FROM ZERO TO ZERO - Menysuri Jalan Jendral Gatot Subroto

Oleh:
Hakim Syah Reza Lubis

numpang pickup dari simpang sei sikambing ke simpang kampung lalang, Desember 2013.
Setelah menghitung dan merapikan uang yang kami peroleh dari hasil ngamen, kami bergegas meninggalkan simpang patimpus, uang yang kami peroleh saat ini belum cukup untuk ke Sabang. Jelas saja belum cukup, baru ngamen sebentar sudah mau dapat uang banyak! Kalau mau cepat ngepet aja sana! kalau ditunggu cukup tentunya lama, karena konsep kami ke Sabang bukan mengumpulkan uang yang cukup terlebih dahulu baru berangkat, tapi selama perjalanan kami menuju sabang itulah upaya kami untuk mencukupinya.
Kami melangkahkan kaki menuju Pasar Petisah dibawah terik matahari yang mulai mereda melewati Bundaran SIB (Sinar Indonesia Baru), dikatakan Bundaran SIB karena disini didirikan bangunan tinggi menyerupai jam gadang yang ada di Bukit Tinggi, dan bertuliskan Sinar Indonesia Baru pada bagian atasnya, yang merupakan nama sebuah harian surat kabar. Ayahku mengatakannya Bundaran Majestik karena di kawasan tersebut berdiri sebuah toko roti dengan nama Majestik yang dijadikan orang-orang pada masa itu sebagai penanda. Bundaran SIB merupakan titik pertemuan antara lima jalan, yaitu Jalan Guru Patimpus, Jalan Gatot Subroto, Jalan Haji Adam Malik, dan dua jalan lainnya yang aku lupa namanya, semoga mereka berlima selalu bertemu dan tidak pernah berpisah.
            Pasar Petisah merupakan salah satu pasar tradisonal di Kota Medan yang secara administratif merupakan wilayah Kecamatan Medan Petisah. Kami ngamen di beberpa kafe yang ada di Pasar Pertisah, aku tahu kalau di sini juga ada pengamen yang menjadi “member tetap” kafe-kafe disini, meskipun dia baru saja mengameni kafe-kafe disini kami tetap saja melangsungkan aksi kami, karena kami hanya sekedar melintasi tempat ini. Menurutku para pengunjung cafe di sini perlu suasana baru da wajah baru seperti kami ini, tidak seperti mereka yang kesehariannya menjajalkan suara disini, karena itu mereka aku sebut sebagai member tetap disini.
            “kita nagmen disini dulu ya bro” ucapku kepada fuad.
            “oke bro” jawab Fuad.
            “sebenarnya disini tuh ada pengamen juga bro, mereka hampir tiap hari disini” ucapku kepada Fuad sembari mengenjreng gitar, sebagai tanda pemanasan untuk memulai aksi kami.
            “mana orang nya bro?”
            Kemudian aku melihat sekeliling.
            “itu orangnya bro” ucapku kepada Fuad sambil menunjuk dua orang yang tengah memegang biola dan gitar.
            “kok gak ngamen mereka bro?”
            “baru siap ngamen mereka tuh bro, makanya mereka nyantai dulu, biasanya mereka ngamen lagi setelah ada pergantian pengunjung kafe”
            “gak apa-apa ini kita ngamen kan?”
            “gak apa-apa la... santai aja kau... siapa aja boleh ngamen kok disini, kau sama bapakmu pun gak apa-apa ngamen disini, hahaha...”
            “hahaha... gila kau bro!”
            “kita gak usah takut gak ada yang ngasi... rezeki kan sudah ada yang ngatur”
            “sippp bro”
            Kami melangkah menuju kafe yang menjual miesop dan sebagainya, miesop merupakan bihun yang diberikan kuah sop sama seperti kuah pada bakso.
            “permisi ngamen ya buk” ucapku dengan nada pelan kepada petugas kafe.
            “baru aja ada yang ngamen dek” jawab petgas cafe.
            Itu merupkan tolakan halus agar kami tidak ngamen disini, karena biasanya beberapa kafe meskipun sudah ada yang ngamenin tetap memberikan kesempatan. Lalu melangkah ke kafe sebelah, kafe ini terdiri dari banyak stand, menu yang aku ingat dari kafe tersebut adalah sate padang dan es campur, jaraknya sekitar tiga ruko dari kafe sebelumnya.
