FROM ZERO TO ZERO - Menysuri Jalan Jendral Gatot Subroto
Oleh:
Hakim Syah Reza Lubis
numpang pickup dari simpang sei sikambing ke simpang kampung lalang, Desember 2013. |
Setelah menghitung dan merapikan uang yang kami peroleh
dari hasil ngamen, kami bergegas meninggalkan simpang patimpus, uang yang kami
peroleh saat ini belum cukup untuk ke Sabang. Jelas saja belum cukup, baru ngamen
sebentar sudah mau dapat uang banyak! Kalau mau cepat ngepet aja sana! kalau
ditunggu cukup tentunya lama, karena konsep kami ke Sabang bukan mengumpulkan
uang yang cukup terlebih dahulu baru berangkat, tapi selama perjalanan kami
menuju sabang itulah upaya kami untuk mencukupinya.
Kami melangkahkan kaki menuju Pasar Petisah dibawah terik
matahari yang mulai mereda melewati Bundaran SIB (Sinar Indonesia Baru), dikatakan
Bundaran SIB karena disini didirikan bangunan tinggi menyerupai jam gadang yang
ada di Bukit Tinggi, dan bertuliskan Sinar Indonesia Baru pada bagian atasnya,
yang merupakan nama sebuah harian surat kabar. Ayahku mengatakannya Bundaran
Majestik karena di kawasan tersebut berdiri sebuah toko roti dengan nama
Majestik yang dijadikan orang-orang pada masa itu sebagai penanda. Bundaran SIB
merupakan titik pertemuan antara lima jalan, yaitu Jalan Guru Patimpus, Jalan
Gatot Subroto, Jalan Haji Adam Malik, dan dua jalan lainnya yang aku lupa
namanya, semoga mereka berlima selalu bertemu dan tidak pernah berpisah.
Pasar
Petisah merupakan salah satu pasar tradisonal di Kota Medan yang secara
administratif merupakan wilayah Kecamatan Medan Petisah. Kami ngamen di beberpa
kafe yang ada di Pasar Pertisah, aku tahu kalau di sini juga ada pengamen yang
menjadi “member tetap” kafe-kafe disini, meskipun dia baru saja mengameni
kafe-kafe disini kami tetap saja melangsungkan aksi kami, karena kami hanya
sekedar melintasi tempat ini. Menurutku para pengunjung cafe di sini perlu
suasana baru da wajah baru seperti kami ini, tidak seperti mereka yang
kesehariannya menjajalkan suara disini, karena itu mereka aku sebut sebagai
member tetap disini.
“kita
nagmen disini dulu ya bro” ucapku kepada fuad.
“oke
bro” jawab Fuad.
“sebenarnya
disini tuh ada pengamen juga bro, mereka hampir tiap hari disini” ucapku kepada
Fuad sembari mengenjreng gitar, sebagai tanda pemanasan untuk memulai aksi
kami.
“mana
orang nya bro?”
Kemudian
aku melihat sekeliling.
“itu
orangnya bro” ucapku kepada Fuad sambil menunjuk dua orang yang tengah memegang
biola dan gitar.
“kok gak
ngamen mereka bro?”
“baru
siap ngamen mereka tuh bro, makanya mereka nyantai dulu, biasanya mereka ngamen
lagi setelah ada pergantian pengunjung kafe”
“gak
apa-apa ini kita ngamen kan?”
“gak
apa-apa la... santai aja kau... siapa aja boleh ngamen kok disini, kau sama
bapakmu pun gak apa-apa ngamen disini, hahaha...”
“hahaha...
gila kau bro!”
“kita
gak usah takut gak ada yang ngasi... rezeki kan sudah ada yang ngatur”
“sippp
bro”
Kami
melangkah menuju kafe yang menjual miesop dan sebagainya, miesop merupakan
bihun yang diberikan kuah sop sama seperti kuah pada bakso.
“permisi
ngamen ya buk” ucapku dengan nada pelan kepada petugas kafe.
“baru
aja ada yang ngamen dek” jawab petgas cafe.
Itu
merupkan tolakan halus agar kami tidak ngamen disini, karena biasanya beberapa
kafe meskipun sudah ada yang ngamenin tetap memberikan kesempatan. Lalu
melangkah ke kafe sebelah, kafe ini terdiri dari banyak stand, menu yang aku
ingat dari kafe tersebut adalah sate padang dan es campur, jaraknya sekitar
tiga ruko dari kafe sebelumnya.
