EKSPEDISI LINGKAR TOBA

EKSPEDISI LINGKAR TOBA
Oleh : Hakim Syah Reza Lubis

Rabu, 1 Januari 2014          
Malam ini dua siswaku tidur di rumahku, sebab besok kami akan berpetualang dalam rangka mengelilingi Danau Toba. Syukurnya hanya dua siswa yang tidur dirumahku, kalau seratus siswa, rumahku akan beralihfungsi menjadi camp pengungsian.
Ini merupakan pertama kalinya siswaku tidur di rumahku, semenjak lima tahun terakhir, tidak ada satupun siswaku yang tidur dirumahku, karena memang baru mereka berdua dan siswa-siswa lain di sekolah mereka yang menganggapku sebagai guru, maklum masih calon sarjana pendidikan yang saat itu sedang melangsungkan praktek pengajaran lapangan, atau secara akademis diringkas menjadi PPL.
Siswaku yang pertama bernama Ridho, dia masih duduk di kelas XI IPA. Siswaku yang kedua bernama Wahyu, dia masih duduk di kelas X IPS. Mereka berdua  merupakan siswaku saat aku masih mengajar di SMA Nusantara, Lubuk Pakam.

Kamis, 2 Januari 2014
            Mentari sudah mengintip dari ufuk timur, waktunya bergegas menuju stasiun. Pukul 8.00 WIB kami berangkat dari rumah, dan tiba di Stasiun Simpang Kuala pukul 8.30 WIB. Sekitar pukul 9.00 WIB bus pun berangkat menuju Kabanjahe. Seru kali rasanya ketika kami berada di atas bus menatap hijaunya perbukitan dan terkadang harus bersembunyi di balik terpal jika melewati kantor polisi.
            Setelah 2 jam di perjalanan, kami pun tiba di Stasiun Kabanjahe pukul 11.00 WIB. Wew! Saatnya memulai petualangan dengan menumpangi pickup yang lewat. Pukul 11.30 WIB kami menumpangi pickup menuju Merek melewati Tiga Panah. Udah dikasi tumpangan dikasih jeruk lagi sama bibik yang ada di samping supir. Pukul 12.30 kami tiba di Simpang Merek, Bujur pak, bik, sudah kasih kami tumpangan.
            Dari Simpang Merek kami berjalan menuju SPBU merek, untuk menumpangi pickup yang sedang ngisi minyak disitu menuju Sumbul. Tapi pickup disitu gak ada yang ngasi tumpangan, karena gak ada yang arah ke Sumbul. Akhirnya kami melanjutkan jalan kaki sampai dapat rumah makan padang. Kami beli nasi 2 bungkus untuk 3 orang dan makannya di luar rumah makan, lesehan di lantai gitu la. Ibu yang punya rumah makan ngajak kami makan di dalam, tapi memang kami pengennya disini. Terus, entah kenapa, tiba-tiba abang yang punya rumah makan ngasi kami tambahan sayur dan kuah, mungkin dia kasihan lihat gembel-gembel kek kami nih. Tapi sayur dan kuahnya kami bungkus saja buat nanti malam. Hahaha...hemat kali!
            Setelah shalat zuhur kami melanjutkan perjalanan dengan perjalanan dengan berjalan kaki, sambil menunggu pickup yang lewat. Alhamdulillah kami dapat tumpangan pickup nih, ya lumayanlah meskipun Cuma sampai simpang pertibi. Kemudian kami lanjut jalan kaki dan berhenti di depan rumah makan sambil nunggu pickup.
Wow! Kami dapat pickup lagi, pickupnya bekas ngangkut durian, karena ada kulit durian yang menumpuk. Oh ia! nama abang ini Bang Frangky, dia memang  biasa tiap hari Medan – Sidikalang – Medan, ngangkut durian dari Sidikalang untuk dijual di Medan. Jadi, abang ini di Medan jualannya dekat Pajak Pinang Baris.
