Sepeda VS Play Station


Oleh : Hakim Syah Reza Lubis
            Seandainya kalian akan mendapat hadiah dari seseorang, lalu seseorang tersebut meminta kalian kalian untuk memilih antara sepeda dengan play station, lantas kalian memilih yang mana? Aku yakin banyak yang memilih play station, apalagi di saat boomingnya play station, namun aku yakin tidak sedikit juga yang memilih sepeda, atau kalian ingin kedua – duanya? Kalau itu bukan memilih, kalau anak medan bilang “dikasih hati malah mintak jantung”, alias serakah!
            Ngomong – ngomong tentang hadiah, menurutku hadiah itu merupakan pemberian yang spesial dari orang spesial untuk orang spesial pada saat ada moment spesial juga tentunya. Kebanyakan ya kata sepesial nya ya? Sepesial pangkat empat! Itu merupakan penekanan kalau hadiah itu memang benar – benar spesial. Emang pernah ya dapat hadiah dari orang yang nggak spesial? Atau memberikan hadiah ke orang yang nggak spesial? Tentunya kita menerima dan memberikan hadiah karena ada ikatan yang spesial, seperti antara suami dengan istri, orang tua dengan anak, kakak dengan adik, serta sesama teman. Nasi goreng aja ada yang spesial, masak kamu nggak ada? Waktunya biasanya juga harus spesial, misal pada saat ulang tahun, sunatan, pernikahan, meraih prestasi, wisuda, bahkan naik jabatan. Gimana kalau ada orang yang bercerai di kasi hadiah??? Bisa – bisa meningkat angka perceraian di bumi!
            Hadiah itu bisa di minta langsung dari orang yang pantas untuk memberikannya, bisa juga diberikan tanpa harus diminta, atau bisa juga menggunakan “kode keras” tanpa meminta secara langsung, syukur – syukur orangnya peka, kalau pekak gimana? Sabar aja ya. Waktu aku kelas empat SD aku pernah meminta hadiah kepada ayah karena aku mendapat pringkat satu di kelas. Sebenarnya sejak dari kelas satu aku sudah langganan rangking satu, kalaupun turun ke pringkat dua itu karena nakal kata bu guru, mulai dari kelas satu hingga kelas empat seingatku dua kali aku mendapat rangking dua, saat kelas dua dan kelas tiga, kalau dari kelas lima ke kelas enam nggak usah dibahas ya makin suram sepertinya, namun tetap di lima besar dari sekitar empat puluh siswa dalam satu kelas.
            Sebelumnya aku tidak pernah meminta hadiah seperti itu ke ayah, yang terpenting bagiku adalah membuat orangtuaku senang dengan memberikan nilai yang terbaik. Lagian kami memang tidak terbiasa dan tidak di ajarkan meminta ataupun menuntut upeti kepada orang tua. Bisa dikatakan ini permintaan hadiah secara seremonial pertamaku kepada ayah, aku melakukannya karena suatu hal. Sebenarnya aku terinspirasi dari beberapa teman di sekolah, mereka yang tidak dapat peringkat satu namun masuk sepuluh besar saja dapat hadiah dari orangtuanya, kenapa aku tidak?
            “yah ...” ucapku sambil menghampiri ayah yang tengah duduk di ruang tamu dengan nada pelan, aku takut omak (ibu) kedengaran, bisa merepet nanti beliau.
            “apa itu Kim? Jajan?” tanya ayah kepadaku.
            “hehehe ... nggak yah”
            “jadi apa itu?”
            “eee ... eee ... eee...”
            “udah bilang aja ... gak usah malu – malu”
            “hakim kan sudah rangking satu di sekolah ... eee ...”
            “terus?”
            “hakim minta dibelikan hadiah yah ... kawan – kawan hakim yang nggak rangking satu aja di kasih hadiah sama orang tuanya”
            “tumben kau minta hadiah ... selama ini nggak pernah ... emang mau dibelikan apa?”
            “eee ... eee ... eee ...”
            “mau sepeda atau play station?”