“
permisi kak... numpang ngamen ya” ucapku kepada kakak penjaga stand dengan nada
halus dan bersahabat.
“oh
ya... silahkan bang” jawab kaka tersebut dengan ramah.
Aku dan
Fuad melangkah menuju panggung, alias lantai kosong yang jika kami berdiri
tidak menghalangi orang yang sedang lalu-lalang dan bisa dilihat oleh orang
para pengunjung kafe. Serta pastikan tempat yang dipilih bisa memancarkan
dendangan lagu ke segala penjuru, memang secara logika yang bisa mendengar
pengamen bernyanyi dengan jelas adalah pengunjung yang posisinya lebih dekat
dengan pengamen, biasanya yang duduk di bagian depan. Kondisi setiap kafe
memang berbeda-beda, ada yang memilik tempat yang luas namun ada juga yang
sempit, belum lagi dekorasi kafe yang berbeda, maka sebagai pengamen harus
bijak-bijak dalam memilih tempat untuk melancarkan aksi. Semua itu tidak
diperoleh di bangku sekolah, karena memang belum ada guru yang mengajarkan siswanya
trik untuk mengamen. Pelajaran seperti ini hanya di dapat dilapangan seiring
dengan pengalaman yang dibalut oleh waktu.
“permisi
bapak-ibu...” ucap kami serentak kepada pengunjung kafe.
Kali ini
kami membawakan lagu Republik Band yang cuplikan lirik lagunya seperti ini
“...jujurlah sayang... aku tak mengapa... biar semua... jelas telah berbeda...
bila nanti... aku yang harus pergi... kuterima... walau sakit hati...”
Suasana
ngamen di angkot memang berbeda dengan ngamen di angkot. Kalau ngamen di angkot
kita terbatas oleh waktu, sehingga kami harus patuh kepada perubahan warna
lampu jalanan, sehingga lagu yang kami nyanyikan tidak pernah selesai,
rata-rata lagu yang dibawakan di angkot hanya mampu sampai reffrain pertama,
bila masih ada waktu setelah penumpang memberi uang, reffrain bisa
diulang-ulang hingga angkot perlahan-lahan pergi, jangan coba-coba ngamen
dengan menyanyikan lagu sampai tuntas di angkot, yang ada angkot dan
penumpangnya akan berlalu begitu saja, kecuali kalau kamu benar-benar ikhlas
dalam menyumbangkan suara emas, perak, nikel, besi dan timah.
Sedangkan
kalau ngamen di kafe kami memiliki waktu yang lebih leluasa untuk menghibur
para pengunjung. Di kafe kami bisa menyanyikan lagu dari awal hingga akhir
dengan sempurna, berbeda dengan di angkot yang hanya berupa cuplikan lagu,
bahkan kami bisa menyanyikan dua hingga tiga lagu lebih. Banyak lagu yang
dinyanyikan tergantung oleh kondisi kafe, kondisi pengunjung, dan kondisi
donasi. Bila keadaan kafe sepi pengunjung kami akan menyanyikan satu lagu saja,
bila pengunjung kafe rame kami akan menyanyikan dua lagu atau lebih. Kapasitas
tampung pengunjung kafe juga mempengaruhi startegi mengamen, bila kafenya
terlalu luas biasanya kami akan mengamen dua tahap, agar semua pengunjung dapat
kebagian suara kami yang masih jauh dari sempurna ini. Di kafe sering orang
merequest lagu, Bila ada yang request lagu tentunya kami akan memeberikan
tambahan lagu untuk si pemohon, di dalam dunia ngamen bila ada pengunjung yang
meminta request merupakan suatu kehormatan dan apresiasi untuk si pengamen.
Tapi tidak selamanya bila ada merequest lagu merupakan suatu kehormatan dan
apresiasi. Selama menjadi pengamen, aku dan teman-teman lainnya mengelompokkan
orang yang merequest lagu ke dalam tiga spesies.