Pantas abang nih hafal kali dengan tekongan maut yang kami lewati, secara setiap hari ngelewati jalan ini. Siapa yang gak tau tekongan maut menuju Sidikalang, sebelah kanan tebing-tebing terjal dan kiri jurang-jurang suram yang terkadang gak ada pembatas jalannya, hahaha... bisa-bisa kalau gak joki mobil kami bisa meluncur ke jurang. Dari abang ini lah aku tahu kalau suplay durian terbaik Medan itu dari Sidikalang, dibanding Bukit Lawang (Kabupaten Langkat), Bangun Purba (Deli Serdang). Beruntung kali kami dapat tumpangan panjang, karena abang nih mau ke Sidikalang. Tapi kami berhenti di Air Terjun Lao Pandaroh, Sitinjo, 16.00 WIB. Makasi ya bang sudah ngasi kami tumpangan.
Dari Air Terjun Lao Pandaroh kami lanjut jalan kaki sambil nunggu tumpangan (lumayan nanjak juga), tiba-tiba ada angkot yang lewat, hehehe...kami pun naik angkot, wuih jalan yang dilalui tanjakan yang berbentuk zigzag. Gak terasa sampai simpang Taman Iman. Kami mengira ongkosnya Rp. 3.000/ orang, ternyata Rp. 5.000/ orang. Histeris juga kami, padahal dekat pun.
Aku pun memohon kepada bapak tersebut “ 10.000 saja ya pak, kami ini anak camping”.
“Hahaha...selalu saja menjual nama anak camping, syukurlah bapak itu mau”.
Lanjut lagi berjalankaki menuju Taman Iman dengan tanjakan yang memanjakan kaki, Hahaha... . Ternyata kata orang-orang yang lewat jauh juga ke dalam. Ehhh... rupanya ada angkot kosong yang lewat.
“bang numpang ya” kami bilang.
Alhamdulillah abang tersebut pun mau.
 “Hore!!!”.
Waktu tiba di pintu retribusi, untunglah abang tuh nolongi kami, keknya dia kenal sama petugasnya. Abang tuh ngomong dengan bahasa batak pakpak, aku pun kurang tau itu apa, tapi intinya abang tuh bilang “orang tuh orang sidikalangnya”. Alhamdulillah kami gak bayar masuknya, “makasi ya bang, abang baik deh...”. Akhirnya kami sampai di lokasi taman iman. By the way buat yang belum tahu, aku mau kasih tahu, kalau taman iman itu merupakan tempat wisata rohani yang di dalamnya ada tempat ibadah lima agama yang ada di Indonesia beserta perangkat-perangkatnya.karena kami diturunkan di taman yang ada patung-patung dan bangunan kristennya, jadi kami harus mencari mesjid untuk shalat ashar. Ternyata jalan menuju mesjid lumayan jauh la, jadi kami numpang pickup yang lewat sampai ke mesjid taman iman.
Setelah shalat ashar ternyata hujan turun, kami pun memilih berteduh di mesjid tersebut. Sampai magrib tiba hujan belum juga reda, dan adzan pun gak ada. Aku pun nge-sms Mashuri, kenalan di mesjid waktu shalat ashar tadi, “kok gak ada yang adzan ni... kami adzan aja ya” ku bilang, dia pun bilang “adzan aja... sudah masuk waktu”. Akhirnya kami pun checksound dan aku pun mengumandangkan adzan di mesjid tersebut, kemudian aku menjadi imam, dua muridku menjadi makmum serta satu orang penduduk yang kebetulan lewat mesjid tersebut.
Ketika masuk waktu isha, aku menyuruh muridku Ridho untuk adzan, kemudian kami bertiga shalat, aku jadi imam. Kebetulan mesjidnya dekat dengan rumah penjaga taman iman, jadi pas dia lewat sedang naik kereta sama anak dan istrinya, kami pun minta izin untuk tidur di mesjid. Namun respon bapak itu keknya kurang baik untuk ngizini kami bermalam disini, karena katanya “ini punya Pemkab Dairi, kami Cuma jaga disini, gak berhak ngasi izin”. Keknya dia takut ada yang hilang peralatan di mesjid, tapi kami yakini dia kalau kami gak mencuri dan Cuma numpang tidur sampe besok pagi. Dia pun berlalu begitu saja, dan aku tak perduli, karena ini mesjid hak untuk musafir seperti kami, hehehe...

