FROM ZERO TO ZERO - Menjemput Gitar


Oleh : Hakim Syah Reza Lubis
Dari kiri ke kanan; Dona, aku, Fuad di Lapangan Blang Padang Banda Aceh, Desember 2013. Foto by Adhelia.
           

Dari rumah kami berjalan menuju bundaran adipura, kami melewati pemakaman, tempat dimana aku merebahkan jasad ayahku. dari kejauhan aku menatap makam ayahku sembari meminta izin kepadnya.
“Ayah... aku akan pergi ke Banda Aceh, salah satu tempat yang sering ayah ceritakan kepadaku sejak aku kecil”, ucapku dalam hati.
 Semasa masih hidup beliau sering menceritakan pengalamannya selama mengunjungi tempat-tempat yang ada di Nanggoroe Aceh Darussalam, hal tersebut didukung karena beliau pernah menjadi pegawai negeri sipil di Aceh, lebih tepatnya lagi di Singkil. Yang aku tahu dari pembicaraannya, dia pernah ke Singkil melalui jalur lintas yang mengelilingi Provinsi Nanggoroe Aceh Darussalam, melewati jalur pantai timur Aceh menuju Banda Aceh, lalu berbelok ke jalur pantai barat Aceh menuju Singkil.
Sekarang kami berada di dekat tugu adipura, kami hendak berangkat menuju Mandala, tempat dimana kami akan menjemput gitar. Dari sini kami naik angkot berwarna kuning dengan nomor 31, menunggu kedatangan angkot tersebut tidak jauh berbeda dengan menanti jodoh, lama.... dan penuh kesabaran, karena menurut perkiraan beberapa orang untuk menunggu satu angkot saja kita harus meluangkan waktu kurang lebih sekitar satu jam. Selain satu-satu nya angkot yang menuju Mandala, perusahaan yang menaungi angkot tersebut juga memiliki armada yang sedikit bila dibandingkan angkot-angkot tujuan lain, aku belum pernah menghitungnya, tapi semua orang mengakui itu.
“bro... angkot 31 belum punah ya? Udah lama juga kita nunggu nih”, ucapku kepada fuad.
“hahaha... masih ada bro, aku kalau pergi kerja naik itu kok”
Aku sudah jarang naik angkot tersebut, karena memang tidak ada tempat tujuan yang hendak kudatangi dengan angkot tersebut, terkahir kali aku menaikinya saat masih SMA, saat pulang jalan-jalan dengan teman. Kalau Fuad sering naik angkot tersebut, karena sekolahnya memang dilalui angkot tersebut, selain itu bengkel yang merupakan tempat ia bekerja juga dilalui angkot tersebut.
Setelah menanti cukup lama dan ditemani teriknya matahari, akhirnya sang angkot pun datang. Cukup mudah untuk menandai angkot tersebut dari kejauhan, selain jalannya yang lambat, penampilannya juga terkesan seperti angkot tahun tua yang sebentar lagi akan pensiun. Kami pun memberhentikan angkot tersebut, tidak perlu tenaga dalam untuk memberhentikannya, cukup dengan isyarat, yaitu dengan mengayunkan jari telunjuk.
            Perjalanan dari sini ke Mandala menghabiskan waktu kurang lebih sekitar satu jam perjalanan, itu sudah termasuk dengan adegan-adegan macet selama di perjalanan, bukan karena jaraknya yang jauh, ditambah lagi manufer angkot 31 seperti jalannya keong, alias lambat. Menurutku, ada alasan kenapa jalannya seperti itu, yang pertama karena memang rata-rata angkot 31 terlihat kurang terawat dan cukup tua, kemudian pak supir yang terkesan menanti-nanti penumpang yang akan menaiki angkotnya.
            “pinggir bang!”, ucap Fuad kepada pak supir.
            Kata “Pinggir” merupakan kata yang digunakan untuk memberhentikan angkot di Medan. Berbeda dengan di Jawa yang menggunakan kata “Kiri”.
            Kami turun dari angkot, sayangnya angkot tidak mengantarkan kami ke rumah yang kami tuju, karena memang itu bukan jalurnya, sebenarnya bisa saja di antar tepat sampai tujuan, tapi harus dengan bayaran mahal, dan itu namanya mencarter angkot.
Kami berjalan dari jalan besar menelusuri beberapa lorong. Kami tiba dirumah yang di tuju, Fuad deluan masuk ke dalam rumah tersebut, kemudian dia mengajakku masuk. Sepertinya dia memang sudah dekat dengan penghuni rumah, terlihat dari sikapnya yang begitu santai saat berada di dalam rumah, seperti di rumahnya sendiri. Saat kami tiba, pemilik gitar yang merupakan temannya Fuad sedang tidak ada di rumah, yang ada hanya adik laki-lakinya. Fuad melangkah menuju ke salah satu ruangan rumah untuk mengambil gitar.
“ini gitarnya bro...”, ucap fuad kepadaku sembari mengarahkan gitar ditangannya kepadaku.