            Sontak aku terkejut mendengar kedua opsi yang diajukan ayah, seolah – olah ayah tau apa yang saat ini tengah musim di kalangan anak – anak SD, memang akhir – akhir ini dunia anak – anak tengah di warnai dengan bermain play station, sehingga anak – anak banyak yang pergi ke rental PS (play station) dan lupa pulang ke rumah, sepertinya ayah ingin aku di rumah dengan play station pribadi agar tidak terkontaminasi dengan pergaulan di rental PS. Atau ayah tahu kalau akhir – akhir ini aku tengah gila – gilanya bermain sepeda, darimana dia tahu semua itu? Padahal beliau bekerja di Singkil (Aceh), apa beliau punya mata – mata? Apakah ini instingnya sebagai seorang ayah?
            “hakim mau sepeda aja yah” jawabku dengan cepat menanggapi opsi yang ayah ajukan.
            “memang bisa naik sepeda?” tanya ayah kepadaku.
            “eee ... bisa sedikit yah ... baru belajar, nanti kalau punya sepeda pasti lebih bisa”
            “belajar sama siapa?”
            “sama kawan yah ... minjam sepeda kawan”
            “yasudah nanti kita lihat – lihat sepedalah di toko”
            “enggak usah yah ... sepeda bekas saja ... biasanya ada uwak – uwak (bapak – bapak) penjual barang bekas yang lewat sini, hakim pernah lihat dia jual sepeda juga”
            “oh yasudah nanti kasi tau ayah kalau dia lewat”
            Jelaslah aku memilih sepeda, aku tidak mau menyia – nyiakan apa telah aku perjuangkan selama ini, selama ayah tidak di rumah, selama ayah kerja di Singkil. Ada senangnya kalau ayah tidak di rumah, aku bisa berkeliaran dan main jauh – jauh sama kawan, tapi kalau ayah dirumah aku duduk kalem aja dirumah, mau kemana – mana kaki ini terasa berat. Akhir – akhir ini aku sudah terkena candu, kecanduan main sepeda, kebayangkan kalau kecanduan tapi gak ada wadah untuk melampiaskan.
            Semua berawal dari sini, waktu itu ada seorang teman di lingkungan rumahku yang meminjamkan aku sepeda, saat itu aku masih tinggal di Jalan Karya Setuju, Kelurahan Sei Agul, Kecamatan Karang Medan Barat. Jelas – jelas saat itu aku sama sekali tidak bisa mengendarai sepeda, yang membuat aku tertarik karena ukuran sepedanya, sepedanya tidak begitu besar dan tidak terlalu kecil, bisa dikatakan ideal untuk anak seumuranku dan aku bisa menjejakkan kaki ke tanah saat menaikinya. Apalagi aku merasa kawan – kawan seumuranku sudah bisa mengendarai sepeda, aku putuskan untuk belajar naik sepeda!
            Aku belajar di tempat yang sepi agar tidak memalukan, tempat yang ku pilih adalah bekas sebuah gudang yang sudah lama tidak di pakai dan sudah beratapkan langit, namun masih menyisakan lantai semen yang sebagian sudah di selimuti tumbuhan menjalar dan yang lebih ekstrem lagi banyak ditumbuhi pohon rimbang yang notabene berduri. Alhasil selama proses pembelajaran leher dan lenganku banyak tergores dan tertusuk duri pohon rimbang karena belum bisa mengendalikan setir dengan seimbang. Aku mendapat arahan sekaligus tertawaan dari sang guru, mungkin dia lucu melihatku yang bolak – balik menerobos pohon rimbang.
            Hingga beberapa hari berikutnya aku mulai bisa menjaga keseimbangan setir, aku menjadi makin sering meminjam sepeda teman tersebut. Namun dia tidak lagi memberikannya secara cuma – Cuma, dia sudah berubah menjadi pengusaha rental sepeda karbitan, seingatku saat itu dia memasang tarif Rp. 500/jam. Awalnya aku tahan, tapi lama – lama yang tahan seperti itu.
            Di sekolah lain lagi ceritanya, tepatnya di SDN 060849 Medan, aku punya teman sekelas yang memiliki sepeda yang ukurannya hampir sama dengan teman yang aku sebutkan sebelumnya, namanya Arif Pratama. Aku sering meminjam sepeda Arif, bayar juga sih, Cuma bedanya gak pakai uang, kami kembali ke zaman barter seperti pada zaman pra aksara. Dia akan memberikan aku menaiki sepedanya, kalau aku memberikan contekan tugas sekolah kepadanya, dengan itu setiap jam istirahat aku bisa latihan mengelillingi lapangan sekolah yang merupakan lapangan gabungan dari tiga sekolah dasar negeri. Kami sempat satu sekolah lagi di SLTPN 16 Medan, kemudian kami bertemu lagi di tahun 2014 saat reunian teman SLTP, hingga akhirnya dia meninggal karena kecelakaan di tahun 2015. Terimakasih bro atas jasa – jasanya!