            “ permisi kak... numpang ngamen ya” ucapku kepada kakak penjaga stand dengan nada halus dan bersahabat.
            “oh ya... silahkan bang” jawab kaka tersebut dengan ramah.
            Aku dan Fuad melangkah menuju panggung, alias lantai kosong yang jika kami berdiri tidak menghalangi orang yang sedang lalu-lalang dan bisa dilihat oleh orang para pengunjung kafe. Serta pastikan tempat yang dipilih bisa memancarkan dendangan lagu ke segala penjuru, memang secara logika yang bisa mendengar pengamen bernyanyi dengan jelas adalah pengunjung yang posisinya lebih dekat dengan pengamen, biasanya yang duduk di bagian depan. Kondisi setiap kafe memang berbeda-beda, ada yang memilik tempat yang luas namun ada juga yang sempit, belum lagi dekorasi kafe yang berbeda, maka sebagai pengamen harus bijak-bijak dalam memilih tempat untuk melancarkan aksi. Semua itu tidak diperoleh di bangku sekolah, karena memang belum ada guru yang mengajarkan siswanya trik untuk mengamen. Pelajaran seperti ini hanya di dapat dilapangan seiring dengan pengalaman yang dibalut oleh waktu.
            “permisi bapak-ibu...” ucap kami serentak kepada pengunjung kafe.
            Kali ini kami membawakan lagu Republik Band yang cuplikan lirik lagunya seperti ini “...jujurlah sayang... aku tak mengapa... biar semua... jelas telah berbeda... bila nanti... aku yang harus pergi... kuterima... walau sakit hati...”
            Suasana ngamen di angkot memang berbeda dengan ngamen di angkot. Kalau ngamen di angkot kita terbatas oleh waktu, sehingga kami harus patuh kepada perubahan warna lampu jalanan, sehingga lagu yang kami nyanyikan tidak pernah selesai, rata-rata lagu yang dibawakan di angkot hanya mampu sampai reffrain pertama, bila masih ada waktu setelah penumpang memberi uang, reffrain bisa diulang-ulang hingga angkot perlahan-lahan pergi, jangan coba-coba ngamen dengan menyanyikan lagu sampai tuntas di angkot, yang ada angkot dan penumpangnya akan berlalu begitu saja, kecuali kalau kamu benar-benar ikhlas dalam menyumbangkan suara emas, perak, nikel, besi dan timah.
            Sedangkan kalau ngamen di kafe kami memiliki waktu yang lebih leluasa untuk menghibur para pengunjung. Di kafe kami bisa menyanyikan lagu dari awal hingga akhir dengan sempurna, berbeda dengan di angkot yang hanya berupa cuplikan lagu, bahkan kami bisa menyanyikan dua hingga tiga lagu lebih. Banyak lagu yang dinyanyikan tergantung oleh kondisi kafe, kondisi pengunjung, dan kondisi donasi. Bila keadaan kafe sepi pengunjung kami akan menyanyikan satu lagu saja, bila pengunjung kafe rame kami akan menyanyikan dua lagu atau lebih. Kapasitas tampung pengunjung kafe juga mempengaruhi startegi mengamen, bila kafenya terlalu luas biasanya kami akan mengamen dua tahap, agar semua pengunjung dapat kebagian suara kami yang masih jauh dari sempurna ini. Di kafe sering orang merequest lagu, Bila ada yang request lagu tentunya kami akan memeberikan tambahan lagu untuk si pemohon, di dalam dunia ngamen bila ada pengunjung yang meminta request merupakan suatu kehormatan dan apresiasi untuk si pengamen. Tapi tidak selamanya bila ada merequest lagu merupakan suatu kehormatan dan apresiasi. Selama menjadi pengamen, aku dan teman-teman lainnya mengelompokkan orang yang merequest lagu ke dalam tiga spesies.