Yang pertama adalah orang yang merequest lagu karena suka
dengan penampilan pengamen dan masih ingin menikmati penimpalannya lagi,
sehingga pengunjung meminta tambahan lagu. Yang kedua adalah orang yang
merequest lagu karena lagu yang dibawakan pengamen sangat menggambarkan isi
hatinya dan keadaannya yang mungkin sedang ulang tahun, jatuh cinta, putus
cinta, diselingkuhi, sedang mendapat berkah, ataupun mendapat musibah, sehingga
pemohon meminta lagu lagi yang sesuai dengan kondisinya saat itu. Yang ketiga adalah
tipe yang beraliran negatif, biasanya mereka merequest lagu dengan tujuan ingi
menguji si pengamen, sebab dia orang yang ahli di bidang musik, mereka
mengajukan lagu yang cukup sulit, dalam arti tidak tepat bila dinyanyikan dalam
nuansa kafe, sehingga bila pengamen tidak mampu membawakannya, mereka tidak
akan memberikan donasi. Kalaupun pengamen membawakan lagu tersebut, tentunya
tidak akan sempurna, hal tersebut tentunya berpotensi membuat pengamen malu
dihadapan khalayak ramai.
Setelah ngamen di Pasar Petisah, kami berjalan kaki
menyusuri Jalan Gatot Subroto dengan nuansa ruko-ruko yang berbaris rapi
menghiasi tepiannya. Di sini merupakan kawasan pusat perbelanjaan, dimana pasar
tradisonal dan pasar modern di persandingkan. Destinasi kami selanjutnya adalah
kafe-kafe yang ada di seberang Plza Medan Fair, menu makanannya bermacam-macam,
mulai dari nasi goreng, mie ayam, bakso, mie sop, sate padang, soto medan,
hingga ayam penyet. Kalau minumnya juga bervariasi mulai dari aneka jus, mandi (julukan untuk teh MANis Dingin),
hingga minuman bersoda, silahkan pesan sendiri, aku hanya menawarkan, kalau
sudah makan jangan lupa bayar di kasir, loh... kenapa aku seperti pelayan kafe.
Kami bukanlah pengamen pertama yang menjajalkan suara di
sini, tentu sama dengan kafe yang sudah kami ngameni sebelumnya, disini
merupakan sasaran empuk beberpa pengamen di Kota Medan, dan disini juga sudah
ada pengamen yang biasanya ngetem disini, namun sejauh ini kami tidak pernah
ada konflik dengan mereka, sebab sejauh ini kami juga sopan kepada mereka, dan
beberapa dari mereka juga sudah aku kenal, namanya juga teman satu profesi,
kalau pengamen bilang “sama-sama cari makan”.
Perkenalan denga beberapa pengamen lain di Kota Medan di memiliki
berbagai cerita. Sebenarnya bukan hanya Pak Jokowi yang suka belusukan, kami
para pengamen juga suka belusukan, pengamen-pengamen di Medan yang biasanya
mangkal di lampu merah tempat mereka menjajalkan suara juga suka melakukan
belusukan ke lampu-lampu merah lain yang juga dihuni oleh para pengamen lain.
Tujuan kami melakukan hal seperti itu bervariasi, mulai dari ingin menambah
kenalan sesama pengamen, ingin merasakan susana baru di tempat yang berbeda.
Ada juga karena pengawasan yang ketat dan aksi razia dari Polisi Pamongpraja,
sehingga membuat para pengamen mengungsi untuk sementara. Namun tidak jarang
terjadi keresahan dan konflik perasaan anatar pengamen yang bersatatus sebagai
“tuan rumah” dengan pengamen pendatang. Aku ingat pepatah yang mengatakan
“dimana bumi dipijak, disitu langit di junjuung”, artinya kita harus
pandai-pandai menyesuaikan diri dan masuk kelingkungan yang sedang kita
kunjungi.
Selama aku jadi pengamen di Patimpus, kami anak-anak
pengamen Patimpus welcome-welcome saja terhadap pengamen luar yang datang ke
Simpang Patimpus, asalkan cara mereka datang dengan baik, seperti permisi
kepada kami dan mau ngobrol dengan kami, karena setiap lampu merah memiliki
peradaban yang berbeda-beda, kalau salah masuk bisa-bisa menimbulkan konflik.
Pernah beberapa pengamen luar datang ke Patimpus dengan cara yang sopan, namun
pernah juga beberapa pengamen datang dengan cara yang tidak sopan, mereka
datang tanpa permisi, tidak melakukan pendekatan dengan kami, mengameni angkot
dengan sesukanya tanpa memperhatikan pengamen “tuan rumah”, biasanya pengamen
senior di patimpus akan menegur mereka dan kalau ditegur tidak berubah juga
mereka di dideportase!
