FROM ZERO TO ZERO - Simulasi di Simpang Patimpus
Oleh:
Hakim Syah Reza Lubis
Dari kiri ke kanan; aku, fuad, dona di lapangan blang padang banda aceh, desember 2013. foto: Adhelia. |
Akhirnya angkot berlabuh di Simpang Patimpus, tempat
dimana sehari-harinya aku menjadi penghibur para pengguna angkot, mulai dari
angkot 104, 103, 20, 48, 54, 65, MRX (Medan Raya Express), Desa Maju, hingga Sudako
(Sumatera Daihatsu Company). Aku ceritakan sedikit mengenai tanggapan pengamen-pengamen
disini tentang angkot-angkot yang melewati Simpang Patimpus. Berdasarkan
survei, disini ada angkot yang sangat digemari dan yang sangat tidak digemari,
angkot yang sangat digemari bahkan menjadi primadonanya para pengamen disini
adalah angkot 65 dan Desa Maju, karena penumpangnya tidak pelit-pelit dan
ramah-ramah. Berbeda dengan angkot 20 yang mendapat nominasi “Angkot Terpelit
Sepanjang Masa” versi pengamen patimpus, selain didominasi oleh
penumpang-penumpang yang katanya pelit, juga dikarenakan kecuekan yang membatu.
Lantas kami keluar dari angkot dan memberikan uang kepada
pak supir. Teman-teman pengamen memperhatikan kami dengan seksama dan dalam
tempo yang selama-lamanya. Aku juga heran kenapa mereka menatapku seperti orang
baru yang datang kesini. Setelah aku pikir-pikir ternyata ada yang berbeda dari
kedatanganku saat ini dibandingkan dengan hari-hari biasanya. Biasanya aku tidak
membawa ransel dengan isi yang padat dan seorang pengawal, aku pernah juga
sesekali setelah dari kampus langsung kesini, namun ranselku tidak seperti hari
ini, terkesan seperti orang yang baru pulang merantau atau hendak merantau.
Ditambah lagi aku membawa pengawal yang asing di mata mereka, biasanya aku
selalu seorang diri bila kemari, aku tidak yakin kalau mereka cemburu kepadaku,
hanya saja mereka bertannya-tanya siapa gerangan yang aku bawa. Sebelumnya fuad
sudah pernah mampir kemari sekali, ketika itu aku menyuruhnya turun dari
angkot, kami banyak berbincang, termasuk saat itu pula kami memulai pembahasan
untuk berangkat ke Sabang dengan cara mengamen. Mungkin teman-temanku juga
tidak ingat kalau dia pernah kemari, karena saat itu dia hanya sekedar singgah
dan tidak ikut mengamen.
Salah seorang teman mengahampiriku, namanya ferdi,
usianya masih dibawahku lima tahun, dia merupakan keturunan suku Karo, dan aku
banyak belajar bahasa Karo darinya, namun tidak lulus-lulus. Dialah
satu-satunya pengamen yang pernah aku ajak mendaki Gunung Sibayak, selain itu
dia juga orang yang aku ajak untuk berangkat ke Sabang, namun apa daya, mungkin
kami tidak ditakdirkan untuk menjadi partner ke Sabang. Alasannya karena dia
belum siap untuk pergi mengamen sejauh itu, ku
hormati keputusanmu... apapun yang akan kau katakan...
“dari mana bang Za?” tanya ferdi kepadku.
“dari mandala fer, kenalin nih kawan aku” ucapku kepada
Ferdi.
“mau kemana bang, kok bawa tas padat kali gini” tanya
ferdi sambil memegang ranselku.
“mau ke Sabang la, kau aja yang gak jelas, susah kali di
ajak”
“hahah... maaf lah bang”
“kalu kau jadi ikut, biar kami tunggu nih”
“keknya gak bisa ikut aku bang”
“ah payah kau fer... kek gini sekali-kalinya, buka tiap
hari”
“orang abang aja lah yang pergi ya”
“yaudalah... kami mau ngamen dulu nih, buat cari ongkos
ke Sabang”
“ngamenlah bang...”