Aku pun menyambut gitar tersebut dari tangannya. Gitar tersebut berwarna biru dongker dengan sedikit hiasan kemerah-merahan. Gitar tersebut diselimuti debu, pertanda bahwa gitar tersebut jarang dimainkan lagi. Seandainya saja gitarnya di selimuti daun pisang, pasti tidak akan seperti ini jadinya. Jujur aku sangat mengutuk orang yang tidak mau merawat gitar, aku yakin semua orang bisa merawat gitar, hanya saja mereka tidak mau merawat gitar. Bagiku gitar adalah sahabat, bukan pacar, karena kalau pacar dipeluk haram, sedangkan gitar tidak. Tidak jarang aku menemukan orang yang hanya mau memainkan gitar, tapi tidak mampu merawatnya. Menurutku, ada hubungan kausalitas antar gitar dengan orang yang memainkannya, jika kita berlaku baik pada gitar, maka yakinlah  gitar tersebut pun akan memberikan kebaikan kepada kita.
“berdebu kali gitarnya bro” ucapku kepada Fuad sembari mengusap debu di gitar tersebut dengan tangan.
“ia bro... sudah lama gak dimainkan sepertinya”
“ada kain yang bisa digunakan buat membersihkan ini bro”
“bentar bro” ucap fuad sambil pergi mencari kain yang aku maksud.
Fuad kembali sambil menyerahkan kain tersebut kepadaku “ini bro”
Aku pergi ke luar rumah untuk membersihkan gitar tersebut kembali. Aku tidak mau pemilik rumah tereserang penyakit TBC gara-gara kelakuanku. Biarlah aku yang terkena terlebih dahulu, eits... tapi setelah aku pikir-pikir, jangan lah... aku masih mau ke sabang, aku tidak mau merepotkan Fuad kalau di tengah perjalanan terserang TBC. Sementara aku harus profesioanl menjadi seorang penyanyi jalanan, coba bayangkan kalau aku bernyanyi dengan nafas yang tersengau-sengau.
Selain berdebu, ternyata ada dua senar gitar yang putus. Sebelumnya aku mengira, gitar yang nantinya akan kami bawa ke sabang adalah gitar yang sehat, dalam arti gitar yang sering dimainkan dan sering dirawat juga, malah kebalikannya. Aku tidak mengutuk keadaan, hanya saja tidak sesuai ekspektasi. Sperti kata pepatah “dari pada mengutuk kegelapan, lebih baik menyalakan lilin di dalam gelap”. Bagaimanpun gitar ini harus segera diberi penanganan lebih lanjut, agar ia kembali normal.
“bro... ternyata tali gitarnya ada yang putus nih” ucapku kepada Fuad sembari menyelesaikan ritual pembersihan gitar.
“ia ya bro... berapa yang putus?”
“Cuma dua sih bro, kalau putus semua mending kita beli gitar baru aja, hahaha....” ucapku sambil bercanda kepada Fuad.
“Hahaha... ya sudah ntar kita beli aja ke warung” balas Fuad sambil tertawa.
“ada yang jual senar gitar dekat sini bro?”
“aku juga gak tahu bro.... ntar kita jelajahi aja sambil jalan ke depan”
“oke lah bro...”
Jujur aku sedikit kecewa kepada Fuad karena dia tidak mempersiapkan gitar tersebut dari jauh-jauh hari, menurutku untuk perjalanan seperti ini harus lebih dipersiapkan dengan matang, selain membutuhkan waktu yang lama, juga melewat jarak yang jauh. Namun begitulah suka-dukanya dalam melakukan perjalanan secara team, pasti selalu ada konflik, perbedaan pendapat, perbedaan watak. Namun itu semua tidaklah menjadi suatu penghambat, ini baru di awal perjalanan, barau saja beberapa jam kami beranjak dari rumahku, tentunya akan ada tantangan yang lebih lagi dari yang sedang kami alami saat ini.
Setelah selesai membersihkan gitar, kamit pamit kepada penghuni rumah.
“dek.. abang pergi dulu ya” ucap Fuad kepada adik si pemilik gitar.
“oh iya.. oke bang. Memang mau kemana bang?”
“mau ke sabang dek, wuih jauh kali bang, titip oleh-oleh ya bang”
“insy’allah ya... salam sama abangmu ya, gitar nya abang bawa dulu”
“oke bang... nanti ku bilang”
“assalamu’alaikum”
“wa’alaikumsalam”
“mari dek...” ucapku kepadanya untuk melepas kepergian kami.
“oke bang”
“mari dek...” aku menambahi sembari kami beranjak meninggalkan rumah tersebut.
“ia bang... hati-hati”
Kami melangkah menuju jalan utama Mandala sembari menyusuri warung-warung yang kami lalui, kali aja ada yang menjual senar gitar. Setelah blusukan dari satu warung ke warung lainnya, akhirnya kami menemukan apa yang sebenarnya kami cari. Kami medapatkan dua buah senar gitar, maksudku membeli, karena jarang ada senar gitar yang berceceran di jalan raya.
