaya akan hal
itu? Bagaimana perasaan kalian bila menemukan orang yang bersikap seperti itu?
Waktu
itu tahun 2007, saat aku masih kelas satu SMA, di suatu sore aku dan Budi
tengah berbincang - bincang sambil bersandar di tembok yang memanjang sejajar
dengan lorong menuju ke rumahku, tembok setinggi 2,5 meter tersebut layaknya
tembok berlin yang memisahkan orang – orang di sekitar rumahku dengan rumah
seorang dokter kandungan ternama di
Medan. aku tinggal di lingkungan rumah yang berhimpit – himpitan. Kami
tidak duduk, kami jongkok sekitar 5 meter dari depan pintu rumahku. Budi
merupakan teman sepermainan tingkat kelurahan, aku sudah sejak SD melihatnya,
namun kami baru akhir – akhir ini mulai berinteraksi.
“ayahmu
mana Kim? Kok jarang nampak?” tanya budi kepadaku.
“kerja Bud”
jawabku
“kerja
dimana?”
“di
Aceh”
“jauh
kali... emang ayahmu kerja apa?”
“hakim...”
“haaa...
hakim???” ucap Budi dengan nada histeris dan ragu.
“ia
hakim... emang kenapa?”
“yah gak
percaya aja aku”
“kenapa
gitu? Tadi kau nanya, terus aku jawab kau gak percaya”
“kalau
bapakmu hakim masak rumahmu gini” jawab Budi sambil melirik ke arah rumahku
yang 50% kayu, 30% beton, dan 20% seng.
“apa
hubungannya sama rumahku kek gini?”
“kalau
bapakmu hakim, harusnya rumahmu bertingkat la... terus punya mobil kaya
orangtua si Beni” tegasnya membandingkan keadaan orang tuaku dengan seorang
anak di lingkungan sekitarku yang ayahnya bekerja sebagai pengacara.
Betapa
sesak dadaku saat Budi berkata seperti itu.
“perlu
aku buktikan???”
“buktikanlah”
“bentar
ya...”
Aku
bergegas ke rumah untuk mencari bukti yang menunjukkan kalau ayahku memang
seorang hakim. Aku mengambil selembar foto yang menampilkan pelantikan ayahku
menjadi seorang hakim, bahkan aku mengambil bukti terkuat, yaitu Surat
Keputusan (SK) yang pernah di tunjukkan ayah kepadaku saat beliau baru dilantik
menjadi seorang hakim. Setelah mendapatkan barang – barang tersebut, aku
kembali menghampiri Budi.
“nih
buktinya...” ucapku sembari menyodorkan foto dan SK yang membuktikan kalau ayah
adalah seorang hakim.
Meski
telah aku buktikan, tetap saja ia belum percaya dan tidak menerima, terlihat
dari raut wajahnya yang masih meragukan hal tersebut.
Masih
ada kisah serupa dari orang yang berbeda, masih di tahun yang sama, hanya saja
ini dari teman SMP ku yang pernah berkunjung ke rumahku, saat itu kami baru
pulang dari Medan Plaza dan sedang menunggu angkot (angkutan kota).
“orangtua
Hakim kerja apa?” tanya Airi kepadaku.
“emang
kenapa rupanya?” tanyaku kembali kepada Airi.
“nggak
apa – apa, mau tau aja”
“oh
gitu.. ayah PNS, kalau ibu IRT”
“PNS nya
sebagai apa? Ibuku juga PNS”
“sebagai
hakim”
“serius
lah...”
“ia aku
serius.. kan tadi Airi nanya, yasudah aku jawab apa adanya”
“oh...
yasudah deh” respon airi menerima jawabanku.
Dari
kedua kutipan perbincangan di atas, tampak kalau mereka tidak menerima
kenyataan kalau ayahku memang seorang hakim. Secara de jure, negara telah
mengesahkan kalau ayahku adalah seorang hakim, namun secara de facto,
masyarakat disekitarku tidak yakin kalau ayahku memang seorang hakim. Aku yakin
dua perbincangan di atas hanya sepenggal kisah ketidakpercayaan orang – orang
akan profesi ayahku.
Pertanyaan terbesarnya adalah “kenapa mereka tidak
percaya kalau ayahku merupakan seorang hakim?”, jelas saja mereka tidak
percaya, karena mereka adalah orang yang menilai dengan materi. Rumaku tidak
bertingkat meskipun tidak memilki tangga, namanya juga “rumah tangga”. Rumahku
jauh dari kata megah, dari sepuluh rumah yang ada dilorong ini, hanya dua rumah
yang dindingnya merupakan kombinasi beton dan kayu, salahsatunya adalah
rumahku. Rumah tersebut dulunya adalah empat rumah kontrakan, berkat omak (ibu)
yang rajin menabung akhirnya kami bisa
membeli keempat rumah tersebut, rumah tersebut pun di integrasikan dengan
membuat pintu disetiap dinding pembatas empat rumah tersebut. Cukup ideal untuk
ditinggali sepasang suami istri dan tujuh orang anaknya.
Untuk
kendaraan, kami belum punya mobil, kalau pun sudah punya tidak bisa diparkir di
dekat rumah, karena lorong untuk masuk kerumah kami pas – pasan untuk sebuah
mobil, itupun mobil pickup yang pernah masuk kesini, untuk mobil yang datang
kemari,masuk tampak muka, keluar juga harus tampak muka. Kendaraan yang kami miliki
hanya dua buah sepeda, serta vespa tua dengan merek piagio yang dibeli ayahku
dari saudara dengan harga murah saat aku kecil.
Aku yang
merupakan anak seorang hakim tidak pernah mempertanyakan, kenapa ayahku tidak
punya rumah mewah? Kenapa ayahku belum punya mobil mewah? Aku tidak pernah
pernah risau dan malu akan hal itu, justru aku bersyukur dengan apa yang kami
miliki saat itu. Mungkin yang disaksikan orang selama ini kalau hakim itu
rumahnya besar dan punya mobil mewah, namun kenapa ayahku tidak memilikinya?
Pertanyaan itu bukan datang dariku, tapi dari mereka yang meragukan profesi
ayahku. memunculkan pertanyaan seperti itu saja tidak pernah terbersit olehku,
apa lagi harus mencari – cari jawaban akan hal tersebut. Setiap pertanyaan
pasti ada jawabannya, aku tidak akan berusaha menjawabnya dengan argumenku,
jelas akan terkesan menjadi suatu pembenaran ataupun pembelaan, kisah sedih
berikut yang akan memberikan jawabannya.
Masih di
tahun 2007, hanya saja aku sudah naik ke kelas dua SMA. Ayah yang sudah dua
bulan menderita sakit stroke, akhirnya berpulang ke Rahmatulllah. Ayah
meninggal saat aku sedang berada di sekolah, aku dijemput oleh saudara dengan
sepeda motor untuk pulang kerumah, sekitar pukul 10.00, saat kami sedang
belajar seni musik bersama Pak Erizon. Menjelang dzuhur dan pemakaman ayahku,
teman sekelasku datang melayat bersama wali kelasku Bu Nina yang juga guru PPKn
kami,
meski aku melihat mereka tapi aku tidak sempat berbincang
dengan mereka. Saat kembali masuk ke sekolah, seorang temanku bercerita
kepadaku akan apa yang ia dengar dari walikelasku saat datang ke rumahku “ibu
benar – benar nggak nyangka, zaman sekarang kok masih ada ya hakim seperti
ayahnya si Hakim, keadaannya biasa - biasa saja, pasti ayahnya hakim yang jujur
dan tidak korupsi”.
Komentar
Posting Komentar