Yang pertama adalah orang yang merequest lagu karena suka dengan penampilan pengamen dan masih ingin menikmati penimpalannya lagi, sehingga pengunjung meminta tambahan lagu. Yang kedua adalah orang yang merequest lagu karena lagu yang dibawakan pengamen sangat menggambarkan isi hatinya dan keadaannya yang mungkin sedang ulang tahun, jatuh cinta, putus cinta, diselingkuhi, sedang mendapat berkah, ataupun mendapat musibah, sehingga pemohon meminta lagu lagi yang sesuai dengan kondisinya saat itu. Yang ketiga adalah tipe yang beraliran negatif, biasanya mereka merequest lagu dengan tujuan ingi menguji si pengamen, sebab dia orang yang ahli di bidang musik, mereka mengajukan lagu yang cukup sulit, dalam arti tidak tepat bila dinyanyikan dalam nuansa kafe, sehingga bila pengamen tidak mampu membawakannya, mereka tidak akan memberikan donasi. Kalaupun pengamen membawakan lagu tersebut, tentunya tidak akan sempurna, hal tersebut tentunya berpotensi membuat pengamen malu dihadapan khalayak ramai.
Setelah ngamen di Pasar Petisah, kami berjalan kaki menyusuri Jalan Gatot Subroto dengan nuansa ruko-ruko yang berbaris rapi menghiasi tepiannya. Di sini merupakan kawasan pusat perbelanjaan, dimana pasar tradisonal dan pasar modern di persandingkan. Destinasi kami selanjutnya adalah kafe-kafe yang ada di seberang Plza Medan Fair, menu makanannya bermacam-macam, mulai dari nasi goreng, mie ayam, bakso, mie sop, sate padang, soto medan, hingga ayam penyet. Kalau minumnya juga bervariasi mulai dari aneka jus, mandi (julukan untuk teh MANis Dingin), hingga minuman bersoda, silahkan pesan sendiri, aku hanya menawarkan, kalau sudah makan jangan lupa bayar di kasir, loh... kenapa aku seperti pelayan kafe.
Kami bukanlah pengamen pertama yang menjajalkan suara di sini, tentu sama dengan kafe yang sudah kami ngameni sebelumnya, disini merupakan sasaran empuk beberpa pengamen di Kota Medan, dan disini juga sudah ada pengamen yang biasanya ngetem disini, namun sejauh ini kami tidak pernah ada konflik dengan mereka, sebab sejauh ini kami juga sopan kepada mereka, dan beberapa dari mereka juga sudah aku kenal, namanya juga teman satu profesi, kalau pengamen bilang “sama-sama cari makan”.
Perkenalan denga beberapa pengamen lain di Kota Medan di memiliki berbagai cerita. Sebenarnya bukan hanya Pak Jokowi yang suka belusukan, kami para pengamen juga suka belusukan, pengamen-pengamen di Medan yang biasanya mangkal di lampu merah tempat mereka menjajalkan suara juga suka melakukan belusukan ke lampu-lampu merah lain yang juga dihuni oleh para pengamen lain. Tujuan kami melakukan hal seperti itu bervariasi, mulai dari ingin menambah kenalan sesama pengamen, ingin merasakan susana baru di tempat yang berbeda. Ada juga karena pengawasan yang ketat dan aksi razia dari Polisi Pamongpraja, sehingga membuat para pengamen mengungsi untuk sementara. Namun tidak jarang terjadi keresahan dan konflik perasaan anatar pengamen yang bersatatus sebagai “tuan rumah” dengan pengamen pendatang. Aku ingat pepatah yang mengatakan “dimana bumi dipijak, disitu langit di junjuung”, artinya kita harus pandai-pandai menyesuaikan diri dan masuk kelingkungan yang sedang kita kunjungi.
Selama aku jadi pengamen di Patimpus, kami anak-anak pengamen Patimpus welcome-welcome saja terhadap pengamen luar yang datang ke Simpang Patimpus, asalkan cara mereka datang dengan baik, seperti permisi kepada kami dan mau ngobrol dengan kami, karena setiap lampu merah memiliki peradaban yang berbeda-beda, kalau salah masuk bisa-bisa menimbulkan konflik. Pernah beberapa pengamen luar datang ke Patimpus dengan cara yang sopan, namun pernah juga beberapa pengamen datang dengan cara yang tidak sopan, mereka datang tanpa permisi, tidak melakukan pendekatan dengan kami, mengameni angkot dengan sesukanya tanpa memperhatikan pengamen “tuan rumah”, biasanya pengamen senior di patimpus akan menegur mereka dan kalau ditegur tidak berubah juga mereka di dideportase!