“kasi kami kesempatan dulu yah, kami gak lama kok”
“sippp bang”
Tibalah saatnya untuk memulai duet pertama Fuad dan Aku.
Lampu merah, jalan raya, teman-teman pengammen, angkot-angkot beserta
penumpangnya akan menjadi saksi awal karir kita di dunia tarik suara. Secara
aklamasi Fuad mengajukan aku menjadi vocalis dan gitaris, sedangkan dia
bersedia menjadi backing vokal dan collector, alias orang yang bertugas
mengutip saweran. Tidak ada istilah collector untuk para pengamen disini, itu
hanya julukan yang aku patenkan, hahaha... kegiatan mengutip uang setelah
selesai bernyanyi mereka sebut dengan ngolek,menurutku
secara linguistik itu berasal dari kata collect yang artinya mengumpulkan,
sedangkan yang mengumpulkan uang saweran aku sebut saja collector, bukan debt
collector yang mengumpulkan ataupun meminta uang dengan cara paksa, hahaha...
Berdasarkan pengakuan Fuad, dia belum pernah terjun ke
jalan ataupun menjadi seorang pengamen, namun yang aku tahu dia pernah punya
band dengan teman sekolahya saat masih SMA, kalau aku mah apa atuh... aku ini
hanya pengamen jalanan. Ini merupakan pertama kalinya bagi Fuad menjadi seorang
pengamen, tentunya kami masih proses penyesuaian, jelas berbeda membawakan lagu
saat latihan di studio musik ataupun di panggung. Setiap profesi tentunya
memiliki kode etik, begitupun menjadi seorang pengamen, harus ada beberapa
point yang diperhatikan, karena membutuhkan sikap dan mental yang berbeda bila
dibandingkan dengan penampilan musik pada umumnya.
Alhamdulillah proses penyeteman gitar sudah selesai.
“gimana bro, Are you ready for singing?” ucapku kepada
Fuad.
“insy’allah siap bro”
“bawa lagu apa kita nih?”
“bebas bro, aku ngikut aja”
“tapi kau juga nyanyi kan?”
“ia... aman itu, aku kan backing Hahah...”
“yaudah... kita nyanyi lagu armada aja, hargai diriku”
“siiip bro...”
“ udah mau lampu merah itu bro... mari kita ngamen”
Setiap persimpangan jalan yang dihuni oleh pengamen
memiliki tradisi yang berbeda-beda dalam memilih angkot yang hendak dingameni,
kalau di tempat lain biasanya kita tidak perlu berteriak untuk menyebutkan nama
ataupun nomor angkot. Kalau disini berbeda, kita harus berteriak menyebutkan
nama ataupun nomor angkot yang akan kita ngameni. Ketika lampu merah berubah
menjadi hijau, seketika itu para pengamen di sini berteriak dan
bersahut-sahutan dalam menyebutkan angkot yang akan di ngameni, tak ubahnya
seperti memasang nomor undian dalam perjudian atau mungkin seperti anak-anak
yang sedang belajar menyebutkan nama-nama angka. Umpamanya seperti ini, “enam
lima!” sebut seorang pengamen lebih awal, maka pengamen lainnya tidak boleh
mengamen di angkot tersebut, lalu pengamen lain berteriak “lima empat!”,
begitulah seterusnya hingga semua pengamen mendapatkan bagiannya. Bila ada dua
angkot atau lebih dari kejauhan yang datang dengan nomor ataupun nama yang
sama, maka gaya menyebutkannya akan mendapat imbuhan menjadi “enam lima depan”,
“enam lima depan”, “enam lima kanan”, “enam lima kiri”, atau “enam lima
tengah”. Tidak jarang juga pengamen disini hanya menyebutkan warna, “kuning!”
misalnya teriak seorang pengamen, hal tersebut terjadi bila dari beberapa
angkot yang terlihat dari kejauhan ada satu yang berwarna kuning. Warna merah
ditujukan kepada angkot 103, 104, dan 54. Warna kuning ditujukan kepada angkot
65, 01, 20 (dikenal dengan angkot keramat, karena penumpangnya yang super-duper
pelit), dan Sudako (anak disini menyebutnya gedek-gedek, karena buruk, langka,
dan jalannya lambat). Warna hijau di tujukan kepada angkot 80, tidak ada warna
hijau selain dia, maka tidak ada ambiguitas bila ada yang menyebutkan “hijau!”.