Jum’at, 3 Januari 2013
            Menjelang subuh mataku pun terbangun dari tidur yang diselimuti dinginnya cuaca Sidikalang, karena tempat tersebut termasuk dataran tertinggi di Sumatera Utara. Aku pun membangunkan kedua muridku untuk shalat subuh. Aku menyuruh Ridho adzan dan kami pun shalat subuh berjama’ah bertiga. Hugh... pokoknya kami serasa Remaja Mesjid dadakan lah, hehehe...
            Pukul enam lewat kami melanjutkan jalan kaki menuju simpang danau sicike-cike, sambil bertanya-tanya kepada penduduk lokal. Dari simpang pamplet danau sicike-cike kami pun numpang pickup sampai simpang tiga yang belokannya ke kanan. Disitu ada kede kopi tempat tongkrongan Pak Kades (Marga Hombing). Kebetulan aku kenal karena udah pernah kesini bareng teman dari Geografi. Jadi bapak itu bareng temannya ngantari kami naik kereta sampai gapura TWA Sicikecike, Wuigh... makasi kali lah pak. Dari gapura kami berjalan sekitar setengah jam melewati kebun kopi penduduk, setelah memasuki pintu rimba barulah kami melewati hutan dengan jalur track yang merupakan tanah gambut. Sekitar pukul 9.30 kami tiba di Danau Sicikecike. Danau Sicikecike merupakan danau tempat nenek moyangnya marga capah, menurut legenda setempat. Di tempat ini terdapat tiga danau yang berjauhan jarak. Ini merupakan danau pertama, sedangkan untuk mendapatkan danau kedua dan ketiga kita harus berjalan menyusuri hutan lagi, sumber pak kades. Didalam sana juga terdapat air terjun Sicikecike. Dinamakan Danau Sicikecike karena di sekeliling danau banyak ditumbuhi tanaman Sicikecike, bentuknya seperti lidi-lidi panjang berwarna hijau. Karena merupakan TWA, di tepi danau banyak kita temukan kantung semar. Selain itu TWA Sicikecike juga memiliki warisan kekayaan anggrek Indonesia. Ada musim tertentu dimana anggrek-anggrek bermekaran, dan di danau juga pada musim tertentu banyak ditemui burung belibis. Memang betul-betul kaya akan keanekaragaman hayati nih tempat.
            Setelah makan pagi di pondok bertingkat yang ada di tepi danau, kami pun bergegas meninggalkan danau. Di perjalanan kami pamit sama pak kades. Setelah itu kami minum teh di kedai kopi tempat kami nitip tas dan carrier. Kemudian kami pun pamit sama pemuda-pemuda yang ada disitu. Ketika berjalan kami melihat pickup, alhasil kami pun numpang sampai ke simpang pintu keluar Danau Sicikecike menuju jalan lintas Sitinjo. Wuigh...kami kembali melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, hingga akhirnya sekitar pukul 13.00 WIB kami menumpangi pickup tuak, yang tuaknya siap di ecerkan ke lopo-lopo tuak di sepanjang jalan menuju perbatasan Kabupaten Dairi dengan Kabupaten Toba Samosir. Gila man...kalau gak tahan, bisa pening ngirup aromanya, seperti siswaku si Wahyu, hehehe... kami pun singgah-singgah ke lopo-lopo tuak yang sudah mesan tuak mereka, gak terhitung berapa banyak lopo tuak yang sudah kami singgahi. Yang jelas antaran abang tersebut habis di perbatasan Kabupaten Dairi, nah disitulah kami turun dan melanjutkan berjalan kaki, makasi kali lah abang, hehehe... sampai kami berhenti di sebuah jembatan dengan warna kuning hitam untuk istirahat sambil nunggu pickup.