Beberapa pengamen di sini ada yang aku kenal, aku lupa namanya, namun ciri khas yang aku ingat darinya,dia merupakan pengamen yang bias mangkal di Simpang Brimob/Simpang R.S. Siti Hajar di daerah Padang Bulan, dia menggunakan gitar berwarna putih, dia suka membawakan lagu Firman Idol “... sesungguhnya... ku tak bisa... hidup tanpa ada kamu... aku gila... takkan ku sia-siakan kamu lagi...” dengan suara yang khas menyerupai penyanyi aslinya. Selain perkenalan di lampu merah, perkenalan sesama pengamen juga terjalin saat sedang ngamen di beberapa kafe yang ada di Medan.
Sesama pengamen yang saling kenal dan memiliki hubungan baik biasanya kami saling konfirmasi bila ada warung makan yang sudah dingameni, tujuannya agar ada jeda antara pengamen yang sebelumnya dengan pengamen selanjutnya, pengunjung kafe juga bosan dan kesal bila terus-terusan ada pengamen yang mengahmpiri mereka, idealnya 30 hingga 60 menit, hal tersebut memungkinkan adanya pergantian pengunjung di sebuah kafe. Intinya kembali kepada si pengamen, apakah dia nekat dan ikhlas mengameni sebuah kafe yang sudah dingameni pengamen lain atau tidak.
Kami pengamen memiliki kelebihan yang diberikan Tuhan dimana kami bisa menerawang apakah suatu kafe sudah dingameni orang lain atau belum, jangan kira di depan kafe ada papan yang digantung dengan tulisan “maaf kafe ini sudah dingameni, silahkan tunggu dalam satu jam kedepan”, kami bisa membaca masa lalu meskipun hanya beberapa menit. Biasanya petugas kafe atau rumah makan yang akrab dengan kami mengatakan bila ada pengamen sudah tampil sebelumnya, itu merupkan kode bagi kami agar memberi jeda terlebih dahulu, namun ada juga tugas kafe yang tidak melakukan konfirmasi akan hal tersebut dan menganggap itu tidak penting. bila petugas kafe lupa memberitahu akan hal tersebut dan kami lupa menanyakan juga, kami tetap bisa tahu apakah kafe tersebut sudah dingameni atau belum. Cukup gampang! Lihat saja! Bila suatu kafe yang ramai pengunjung kamu ngameni dengan suara emas murni, dengan penuh ekspresi, serta mempersembahkan dua hingga tiga buah lagu yang tengah populer dan digemari banyak orang, namun pada saat pengutipan uang tidak ada satupun meja yang memberikan saweran, itu artinya kafe tersebut baru saja dingameni orang lain, mohon bersabar... ini ujian... silahkan coba lagi di lain kesempatan.
Pengamen bukanlah robot, kami juga manusia yang sekitar 70% kandungan tubuhnya adalah air, apalagi nyanyi dari satu kafe ke kafe lain dengan berjalan kaki tentunya memuat kami berkeringat dan haus.
“istirahat dulu kita ya bro” ucapku kepada Fuad sambil mengajaknya berjalan ke halte bus.
“ok bro...”
“gimana? Capek bro?” Ucapku sambil mengambil botol tupperware berwarna orange dengan kapasitas 500 ml dari dalam ranselku.
“enggak bro... aman...”
“alhamdulillah...nih minum bro... ” ucapku sambil memberikan botol minum kepada Fuad.
Aku melihat jam di tangan, ternyata adzan ashar sudah berkumandang sejak beberapa menit yang lalu. bila tidak jeli hirup-pikuk aktifitas pasar, banyak orang yang lalu-lalang, deru mesin mobil yang tengah lalu lalang, serta teriakan klakson mobil yang saling bersahutan mampu mengkamuflasekan suara adzan untuk sampai ke telinga.
“kita shalat ashar dulu ya bro” ajak ku kepada Fuad.
“ayoklah bro, shalat dimana kita?”
“disitu ajalah” jawabku kepada Fuad sambil menunjuk ke arah masjid yang menaranya tampak dari sini.
Kami menyebrangi Jalan Jendral Gatot Subroto, kami berjalan menuju masjid yang tidak jauh dari Plaza Medan Fair, lebih tepatnya lagi di sebuah jalan yang baru dibuka tiga tahun lalu.