Warna biru ditujukan kepada angkot 48 yang berwarna biru tua dan angkot desa
maju yang berwarna biru muda. Kemudian warna putih yang hanya di tujukan kepada
angkot MRX (Medan Raya Express), anak-anak disini biasanya menyebutnya “merex”
atau “Mister X”. Bagi orang yang memiliki rabun jauh tidak di anjurkan untuk
menjadi pengamen disini, karena itu merupakan salah satu potensi yang harus
dimiliki agar bisa survive, kalau tidak akan mendapatkan sisa-sisa atau pun
angkot terakhir yang berhenti menjelang berakhirnya lampu merah.
“104!” teriakku menyebut nomor angkot yang hendak kami
ngamenin.
Perlahan-lahan angkot yang melaju mulai berhenti karena
lampu merah sudah menyala, para pengamen mulai melangkah menuju angkot yang
telah mereka pilih, termasuk kami. Aku tidak pernah memilah-milih angkot,
bagiku semua saja, mau itu angkot warna merah, kuning, hijau, biru, dan putih.
Aku juga tidak perduli apakah angkot itu ramai atau tidak, biasanya teman-teman
disini sangat gemar dengan angkot yang ramai penumpang, berbeda dengan diriku,
meski di dalam angkot hanya ada tiga orang, aku rela menyumbangkan suara
perakku, asal jangan angkot yang tidak ada penumpang saja.
Ramai atau tidaknya penumpang di dalam angkot tidak
menjamin kami untuk mendapat saweran yang banyak atau sedikit. Terbukti dari
pengalamanku dan observasi yang kulakukan selama menjadi pengamen disini.
Meskipun penumpang angkot penuh layaknya ikan pepes yang dipanaskan di dalam
oven, bisa saja tidak ada satupun penumpang yang berkenan mengulurkan
sawerannya kepada si pengamen, hal tersebut tidak selalu terjadi, namun bisa
dikatakan sering terjadi. Angkot yang terlalu padat penumpangnya termasuk
ancaman bagi pengamen, semakin padat isi angkot itu akan membuat penumpang
susah bergerak, apa lagi untuk mereka yang menyimpan uang di dalam kantong,
sehingga mereka kesulitan untuk meraih uangnya. Ada juga penumpang yang
berusaha sekuat tenaga untuk meraih rupiah yang ada di dalam kantongnya, namun
itu tidak semudah membalik telapak tangan, mereka harus merenggangkan posisi
duduknya, menjulurkan kakinya, fenomena tersebut cukup memakan waktu lama,
disaat merkea hendak memberi saweran kepada pengamen lampu hijau sudah menyala,
angkot pun melaju, sehingga pengamen hanya bisa menelan ludah melihat rupiah
yang terbawa angkot, sesekali rupiah tersebut bisa saja melayang, terlempar
dari angkot hingga mendarat ke aspal.
Kami melangkah menuju angkot 104, angkot berwarna merah
tersebut merupakan angkot yang datang dari Unimed (Universitas Negeri Medan),
tempat dimana aku menempah gelar sarjana. Banyak warga Unimed yang menjadi
penumpang angkot tersebut, saat mengameni angkot tersebut aku sering melihat
teman-teman sekampus ada di dalamnya, atau mereka yang melihat keberadaanku
disaat aku tidak mengetahui mereka ada di dalam angkot, bahkan aku sering
melihat beberapa dosenku.
Suka dan duka menjadi seorang pengamen tentu lah ada,
namun disini aku mau menceritakan dukanya, terkhusus saat aku melihat orang
yang aku kenal di dalam angkot, apalagi orang yang aku kenal tersebut adalah
warga Unimed. Meskipun aku mengameni angkot yang di dalamnya ada orang yang aku
kenal, belum tentu semua dari mereka yang aku kenal mau menyapaku, mungkin saja
mereka malu dengan penumpang angkot lain karena punya kenalan seorang pengamen,
biasanya mereka memasang posisi tidak melihat ke arahku.