            Tidak beberapa lama, kami pun ngeliat pickup lewat, padahal lagi asik-asiknya ngerapiin dompet yang ada kantong semar mungilnya. Kami pun bergesa-gesa nyetop tumpangan. Ternyata abang itu berhenti dan ngasi kami numpang. Wah!!! Pickup yang kami naiki merupakan pickup pengangkut ayam, tapi ayamnya gak ada. Di pickup tuh tersusun penuh kandang ayam dari plastik yang banyak tumpukan kotoran ayamnya. Seru kalilah pokoknya, namanya juga numpang. Terpaksa kami harus menutupi hidung kami dengan syal, kalau gak, kecium aroma yang semerbak baunya. Jalan yang kami lewatipun berkelok-kelok dengan kecepatan mobil yang cukup kencang, gak ada pegangan selain tepian pickup yang harus dipegang kuat, kalau gak bisa terpental badan ini keluar pickup.
            Alhamdulillah sampai juga di simpang Tele, 16.00 WIB, kami pun turun disitu, makasi banyak ya bang. Tele merupakan jalur darat yang terhubung ke Pulau Samosir melalui jembatan yang membentang ke panguguran. Tapi aku tersadar ketika turun dari pickup dompetku sudah tidak ada di kantong. Aku pun mencari-cari di sekelilingku, tapi gak ada juga. Aku berpikir dan mencoba mengingat sejenak, sepertinya dompetku jatuh di jembatan ketika menyetop pickup, karena disitu kami tergesa-gesa, bisa aja dompetku gak masuk ke kantong. Isinya lumayanlah uang Rp.170.000,- beserta kartu perpustakaan dan KTP. Disinilah aku harus menerpakan ilmu ikhlas yang selama ini ku ajarkan kepada anggota LAPAN (Laskar Pecinta Alam Nusantara).
            Wagh ngeri kali kabut di Tele ini, macam di puncak gunung aja. Bayangin aja jarak pandang sekitar 30 m, tapi terkadang kabutnya hilang terbawa angin. Kami berdiri di tepi jembatan simpang tele sambil nunggu pickup, wuih banyak juga monyet di dekat jembatan nih, karena banyak pepohonan. Kemudian aku lihat ke bawah jembatan, tebing sungai dipenuhi sampah-sampah nonorganik, terutama itu produk mie cepat seduh yang dikemas di dalam cup, sudah tau lah apa itu. Sudah banyak juga pickup yang lewat, tapi belum ada yang ngasi kami tumpangan. Akhirnya kami makan dulu lah, laper kali keknya, kami beli nasi dengan harga Rp.10.000,- pakai telur, dua bungkus untuk bertiga. Kami pun makan di pos yang ada di dekat jembatan. Setelah makan barulah terang pandangan kami, barulah nampak dunia ini, hahaha... kami lanjutkan lagi nyetop pickup, udah pukul 18.00 WIB tapi kami belum dapat pickup juga. Sudah hampir putus asa juga buat melanjutkan perjalanan ke Dolok Sanggul, karena hari sudah mulai gelap, jadi sudah mendapatkan tumpangan kalau sudah malam. Akhirnya aku dan Wahyu berjalan sebentar ke belakang pos, mencari tempat yang cocok untuk mendirikan tenda, kalau saja tidak ada pickup yang lewat lagi.
Tiba – tiba Ridho bertertiak “Pak... Pak...”.
Aku dan Wahyu pun langsung menghampirinya, alhamdulillah... ternyata kami dapat tumpangan, terimkasih ya Allah. Aku tidak menyangka kami akan mendapatkan pickup lagi, dan tujuannya ternyata ke Dolok Sanggul, Hore!!!
“wuih... sampe juga kami ke dolok sanggul”, ucapku dalam hati, sambil menatap lebatnya hutan di balik kegelapan malam.
Jalan yang dilalui cukup sempit dan berkelok-kelok, memiliki banyak jurang dan tebing di kedua sisinya. Terkadang kami melewati pemukiman yang ditandai dengan nyala lampu dari sertiap rumah, tidak beberapa lama kami melewati hutan, banyak pohon pinus dan pohon ekaliptus, kemudian kami melewati pemukiman kembali, begitulah berulang-ulang.