“siapa yang duluan shalat bro?” tanyaku kepada Fuad setelah tiba di Masjid.
“kau ajalah bro... aku disini jaga gitar dan tas”
“oke bro... mau titip doa apa?”
“hahaha... doakan aja kita dapat uang yang banyak ntuk ke Sabang”
“hahaha... siap laksanakan”
Setelah menunaikan shalat ashar di Masji Al-Yasamin, kami kembali menuju Jalan Jendral Gotot Subroto, kearah simpang empat yang menghubungkan jalan ini (jalan iskandar muda baru), jalan jendral Gatot Subroto, dengan jalan Iskandar Muda.
“bro kita ngamen sekali lagi ya disekitar sini” saranku kepada Fuad.
“boleh bro... kemana lagi kita?”
“ke Bakso Simas... di samping Meplaz (Medan Plaza)”
“aku ikut kau aja bro”
Kami berhenti di tepi jalan yang dekat dengan lampu lalu lintas, sembari menunggu mobil-mobil berhenti melaju. Lampu merah menyala, mobil-mobil berhenti seketika, lalu kami menyebrangi jalan tepat di atas zebracross sambil menenteng gitar, sayangnya kami tidak sempat berfoto seperti gaya personil The Beatles yang tengah berjalan satu baris di atas zebracross. Seketika mataku tertuju kepada mobil pickup yang baru saja berhenti.
“bro kita lanjut jalan aja ya, biar gak kelamaan disini”
“yasudah gapapa bro”
“kebetulan tuh ada pickup kosong yang lagi berhenti”
“bentar ya bro” ucapku kepada Fuad sambil mengahmpiri pickup tersebut.
“permisi pak, bisa numpang sampai kampung lalang pak?” ucapku dengan nada memohon kepada pak supir. Kampung lalang merupakan nama tempat yang menjadi perbatasan antar kota medan dengan kabupaten deli serdang di arah barat.
“aku gak lewat sana, aku ntar belok di simpang Sei Kambing” ucap bapak tersebut. Simpang sei sikambing merupakan salah satu persimpangan sebelum kampung lalang, kurang lebih 2 km lagi dari sini, dengan universitas panca budi.
            “yasudah pak... sampai situ aja tidak apa-apa”
            “yasudah naiklah...” bapak tersebut mempersilahkan.
            “bro...ayo naik” teriakku kepada Fuad yang masih setia berdiri di atas trotoar.
Lalu Fuad berlari kecil dengan penuh kebahagian dari tempatnya menuju pickup sambil menenteng gitar, aku sambut gitarnya, kemudian ia naik ke atas pickup. Lampu hijau mulai menyala, mobil-mobil termasuk pickup yang kami naiki mulai berlomba-lomba untuk tancap gas layaknya peserta acara balapan di sirkuit yang sudah diberi aba-aba untuk melaju. Ini merupakan kendaraan pertama yang memberikan kami tumpangan. duduk di atas pickup yang beratapkan langit membuat angin dengan leluasa meraba-raba rambutku yang lebih panjang dari rambut Fuad.
“alhamdulillah ya bro... akhirnya kita dapat tumpangan juga”
“iya bro...”
“ntar pas di simpang sei kambing kita ngamen aja lagi sambil nyetop tumpangan”
“oke bro...”
Alhamdulillah, setelah lima menit berlalu pak supir memberhentikan laju pickup, kami diberhentikan di depan Universitas Panca Budi. Setelah pickup benar-benar berhenti, aku turun deluan dari pickup, aku sambut gitar dari tangan pickup, kemudian Fuad juga turun. Kemudian kami menhampiri bapak tersebut.
“makasi banyak ya pak” ucap kami secara serentak kepada bapak tersebut.
“iya... sama-sama” jawab bapak tersebut kepada kami.
Pickup melaju meninggalkan kami. Mataku tertuju ke arah lampu lalu lintas, aku melihat ada seorang pengamen, lalu aku mengajak Fuad untuk ke sana.
“bro kita ngamen disini bentar ya, sambil nunggu pickup buat tumpangan”
            “oke bro...”
            Kami tiba di hadapan seorang pengamen yang baru saja menyelesaikan tugasnya yaitu menghibur penumpang angkot.