Aku pernah mengameni angkot 62 yang di dalamnya ada dua
orang kakak kelasku, pria dan wanita, sepengetahuanku mereka berpacaran, yang
aku tahu mereka angkatan tua, sebab mereka pernah mengambil mata pelajaran satu
kelas dengan teman seangkatanku. Suatu hari aku melihat mereka tepat dihadapanku,
tepat di depan pintu angkot. Sebenarnya aku ingin senyum kepada mereka, tapi
karena aku melihat mereka memasang aksi cuek, mereka berdua mengalihkan
pandangan ke arah kaca depan angkot, aku hanya bisa bersabar dan menelan ludah.
Ternyata aku tidak di anggap sebagai adik kelas, padahal mereka para abangan
mengajarkan kami untuk hormat dan ramah kepada senior, aku yakin tidak semua
senior seperti itu, tapi mereka sudah memberikan contoh yang tidak baik.
Aku juga pernah mengameni angkot yang di dalamnya ada
dosenku, ia merupakan salah satu dosen laki-laki di jurusanku, saat aku
mengameni angkot dari pintu masuk penumpang, posisi beliau tepat berada di
sebelah kananku. Perasaan ketika melihat dosen di dalam angkot tentunya berbeda
dengan perasaan melihat teman, ada rasa segan tentunya bila melihat dosen.
Ingat rasa segan, bukan rasa malu! Aku tidak pernah malu kalau orang yang
aku kenal mengetahui kalau aku adalah pengamen. Namun rasa segan terhadap dosen
bisa saja berubah menjadi kesal, karena pada saat itu sang dosen memberikan
sikap seolah tidak kenal kepada diriku, jujur saya kecewa kepada beliau!
Namun tidaklah semua orang yang mengenalku menampilkan
sikap cuek, justru kalau aku pikir-pikir lebih banyak yang menampilkan sikap
simpatik dan bersahabat saat menyaksikan penampilanku dalam dunia tarik suara
di jalanan. Pernah juga saat aku ngamen, ternyata di dalamnya ada teman
kuliahku, seperti mereka sudah memperhatikanku sebelum aku tiba di angkot,
karena ketika aku tiba di angkot, mereka menampilkan sikap yang histeris, aku
pun hanya bisa tersenyum-senyum, hal seperti ini membuatku lebih semngat
memberikan lagu terbaik untuk mereka tanpa dipungut bayaran.
Tidak semua dosen menampilkan kesan cuek kepadaku, ada
juga dosen yang memberikan kesan baik kepadaku saat aku mengameni angkot yang
tengah ia tumpangi. Memang benar adanya bahwa yang masuk dan bertahan lama di
dalam long time memory manusia itu
adalah kenangan baik dan kenangan buruk. Sungguh ini membuatku sangat terkejut!
Karena orang yang aku lihat ini adalah dosen wanita yang terkenal tegas di
jurusanku, beliau merupakan dosen pembimbing akademikku, dan saat ini tengah
menjabat sebagai pembantu dekan, beliau adalah buk Nurmala Berutu. Seperti
mimpi rasanya aku bertemu beliau disini, padahal saat berada di kampus aku
berharap waktu dan tempat tidak mempertemukan kami, bukan karena aku membenci
beliau, justru karena beliau orangnya tegas dan disiplin, apalagi setiap awal
semester kami diharuskan untuk menemui dosen pembimbing akedemik untuk
konsultasi nilai yang telah diraih dan target nilai yang akan diraih. Sekarang
aku baru saja menyelesaikan perkuliahan semester tujuh, sejauh ini baru sekali
aku konsultasi dengan beliau, itu pun ketika aku masih memulai semester satu,
sebagai upaya mahasiswa untuk mengenal dosen pembimbing akademik kami. Saat aku
mengameni angkot yang beliau naiki, aku melihat beliau tepat dihadapanku, jadi
dia bisa melihatku dengan leluasa. Selama aku mendendangkan lagu sambil sedikit
menghamburkan senyum, sepertinya dia menceritakan aku dengan teman yang ada
disampingnya, sepertinya juga pegawai Unimed. Tidak semua pembicaraan mereka
bisa aku tangkap sebab suasana yang bising dan volume suara mereka yang
terdengar kecil, namun yang aku dengar dan aku ingat beliau mengatakan kepada
temannya “ini mahasiswa saya di Jurusan Pendidikan Geografi”, aku sangat
terharu mendengar kata-kata tersebut, beliau yang seorang pembantu dekan secara
dejure mengakui kalau aku adalah
mahasiswanya, meskipun saat ini aku tengah berada di persimpangan lampu merah.