            Tibalah saat – saat dimana aku kan punya sepeda baru, eh sepeda bekas terasa baru maksudnya. Wak Doyok yang merupakan penjual dan penampung barang bekas keliling memasuki lorong di lingkungan tempat kami tinggal, kata orang sih muka dan perawakannya seperti doyok temannya kadir. Kalau wak doyok sudah datang, dia akan mengeluarkan kata – kata yang memancing orang – orang untuk keluar rumah ntah itu untuk membeli barang yang dijualnya atau menjual barang kepadanya.
            “yah itu wak Doyok!” ucapku histeris.
            “ayo kita lihat keluar” ucap ayah.
            Kami pun keluar, omak (ibu) yang sedang dinas di dapur pun ikutan keluar. Omakku itu emang paling jago nawar di banding ayah, kalau ayah tidak pandai menawar, pokoknya kalau cocok bungkus! sepertinya aku tertular oleh omak, sebab sejak kecil aku sering di ajak ke pasar, menyaksikan seni tawar – menawarnya. Tapi untuk kali ini aku mohon jangan dulu mak, biar ini menjadi ayah dan wak doyok selesaikan dengan jantan, aku takut transaksinya gagal. Apa lagi aku melihat sepeda yang cocok di mataku, warna dan bentuknya aku banget, warnanya ungu chrome, bodynya BMX, pokoknya dari semua sepeda yang pernah di jajalkan wak Doyok ini yang paling wow menurutku. Tapi harganya wow juga dari yang biasanya! Kalau biasanya dua ratus hingga tiga ratus ribuan.
            “berapa ini wak?” tanya ayah sambil memegang sepeda yang di bawa wak doyok.
            “oh ini ... ini bagus nih, baru dicat, batangnya pun padat” ucap wak doyok sambil menurun sepeda dari becak barangnya.
            “jangan mahal – mahal ya wak” ucap omak kepada wak doyok.
            “ya sesuai dengan kualitas la dek ku ... kalau ini lima ratus ribu”
            “mahal kali wak ... kurang lah itu” omak menyolot.
            “coco kau rasa kim?” tanya ayah kepadaku.
            “cocok yah” jawabku dengan penuh semangat.
            “coba tes aja dulu” kata wak doyok.
            Setelah aku melakukan test drive, akhirnya ayahpun melakukan proses pembayaran secara tuni. Aku pun punya sepeda baru, eh maksudnya sepeda bekas terasa baru, meskipun bekas orang tidak tahu kalau ini bekas, karena benar – benar kinclong, dan ini merupakan pertama kalinya aku memiliki sepeda sendiri. Say good bye for rent bicycle! I’m tired! Aku jadi makin semangat dan percaya diri pergi ke sekolah dan madrasah, seolah Cuma aku yang keren saat itu, yang lain lewat! Keadaan jadi berbalik, malah teman – teman di sekolah, madrasah, dan rumah jadi hobbi meminjam sepedaku.
            Pilihanku jatuh ke sepeda bukan ke play station, padahal play station lebih mahal, dan itu masa – masa dimana orang gemar bermain PS one, karena dengan sepeda aku yang katanya lasak ini bisa pergi kesana – kemari melanglang buana, kalau yang dibelikan play station aku tidak bisa ke mana – mana, hanya bisa terpaku dirumah. Meskipun ayah menawarkan play station yang notabne lebih mahal, justru aku tidak mau membebankan mereka denga sesuatu yang mahal. Sepertinya aku memang orang yang tidak tertarik pada dunia game, aku sudah pernah mencoba main PS, tapi memang jiwaku tidak disana, bahkan sampai sekarang android dan laptopku suci dari game.
           




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendakian Gunung Pusuk Buhit

PMR Madya dan Wira Sekolah Kallista Mengikuti Pelantikan PMR Se-Kota Batam Tahun 2017

Penyampai Pesan Kematian