Beberapa pengamen di sini ada yang aku kenal, aku lupa
namanya, namun ciri khas yang aku ingat darinya,dia merupakan pengamen yang
bias mangkal di Simpang Brimob/Simpang R.S. Siti Hajar di daerah Padang Bulan,
dia menggunakan gitar berwarna putih, dia suka membawakan lagu Firman Idol “...
sesungguhnya... ku tak bisa... hidup tanpa ada kamu... aku gila... takkan ku
sia-siakan kamu lagi...” dengan suara yang khas menyerupai penyanyi aslinya.
Selain perkenalan di lampu merah, perkenalan sesama pengamen juga terjalin saat
sedang ngamen di beberapa kafe yang ada di Medan.
Sesama pengamen yang saling kenal dan memiliki hubungan
baik biasanya kami saling konfirmasi bila ada warung makan yang sudah
dingameni, tujuannya agar ada jeda antara pengamen yang sebelumnya dengan
pengamen selanjutnya, pengunjung kafe juga bosan dan kesal bila terus-terusan
ada pengamen yang mengahmpiri mereka, idealnya 30 hingga 60 menit, hal tersebut
memungkinkan adanya pergantian pengunjung di sebuah kafe. Intinya kembali
kepada si pengamen, apakah dia nekat dan ikhlas mengameni sebuah kafe yang
sudah dingameni pengamen lain atau tidak.
Kami pengamen memiliki kelebihan yang diberikan Tuhan
dimana kami bisa menerawang apakah suatu kafe sudah dingameni orang lain atau
belum, jangan kira di depan kafe ada papan yang digantung dengan tulisan “maaf
kafe ini sudah dingameni, silahkan tunggu dalam satu jam kedepan”, kami bisa
membaca masa lalu meskipun hanya beberapa menit. Biasanya petugas kafe atau
rumah makan yang akrab dengan kami mengatakan bila ada pengamen sudah tampil
sebelumnya, itu merupkan kode bagi kami agar memberi jeda terlebih dahulu,
namun ada juga tugas kafe yang tidak melakukan konfirmasi akan hal tersebut dan
menganggap itu tidak penting. bila petugas kafe lupa memberitahu akan hal
tersebut dan kami lupa menanyakan juga, kami tetap bisa tahu apakah kafe
tersebut sudah dingameni atau belum. Cukup gampang! Lihat saja! Bila suatu kafe
yang ramai pengunjung kamu ngameni dengan suara emas murni, dengan penuh ekspresi,
serta mempersembahkan dua hingga tiga buah lagu yang tengah populer dan
digemari banyak orang, namun pada saat pengutipan uang tidak ada satupun meja
yang memberikan saweran, itu artinya kafe tersebut baru saja dingameni orang
lain, mohon bersabar... ini ujian... silahkan coba lagi di lain kesempatan.
Pengamen bukanlah robot, kami juga manusia yang sekitar
70% kandungan tubuhnya adalah air, apalagi nyanyi dari satu kafe ke kafe lain
dengan berjalan kaki tentunya memuat kami berkeringat dan haus.
“istirahat dulu kita ya bro” ucapku kepada Fuad sambil
mengajaknya berjalan ke halte bus.
“ok bro...”
“gimana? Capek bro?” Ucapku sambil mengambil botol
tupperware berwarna orange dengan kapasitas 500 ml dari dalam ranselku.
“enggak bro... aman...”
“alhamdulillah...nih minum bro... ” ucapku sambil
memberikan botol minum kepada Fuad.
Aku melihat jam di tangan, ternyata adzan ashar sudah
berkumandang sejak beberapa menit yang lalu. bila tidak jeli hirup-pikuk
aktifitas pasar, banyak orang yang lalu-lalang, deru mesin mobil yang tengah
lalu lalang, serta teriakan klakson mobil yang saling bersahutan mampu
mengkamuflasekan suara adzan untuk sampai ke telinga.
“kita shalat ashar dulu ya bro” ajak ku kepada Fuad.
“ayoklah bro, shalat dimana kita?”
“disitu ajalah” jawabku kepada Fuad sambil menunjuk ke
arah masjid yang menaranya tampak dari sini.
Kami menyebrangi Jalan Jendral Gatot Subroto, kami
berjalan menuju masjid yang tidak jauh dari Plaza Medan Fair, lebih tepatnya
lagi di sebuah jalan yang baru dibuka tiga tahun lalu.