Sepertinya mereka terharu dengan penampilanku, terlihat dari ekspresi mereka
yang senyum-senyum sambil menikmati alunan musik yang sedang aku peresembahkan.
Jujur ku akui, aku merasa lebih semangat bernyanyi bila aku melihat orang yang
aku kenal didalam angkot, karena aku ingin memberikan yang ternbaik untuk
mereka, apalagi mereka yang aku kenal memberikan respon yang baik kepadaku.
Seperti ada energi postif yang mengalir ke relung sukmaku, yang memberikan aku
stimulus untuk mempersembahkan yang terbaik. Tibalah saatnya untuk mengakhiri
lagu, biasanya beberapa detik sebelum lampu hijau menyala aku memberikan
kesempatan untuk para penumpang yang ingin memberikan saweran dengan
mengarahkan kantung pengumpul uang yang ada di ujung gitar kedalam angkot, tapi
karena didalam angkot ada orang yang aku kenal, aku tidak akan memungut
bayaran, aku memberikannya dengan Cuma-Cuma. Karena di dalam ada Buk Nurmala
jadi aku bernyanyi hingga lampu hijau menyala, mungkin para penumpang termasuk
beliau bertanya-tanya kenapa pengamen yang satu ini tidak meminta uang,
bernyanyi terus tanpa lelah. Lampu hijau pun menyala, lalu aku mengucapkan
terimakasih kepada para penumpang tanpa meminta sepeserpun dari mereka.
Terjadilah aksi tolak-menolak antar aku dan Buk Nurmala, beliau memberikan
selembar uang hijau kepadaku, lalu aku menolaknya dengan halus, namun beliau
terus saja memaksaku untuk menerimanya, angkot pun mulai menancap gas, karena
beliau tidak sempat lagi memasukkan uang kedalam kantong pengumpul uang, beliau
pun memaksa uang tersebut melayang dari dalam angkot, pada akhirnya aku pun
mengambil uang tersebut dengan ikhlas.
“permisi bapak-ibu...” ucapku dengan tersenyum ramah
kepada penumbang angkot yang notabene di dalamnya bukan bapak-bapak ataupun
ibu-ibu semua, padahal di dalamnya ada juga anak sekolah, mahasiswa,
kakak-kakak pekerja, hingga lansia, bahkan terkadang ada juga balita yang
dibawa oleh ibunya. Sapaan permisi tersebut kami ucapkan secara general, kata
“bapak” mewakili pria sedangkan kata “ibu” mewakili wanita, kalau semua
kelompok umur kami sapa, bisa-bisa habis waktu kami hanya untuk meminta izin.
Aku tidak tahu kata apa yang tepat untuk mewakili bencong alias waria, karena
tidak jarang aku mengameni angkot yang di dalamnya ada makhluk seperti itu, aku
jadi teringat kalau aku pernah dikasi saweran kondom bersegel oleh bencong, aku
lebih tidak terima kalau dia memberikan kondom bekas.