Setibanya di jalan raya, kami pun menyebrang untuk mencari tempat berteduh, karena matahari masih semangat menyinari hari. Kami menemukan tempat yang tepat untuk berteduh, sepertinya ini pos jaga yang sudah jarang dikunjungi, terlihat dari debu-debu yang melekat di lantai dan dindingnya, serta adanya aura-aura tidak terawat lagi. Itu tidak masalah, asal kami bisa duduk dan menyetem senar gitar.
“bro... kita ngamen ke simpang patimpus dulu ya” ucapku kepada Fuad.
“siap bro”
“kau lihatin angkot yang lewat ya, aku masang senar gitar dulu nih”
“oke bro”
Perlahan – lahan aku memasukkan senar gitar ke lubang-lubang yang sudah tersedia di badan gitar dan kepala gitar. Aku mengencangkan senar gitar, memutar telinga gitar, hingga menemukan nada yang tepat. Aku merasakan kesulitan dalam menyetem gitar tersebut, gitarnya cukup rewel, tidak seperti gitar yang ada di rumahku. Mungkin aku belum menyatu dengan gitar ini, ditambah lagi gitar ini sudah lama jablay, jarang dibelay.
“bro susah juga nih nyetemnya” keluhku kepada Fuad.
“coba trus bro... siapa tahu beruntung”
“hahaha... aku takut senarnya putus bro”
“dirimu stem tinggi atau rendah bro?”
“stem standart la bro, biar enak ntar nyanyi di depan fans kita, kalau rendah gak lepas suaraku”
Aku belum juga menuntaskan proses penyeteman gitar. Memang berbeda menyetem gitar saat cuaca panas dan teduh, kalau cuaca panas konsentrasi kurang fokus, ditambah lagi senar gitar yang menurutku bisa memuai karena panasnya Medan. Tiba-tiba aku jadi teringat Putera, dia adalah rekan ngamen di simpang Patimpus, dia kalau menyetem gitar selalu mencari tempat yang teduh, kalau bisa dibaawah pohon rindang, dengan telinga di dekatkan tepat dengan senar gitar. Memang berbeda menyetem gitar di pinggir jalan dengan di rumah. Kalau di jalan, kuatnya suara kendaraan yang lalu lalang menjadi hambatan dalam mendapatkan nada senar gitar yang tepat, kalau aku lebih sering menyetem gitar di rumah, sebelum aku pergi dinas turun ke jalan. Bagaimanapun gitar yang sering dimainkan, tentunya akan lebih cepat untuk distem kembali. Jangan heran! Kalau pengamen lebih sering menyisihkan waktunya untuk menyetem gitar di bandingkan dengan gitaris papan atas. Coba bayangkan! Kurang lebih setiap sepuluh menit sekali pengamen mendapatkan kesempatan untuk bernyanyi di hadapan para penumpang angkot. Belum lagi telinga gitar yang sering bergeser saat menyandarkan gitar ataupun saat bersinggungan dengan benda lain.
“bro angkotnya datang tuh” ucap fuad sembari menatap angakot yang mulai mendekat dari kejauhan.
“ya sudah bro... stop la
Angkot berwarna biru dengan bernomorkan 48 berhenti di hadapan kami setelah dipaksa berhenti oleh Fuad. Penumpang di dalam angkot cukup padat, namun kami masih mendapat kesempatan untuk duduk tanpa harus berhimpitan. Aku berencana melanjutkan proses penyeteman gitar di dalam angkot, situasi dan kondisi tidak mendukung, jadi aku akan melanjutaknnya ketika tiba di Simpang Patimpus. Sebelum tiba di Simpang Patimpus, kami melewati beberapa persimpangan, salah satunya Simpang Aksara. Simpang aksara merupakan salah satu dari persimpangan yang dihuni oleh para pengamen di Medan. Ketika melewati Simpang Aksara kami tidak terjebak oleh lampu merah, sehinggat tidak terjadi peristiwa “pengamen mengameni pengamen”.
Waktu tempuh dari Mandala ke Simpang Patimpus sekitar dua puluh menit, bisa lebih lama lagi kalau sedang jam orang-orang pulang kerja di sore hari, karena kondisi jalan yang macat. Berbicara mengenai kemacatan lalu lintas, pengamen dan pengguna jalan memiliki kaca mata yang berbeda untuk memandangnya. Pagi pengguna jalan kemacatan lalu lintas adalah suatu momok yang menakutkan, karena pada umumnya mereka takut terjebak macat, mereka lebih memilih menghindari kemacatan dari pada menghadapinya. Berbeda dengan pengamen yang begitu bergairah dalam menghadapi kemacatan lalu lintas, bagi pengamen jalan yang macat adalah suatu kebahagian, karena bisa berburu banyak uang dari banyaknya angkot yang berhenti, biasanya pengamen tidak suka melihat jalan yang sepi atau lancar-lancar saja, karena dengan demikian tidak ada angkot yang bisa dijadikan objek untuk melantunkan lagu.
Bersambung...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendakian Gunung Pusuk Buhit

PMR Madya dan Wira Sekolah Kallista Mengikuti Pelantikan PMR Se-Kota Batam Tahun 2017

Penyampai Pesan Kematian