“siapa yang duluan shalat bro?” tanyaku kepada Fuad
setelah tiba di Masjid.
“kau ajalah bro... aku disini jaga gitar dan tas”
“oke bro... mau titip doa apa?”
“hahaha... doakan aja kita dapat uang yang banyak ntuk ke
Sabang”
“hahaha... siap laksanakan”
Setelah menunaikan shalat ashar di Masji Al-Yasamin, kami
kembali menuju Jalan Jendral Gotot Subroto, kearah simpang empat yang
menghubungkan jalan ini (jalan iskandar muda baru), jalan jendral Gatot
Subroto, dengan jalan Iskandar Muda.
“bro kita ngamen sekali lagi ya disekitar sini” saranku
kepada Fuad.
“boleh bro... kemana lagi kita?”
“ke Bakso Simas... di samping Meplaz (Medan Plaza)”
“aku ikut kau aja bro”
Kami berhenti di tepi jalan yang dekat dengan lampu lalu
lintas, sembari menunggu mobil-mobil berhenti melaju. Lampu merah menyala,
mobil-mobil berhenti seketika, lalu kami menyebrangi jalan tepat di atas zebracross sambil menenteng gitar,
sayangnya kami tidak sempat berfoto seperti gaya personil The Beatles yang
tengah berjalan satu baris di atas zebracross.
Seketika mataku tertuju kepada mobil pickup yang baru saja berhenti.
“bro kita lanjut jalan aja ya, biar gak kelamaan disini”
“yasudah gapapa bro”
“kebetulan tuh ada pickup kosong yang lagi berhenti”
“bentar ya bro” ucapku kepada Fuad sambil mengahmpiri
pickup tersebut.
“permisi pak, bisa numpang sampai kampung lalang pak?”
ucapku dengan nada memohon kepada pak supir. Kampung lalang merupakan nama
tempat yang menjadi perbatasan antar kota medan dengan kabupaten deli serdang
di arah barat.
“aku gak lewat sana, aku ntar belok di simpang Sei
Kambing” ucap bapak tersebut. Simpang sei sikambing merupakan salah satu persimpangan
sebelum kampung lalang, kurang lebih 2 km lagi dari sini, dengan universitas
panca budi.
“yasudah
pak... sampai situ aja tidak apa-apa”
“yasudah
naiklah...” bapak tersebut mempersilahkan.
“bro...ayo
naik” teriakku kepada Fuad yang masih setia berdiri di atas trotoar.
Lalu Fuad berlari kecil dengan penuh kebahagian dari
tempatnya menuju pickup sambil menenteng gitar, aku sambut gitarnya, kemudian
ia naik ke atas pickup. Lampu hijau mulai menyala, mobil-mobil termasuk pickup
yang kami naiki mulai berlomba-lomba untuk tancap gas layaknya peserta acara
balapan di sirkuit yang sudah diberi aba-aba untuk melaju. Ini merupakan
kendaraan pertama yang memberikan kami tumpangan. duduk di atas pickup yang
beratapkan langit membuat angin dengan leluasa meraba-raba rambutku yang lebih
panjang dari rambut Fuad.
“alhamdulillah ya bro... akhirnya kita dapat tumpangan
juga”
“iya bro...”
“ntar pas di simpang sei kambing kita ngamen aja lagi
sambil nyetop tumpangan”
“oke bro...”
Alhamdulillah, setelah lima menit berlalu pak supir
memberhentikan laju pickup, kami diberhentikan di depan Universitas Panca Budi.
Setelah pickup benar-benar berhenti, aku turun deluan dari pickup, aku sambut
gitar dari tangan pickup, kemudian Fuad juga turun. Kemudian kami menhampiri
bapak tersebut.
“makasi banyak ya pak” ucap kami secara serentak kepada
bapak tersebut.
“iya... sama-sama” jawab bapak tersebut kepada kami.
Pickup melaju meninggalkan kami. Mataku tertuju ke arah
lampu lalu lintas, aku melihat ada seorang pengamen, lalu aku mengajak Fuad
untuk ke sana.
“bro kita ngamen disini bentar ya, sambil nunggu pickup
buat tumpangan”
“oke
bro...”
Kami
tiba di hadapan seorang pengamen yang baru saja menyelesaikan tugasnya yaitu
menghibur penumpang angkot.