“... coba kau lihat dirimu dahulu... sebelum kau lihat
siapa diriku... apa salahnya hargai diriku.... sebelum kau nilai... kurangnya
diriku...” lirik tersebut merupakan potongan dari lagu milik Armada Band. Aku
memilih lagu tersebut karena Fuad termasuk sosok yang menyukai lagu armada,
jadi biar kami bisa nyanyi bareng-bareng. Ngamen sendiri dengan ngamen berdua
itu sangat berbeda dalam menentukan lagu yang hendak akan dimainkan, kalau
ngamen sendiri tentunya kita akan memilih lagu dari musisi ataupun genre yang
kita sukai, sedangkan ngamen berdua kami harus beradaptasi mencari benang merah diantara kami akan lagu
yang bisa kami nyanyikan bersama-bersama. Secara tidak langsung ada kesepakatan
akan hal tersebut, agar tidak ada konflik psikologis selama mengamen, karena
perbedaan pendapat itu akan selalu ada. Syukurnya antara aku dan Fuad memiliki
benang merah dalam musik, kami sama-sama menyukai Nickie Ardila yaitu penyanyi
rock wanita yang sudah terkenal jauh sebelum kami terlahir ke dunia, namun rasa
suka yang kumiliki tidak sefanatik fuad, sejak kecil aku sering mendengar
lagu-lagu nickie ardila dari radio dan dari musik yang diputar banyak orang
baik di rumah-rumah maupun di angkot-angkot. Itu masih penyesuaian diantara
kami, kita juga harus pandai-pandai memilih lagu yang hendak kita mainkan
terkait penumpang di dalam angkot. Bila penumpang di dalam angkot didominasi
oleh orang tua maka alangkah baiknya kita membawakan lagu-lagu lawas yang
pernah hits ketika mereka masih muda, intinya kita harus pandai-padai membaca
selera pasar, jangan hanya membawakan selera sendiri. Jangan coba-coba
membawakan lagu anak muda dihadapan orang-orang lansia, sepertinya mereka
kurang bergairah mendengarnya, buatllah mereka lebih bergairah, itulah ilmu
psikologis yang aku dapat selama menjadi musisi jalanan.
Meskipun kendali gitar ada di tanganku, buka berarti aku
harus menyanyi sendiri, fuad yang berdiri disampingku juga ikut bernyanyi, agar
kami terlihat lebih kompak dan harmonis. Karena fuad tidak memagang alat musik
maka alangkah baiknya dia ikut bernyanyi. Fuad masih terlihat malu-malu dan
canggung, karena ini perdanan baginya, aku bisa merasakan dari raut wajah dan
gerak tubuhnya, namun aku selalu mencoba menyemangatinya serta menjelaskan
kepadanya apabila ada tindakannya yang tidak sesuai dengan kode etik pengamen.
Pengamen juga ada kode etiknya loh... emang cuma kode etik jurnalistik saja yang
ada?
Sebentar lagi lampu merah akan menjelma menjadi hijau,
aku memberikan isyarat kepada Fuad untuk mengutip apabila ada penumpang yang
hendak memberikan uang. Banyak isyarat ataupun kode sebagai tanda untuk
mengutip uang bagi pengamen yang terdiri dari dua personil atau lebih. Biasanya
sang pemegang gitar memberi isyarat kepada pengolek berupa; lirikan
mata yang bergerak dari arah pengolek menuju penumpang, berupa ucapan berbisik
kepada pengolek, berupa senggolan badan kepada si pengolek, hingga pemegang
gitar menggeser posisinya sebagai tanda memberikan kesempatan untuk pengolek
menjalankan misinya. Awalnya Fuad kurang paham mengenai hal tersebut, tapi aku
berusaha untuk menjelaskan kode-kode tersebut kepadanya.
Aku terus melantunkan lagu, sementara Fuad mengutip
uang-uang dari para dermawan.
“permisi bapak-ibu...” ucap fuad sambil mengarahkan
tempat penampung uang kepada penumpang angkot.
Aku coba menjelaskan tempat penumpang uang yang kami
gunakan, agar kalian tidak bertanya-tanya akan itu. Jangan kira kami
menggunakan gayung bekas yang biasa digunakan untuk mandi, atau menggunakan
mangkok yang biasa digunakan sebagai wadah mencuci tangan saat makan, atau
menggunakan kaleng susu kental manis yang sudah mulai berkarat, atau menggunkan
kantong pelastik yang biasa digunakan sebagai pembungkus barang belanjaan, atau
pelastik bening yang digunakan untuk membungkus gula ataupun minyak goreng.