Pickup yang kami naiki bukan jenis yang lebar, melainkan yang sempit, muatan barangnya kira-kira 1,5 x 1,5, termasuk pickup lama berukuran kecil yang sering dibawa orang di dataran tinggi untuk ke kebun. Disitu bukan Cuma ada kami bertiga, tapi ada seorang bapak, usianya sekitar 45 tahun lebih, dengan ponakannya yang sedang tidur dibalik selimut. Coba bayangkan! Betapa sempitnnya, tapi kami senang-senang saja, karena sudah dikasi tumpangan. Kami banyak ngobrol dengan beliau, sekalian pendekatan.
“darimananya kalian ini?” tanya bapak tersebut dengan dialeg batak kepada kami.
“dari Medan pak” jawabku.
“bukan pelarian kalian kan?”
“maksudnya pelarian pak”
“iya... siapa tahu kalian baru habis bunuh orang”
“enggaklah pak... saya ini mahasiswa pak, mereka berdua siswa saya pak” jawabku dengan ekspresi terkejut karena dikira pelarian.
Beliau mengetahui nama-nama desa yang kami lewati selama di perjalanan, beliau juga menceritakan sekilas tentang hutan ekaliptus yang berjajar di sepanjang jalan.
Beliau mengatakan “ itu merupakan milik PT. Toba Plup Lestari yang berada di Porsea”
“jauh juga mereka membuka lahan hingga kemari”, ucapku kepada beliau.
Alhamdulillah, tidak terasa kami sudah tiba dolo sanggul, waktu menunjukkan pukul delapan malam. Baru juga kami menginjakkan kaki disini, namun gerimis sudah menyambut kedatangan kami.
“terimakasih banyak pak... sampai jumpak lagi pak”, kami ucapkan kepada bapak tersebut.
Kami berteduh di sebuah salon yang sudah berbenah-benah untuk tutup, tidak jauh dari simpang empat Dolok Sanggul. Setelah hujan reda, kami pun melanjutkan perjalanan dengan becak mesin ke simpang Bakkara dengan ongkos sebesar sepuluh ribu rupiah. Tujuan kami malam ini ke Bakkara, tempat kakaknya Ridho, bukan kakak kandung sih, tapi sudah seperti saudaranya. Setelah sepuluh menit di perjalanan, kami pun tiba di simpang bakkara.
Ridho menghubungi kakanya mealalui telepon seluler, memberitahukan kalau kami sudah di simpang Bakkara. Sudah jam sembilan malam, sepertinya sudah tidak ada lagi transportasi umum untuk kesana. Ternyata eh ternyata, kakanya Ridho mencarter mobil untuk menjemput kami. Wuih senang sekali rasanya, kami menunggu kedatangan mobil tersebut di sebuah warung kopi dekat simpang Bakkara.
Sekitar pukul setengah sepuluh jemputan kami pun datang, alhamdulillah. Dengan mobil L300 tersebut kami pun turun menuju Bakkara, jalan dari Dolok Sanggul ke Bakkara merupakan turunan yang berkelok-kelok, sebab bakkara terletak di tepian danau toba. Dolok Sanggul lebih tinggi daripada Bakkara, makanya Dolok Sanggul dingin, brrr...
Selama perjalanan kami tertidur di mobil, gak nyangka sudah sampai saja di rumah kakanya Ridho, nama beliau adalah Yuyun, waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Begitu turun dari mobil, kami langsung menyalam kak Yuyun, kemudian kami diajak masuk kerumahnya. Alahmdulillah, sepertinya malam ini kami tidur cantik.
Kami disuguhi teh manis panas, bukan teh hangat, sebab dinginnya cuaca disini. Setelah menikmati teh sambil berbincang-bincang, kami pun langsung tidur. Aku tidur di ruang tamu, di atas tilam, sementara Ridho dan Wahyu tidur di kamar. Aku merasa kedinginan, syukurnya aku diberikan selimut oleh kak Yuyun. Sebenarnya kak Yuyun sudah mempersilahkan aku untuk tidur di kamar, mungkin aku lelah, awalnya hanya berniat untuk berbaring sejenak, namun secara perlahan dan tanpa sadar aku pun terbang ke alam mimpi. Good night...