“permisi
bang...” sapaku kepadanya. Aku tidak tahu dia lebih tua atau lebih muda dariku,
untuk itu aku memanggilnya abang. Sebenarnya panggilan “abang” di Medan
ditujukan untuk laki-laki yang lebih tua dari kita dan usianya tidak terlalu
jauh dari kita, kalau sudah jauh sudah bisa dipanggil “bapak”. Namun ada
kebiasaan di masyarakat memanggil “abang” kepada laki-laki yang belum kita
kenal dan belum diketahui namanya, panggilan “abang” ditujukan agar terasa
lebih akrab dan sopan bila dengan panggilan “adik”, karena kami tidak tahu apakah
usianya di atas kami atau di bawah kami. Bila kami panggil “adik”, sementara
dia merasa lebih tua kami atau dia memang benar lebih tua dari kami, bisa saja
menimbulkan anggapan dalam dirinya kalau kami tidak sopan, maka dari itu
panggilan “abang” dianggap sebagai suatu titik aman.
“iya
bang...” jawab pengamen tersebut.
“kami
ngamen bentar disini ya bang”
“dari
mana bang?”
“kami
pengamen dari patimpus bang... reza bang” jawabku sambil memperkenal diri
dengan menjabat tangannya.
“fuad
bang” fuad juga ikut memperkenalkan diri.
“kami
ngamen bentar aja disini bang, buat nyari ongkos hahaha” ucapku kepadanya.
“memang
kelen mau kemana?”
“mau ke
sabang bang”
“wuih
jauh kali... ngapain kelen kesana?”
“mau
ngamen sambil liburan bang hahaha”
“yaudah
ngamen lah kelen dulu... udah merah nih”
ucapnya untuk mempersilahkan kami ngamen. Merah
merupakan istilah untuk menyebutkan bahwa lampu merah sudah menyala.
“oke
bang... kami ngamen dulu ya” jawab kami kepadanya.
Kami
hanya ngamen untuk satu angkot di sini, saat lampu merah selanjutnya kami
melihat pickup kosong berhenti di hadapan kami, aku menghampirinya.
“Permisi
bang...” ucapku kepada pengendara pickup.
“ya
dek...” ia menjawab
“boleh
numpang sampai Kampung Lalang bang?” pintaku dengan nada memohon.
“oh
boleh dek... naiklah”
“makasi
ya bang”
“ayok
bro...” aku memanggil Fuad untuk naik ke pickup.
“kami
deluan ya bang” ucapku kepada pengamen disini.
“oke-oke...
hati-hati kelen ya...”
Angkot
melaju membawa kami menuju Kampung Lalang, jaarak dari sini ke kampung lalang
sekitar 4,5 km, dari sini kami harus melewati dua kali simpang lampu merah,
yang pertama lampu merah simpang Pondok Kelapa, disini juga ada komunitas
pengamen, aku tidak pernah ngamen disini, namun wilayah sini menjadi bascamp
ngamen anak-anak punk. Yang kedua itu merupakan lampu merah kampung lalang,
disitu juga ada pengamennya, salah satu pengamen yang aku kenal adalah si
Aseng, dia sering mampir ke Patimpus, aku tidak tahu Aseng nama aslinya atau
tidak, mungkin karena dia peranakan tionghoa. sepengetahuanku dia tidak
tergabung dalam komunitas punk, namun dia selalu berpenampilan seperti style
anak punk, dia mengenakan piercing, dan dia pernah juga menghiasi rambutnya
dengan warna kuning, dia ngamen menggunakan ukulele, terkadang ia juga ngamen
hanya menggunakan shaker, biasanya pengamen menjadikan botol Yakult sebagai
bahan pembuat shaker, botol yakult yang sudah habis isinya dimasukkan beras
atau kacang hijau, kemudian ujung botol ditutup dengan plastik lalau diikat
dengan karet gelang. Peangamen itu benar-benar kreatif kan? Serta benar-benar
menerapkan konsep reuse, menggunakan
kembali barang-barang bekas untuk dimanfaatkan menjadi barang yang bermanfaat.
Menurutku perusahaan yakult sudah sepatutnya berterimaksih kepada para
pengamen, sebab sudah membantu mereuse
limbah padat produk mereka serta mempromosikan produk mereka kepada pengguna
jalan. Bersambung...
Komentar
Posting Komentar