Pepatah mengatakan jauh panggang dari api,
sungguh kami tidak seperti itu. Wadah pengutip uang kami namakan bong disini. Bong yang kami gunakan saat
ini berupa gelas plastik bekas yang merupakan wadah air mineral kemasan. Selain
menggunakan gelas plastik bekas, para pengamen juga menggunakan plastik
pembungkus permen yang besar ataupun pembungkus snack. Pemebungkus tersebut kemudian dibalik sehingga yang tampak
hanyalah warna perak yang merupakan bagian dari alumunium foil.
Saat ini kami memang masih menggunakan bong dari gelas
air mineral ternama, karena memang itu yang mudah di dapat untuk saat ini, tapi
beberapa saat lagi kami akan menggantinya dengan plastik pembungkus permen
ternama yang biasanya kami minta ke warung-warung kecil di pinggir jalan. Terkadang
pengamen tidak sedang haus, namun harus membeli air mineral agar wadahnya bisa
segera di manfaatkan menjadi bong. Aku pikir perusahan air mineral seperti Aqua
dan perusahaan permen seperti relaxa dan kiss wajib berterimakasih kepada
pengamen jalanan, selain kami telah membeli produknya, kami juga mendaur ulang sisa
produk perusahaan tersebut, dan secara tidak langsung kami juga mempromosikan
produk mereka ke khalayak ramai, kurang baik apa coba kami!
Ada perbedaan bila menggunkan bong dari gelas air mineral
dengan bungkus permen. Kami sebenarnya lebih suka menggunakan bong dari
pembungkus peremen, sifatnya lebih merahasiakan donasi yang di berikan oleh
penumpang, sehingga sesama penumpang tidak saling mengetahui uang yang telah
mereka donasikan. Berbeda dengan bong dari gelas air mineral yang tampilannya
transaparan, sehingga penumpang bisa melihat isi uang di dalamnya. Bila kami
menggunakan bong dari gelas air mineral, biasanya kami menutupinya dengan
kertas dan merekatkannya dengan karet gelang.
Terkait apakah penumpang bisa melihat jumlah uang di
dalam bong atau tidak, berdasarkan pengamatanku selama menjadi pengamen dan
teman-teman pengamen, ternyata penumpang itu dapat dikelompokkan ke dalam empat
spesies. Pertama, merupakan tipe penumpang yang memang benar-benar ingin
memberi, tulus dan ikhlas, hal tersebut memang muncul dari dirinya sendiri,
tanpa ada pengaruh dari orang lain. Kedua, penumpang yang bila melihat pengamen
banyak menerima uang, maka seseorang mengurungkan niatnya untuk memberi donasi,
padahal dari gerak tubuhnya menampilkan sikap hendak memberikan uang. Hal
tersebut membuatnya ragu untuk memberikan uang, karena dia beranggapan sang
pengamen sudah ada yang memberikan uang, sepertinya dia tidak mau mubazir.
Ketiga, adalah penumpang yang bila melihat orang banyak memberikan uang
tergugah hatinya, maka dia pun ikut-ikutan memberikan uang. Keempat, adalah
tipe yang bila melihat bong kosong karena tidak ada yang memberi, maka dia pun
menaruh rasa kasihannya dengan memberikan uang.
“terimkasih bapak... ibu...” kami ucapkan bersama-sama
sembari kami mengakhiri lagu yang tengah kami mainkan.
Lampu hijau menyala, lalu kami menepi ke depan ruko yang
ada di dipersimpangan jalan Guruh Patimpus. Bagian depan ruko tersebut yang
bagian atasnya masih dilebihkan atap sedikit,telah menjadi saksi dan pelindung
kami, jasanya tak terhingga, karena telah melindungi kami dari teriknya panas
matahari serta derasnya hujan. Bila diurutkkan dari lampu merah pada bagian
sisi kiri jalan, pertama ada rumah tua milik orang tionghoa dengan halaman
berlantai beton yang sekelilingnya diberi pagar kawat jaring, dibagian kanan
halaman rumahnya ada pohon yang masih kokoh berdiri dan rumah kecil yang
menjadi bagian sarana ritual kepercayaannya, beberapa pengamen juga ada yang
berteduh di pohon tersebut bila di sengat panas, temanku Atoy yang biasanya
suka berteduh disana. Kemudian ada ruko (rumah toko) yang sudah lama
kosong, di depannya merupakn tempat Mak Ros menjajalkan dagangannya untuk para
pengamen, Mak Ros hanya menggelarkan kain berukuran 4 x 3 m sebagai alas untuk
duduk menaruh makanan. Mak Ros menjual nasi dan lauk, air es, salak, jeruk. Aku
sangat suka jengkol sambal dan soto ceker buatan Mak Ros, sebab asin dan pedas.