            “permisi bang...” sapaku kepadanya. Aku tidak tahu dia lebih tua atau lebih muda dariku, untuk itu aku memanggilnya abang. Sebenarnya panggilan “abang” di Medan ditujukan untuk laki-laki yang lebih tua dari kita dan usianya tidak terlalu jauh dari kita, kalau sudah jauh sudah bisa dipanggil “bapak”. Namun ada kebiasaan di masyarakat memanggil “abang” kepada laki-laki yang belum kita kenal dan belum diketahui namanya, panggilan “abang” ditujukan agar terasa lebih akrab dan sopan bila dengan panggilan “adik”, karena kami tidak tahu apakah usianya di atas kami atau di bawah kami. Bila kami panggil “adik”, sementara dia merasa lebih tua kami atau dia memang benar lebih tua dari kami, bisa saja menimbulkan anggapan dalam dirinya kalau kami tidak sopan, maka dari itu panggilan “abang” dianggap sebagai suatu titik aman.
            “iya bang...” jawab pengamen tersebut.
            “kami ngamen bentar disini ya bang”
            “dari mana bang?”
            “kami pengamen dari patimpus bang... reza bang” jawabku sambil memperkenal diri dengan menjabat tangannya.
            “fuad bang” fuad juga ikut memperkenalkan diri.
            “kami ngamen bentar aja disini bang, buat nyari ongkos hahaha” ucapku kepadanya.
            “memang kelen mau kemana?”
            “mau ke sabang bang”
            “wuih jauh kali... ngapain kelen kesana?”
            “mau ngamen sambil liburan bang hahaha”
            “yaudah ngamen lah kelen dulu... udah merah nih” ucapnya untuk mempersilahkan kami ngamen. Merah merupakan istilah untuk menyebutkan bahwa lampu merah sudah menyala.
            “oke bang... kami ngamen dulu ya” jawab kami kepadanya.
            Kami hanya ngamen untuk satu angkot di sini, saat lampu merah selanjutnya kami melihat pickup kosong berhenti di hadapan kami, aku menghampirinya.
            Permisi bang...” ucapku kepada pengendara pickup.
            “ya dek...” ia menjawab
            “boleh numpang sampai Kampung Lalang bang?” pintaku dengan nada memohon.
            “oh boleh dek... naiklah”
            “makasi ya bang”
            “ayok bro...” aku memanggil Fuad untuk naik ke pickup.
            “kami deluan ya bang” ucapku kepada pengamen disini.
            “oke-oke... hati-hati kelen ya...”
            Angkot melaju membawa kami menuju Kampung Lalang, jaarak dari sini ke kampung lalang sekitar 4,5 km, dari sini kami harus melewati dua kali simpang lampu merah, yang pertama lampu merah simpang Pondok Kelapa, disini juga ada komunitas pengamen, aku tidak pernah ngamen disini, namun wilayah sini menjadi bascamp ngamen anak-anak punk. Yang kedua itu merupakan lampu merah kampung lalang, disitu juga ada pengamennya, salah satu pengamen yang aku kenal adalah si Aseng, dia sering mampir ke Patimpus, aku tidak tahu Aseng nama aslinya atau tidak, mungkin karena dia peranakan tionghoa. sepengetahuanku dia tidak tergabung dalam komunitas punk, namun dia selalu berpenampilan seperti style anak punk, dia mengenakan piercing, dan dia pernah juga menghiasi rambutnya dengan warna kuning, dia ngamen menggunakan ukulele, terkadang ia juga ngamen hanya menggunakan shaker, biasanya pengamen menjadikan botol Yakult sebagai bahan pembuat shaker, botol yakult yang sudah habis isinya dimasukkan beras atau kacang hijau, kemudian ujung botol ditutup dengan plastik lalau diikat dengan karet gelang. Peangamen itu benar-benar kreatif kan? Serta benar-benar menerapkan konsep reuse, menggunakan kembali barang-barang bekas untuk dimanfaatkan menjadi barang yang bermanfaat. Menurutku perusahaan yakult sudah sepatutnya berterimaksih kepada para pengamen, sebab sudah membantu mereuse limbah padat produk mereka serta mempromosikan produk mereka kepada pengguna jalan. Bersambung...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendakian Gunung Pusuk Buhit

PMR Madya dan Wira Sekolah Kallista Mengikuti Pelantikan PMR Se-Kota Batam Tahun 2017

Penyampai Pesan Kematian