Selain itu aku juga sering membeli salak yang Mak Ros dagangkan. Kemudian ada
ruko milik orang tionghoa yang tergolong jarang keluar rumah, rukonya sering
tertutup, sesekali kami melihatnya terbuka, saat ia mengeluarkan ataupu
memasukkan mobil kerumah. Kemudian ada sebuah ruko yang merupakan perusahaan
jasa pemasangan CC TV, setelah itu baru ada showroom mobil bekas yang lebih
lebar dari ruko-ruko disebelahnya. Di depan bangunan-bangunan tersbut menjadi
tempat kami menepi dan bersandar bila telah mengameni angkot dan menunggu
angkot datang.
“gimana bro? Aman kan?” tanyaku kepada Fuad setelah mengameni
beberapa angkot.
“aman bro...” jawab Fuad sembari tersenyum.
“gini lah kalau ngamen bro... gak selalu dapat uang,
kadang ada yang ngasi, kadang ada yang enggak”
“hehehe... namanya juga rezeki bro”
“gimana bro? Masih canggung gak ngamen?”
“sedikit bro”
“hahaha ntar juga hilang itu... karena belum biasa aja
tuh, masih banyak lagi yang mau kita ngameni sampai ke Sabang nih”
“nih uangnya bro” ucapku Fuad sambil memberikan uang
hasil ngamen perdana kami.
“udah kau aja lah yang pegang bro” ucapku kepada Fuad.
“kau ajalah bro” ucap Fuad lagi.
“yaudah sinilah bro” ucapku sambil menerima uang setoran
dan memasukkannya kedalam tas.
Kami tidak terlalu lama ngamen di sini, karena kami harus
melanjutkan perjalanan ke barat, kami ke barat bukan untuk mencari kitab suci
seperti dalam film kera sakti, tapi kami harus ke perbatasan Kota Medan dengan
Kabupaten Deli Serdang agar tidak keburu sore dan agar kami sah melepas kota
ini.
“wi... aku pergi dulu ya” ucapku kepada Rawi yang
merupakan teman ngamen disini.
“mau kemana za? Cepat kali... baru ngamen bentar, ngamen
lagi la...” ucap Rawi kepadaku.
“mau ke sabang aku”
“ngapain?”
“ngamen la...”
“jauh kali sampai ke sana”
“bosan aku ngamen disini... ada muka kau terus hahaha”
“hahaha... gitu kali ya”
“mau ikut gak?”
“enggak lah... jauh kali, aku disini aja”
“oh iya bro... mana pick gitar pesananku, gak jadi-jadi
kan kau belikan”
“aduh lupa lagi aku lah... ntar lah aku belikan”
“pick yang kek kau punya enak buat main gitar... yaudah
aku beli punya kau ajalah... aku mau ke sabang nih... gak enak pakai yang ini”
ucapku sambil menunjukkan pick yang biasa aku gunakan untuk gitar elektrik.
“yaudah bro ini ambil aja” ucap Rawi sambil menyerahkan
pick gitar yang ada ditangannya.
“berapa bro?” tanyaku akan harganya.
“udah... ambil aja buatmu... gratis”
“serius kau???”
“serius lah...”
“memang baik kali kau bro... anak siapa lah kau ini???
makasi banyak ya. Pick pemberianmu akan ku bawa sampai sabang bro. Aku pergi
dulu ya...”
“hati-hati kau za”
“assalamu’alaikum!!!”
“wa’alaikumsalam”
Bersambung...
Komentar
Posting Komentar