Sabtu, 4 Januari 2014
            Pagi Bakkara! Ini kali pertama aku menghirup udaramu yang sangat segar dan cerah. Saat aku menatap ke luar jendela, dari rumah yang terbuat dari kayu ini, aku menyaksikan hamparan bukit hijau yang mengelilingi tempat ini, serta rindangnya pepohonan yang menambah keasrian di sini. Air disini terasa dingin, tapi harus tetap mandi, biar tubuh terasa segar. Coba bayangkan! Airnya seperti dari kulkas.
            Selesai sarapan, kami langsung bergegas menuju mata air tiotio yang tidak jauh dari rumah kak Yuyun. Mata air tersebut diberi pembatas dinding beton, karena merupakan tempat pemandian penduduk setempat, yang disekat menjadi dua bagian. Kalau kita masuk ke dalam, kita akan disuguhkan kolam dengan air yang sangat jernih, dimana airnya berkeluaran dari dalam tanah.
            Setelah puas menikmati kejernihan dan kesegaran mata air tiotio, kami bergegas menuju Makam Sisingamangaraja, yang jalurnya melewati rumah kak Yuyun kembali. Aku masih tidak menyangka bisa berada di komplek pemakaman Sisingamangaraja. Aku sudah mengangumi sosok dan perjuangan raja batak tersebut sejak masih di sekolah dasar, akhirnya aku sampai juga di komplek pemakaman beliau.
            Di dalam komplek pemakaman tersebut terdapat makam Sisingamangaraja X dan XI, yang merupakan kakek dari Sisingamangaraja XII, tempat peribadatan aliran parmalim, termpat perkumpulan penganut parmalim, dan ada empat buah rumah bolon.
“yang kalian lihat ini adalah rumah bolon yang sudah di pugar” ucap bapak penjaga makam.
“kenapa dipugar pak? Tanyaku kepada beliau.
“karena pernah dibumihanguskan oleh pasukan Belanda”
“kapan mulai di pugar kembali pak?”
“sekitar tigapuluh tahun yang lalu”
            “memang kejam kau menir!” ucapku sambil menyaksikan kemegahan rumah bolon tersebut.
            Selanjutnya kami pergi menuju tugu perjuangan Bakkara, tugu tersebut dibangun di atas bukit, untuk mencapainyaa kami harus menaiki beberapa anak tangga. Dari puncak bukit, tempat dibangunnya tugu perjuangan Bakkara, kami bisa menatap hamparan rumah penduduk serta sawah hijau hingga kuning yang membentang luas. Berdasarkan hasil pengamatanku dari puncak sini, bakkara merupakan bentang alam kipas alluvial. Secara teori, kipas alluvial terbentuk karena adanya endapan tanah yang merupakan hasil pengikisan material dari bukit-bukit yang mengelilinginya.
                Ketika kami lagi asyik berfoto-foto ria, kami melihat kak Yuyun lewat naik motor bersama anaknya yang masih berusia sekitar empat tahun. Kami memanggilnya dari atas bukit, ternyata dia juga mencari kami, kami pun bergegas menghampirinya. Ternyata dia mau ngajak kami kami ke air terjun janji. Karena kesana lumayan jauh kalau ditempuh dengan berjalan kaki, jadi kak Yuyun meminjam sepeda motor temannya untuk kami.
            Kami kesana menggunakan dua sepeda motor, aku dan wahyu satu sepeda motor, sedangkan Ridho bersama Kak Yuyun dan anaknya. Wuih... tidak terasa! Sudah setengah harian kami menikmati keindahan yang disuguhkan Bakkara. Jalan yang kami lewati berupa jalanan sempit yang di sebelah kiri berupa lereng bukit, sedangkan sebelah kanannya berupa jurang yang yang memanjang ke Danau Toba.
            Di danau tersebut, aku melihat ada sebuah pulau kecil. Mungkin karena ukurannya yang kecil, jadi tidak masuk ke dalam peta sumatera utara.
            “kak... itu pulau apa namanya?” tanyaku sembari menunjuk ke arah yang ku maksud.
            “itu namanya pulau Simamora”
            “kenapa namanya itu ya? Apa yang nemu itu marga simamora?
            “hahaha... kaka juga kurang tahu dek”
            Air terjun janji bermuara ke danau toba. Air terjun tersebut memiliki dua aliran, yang pertama alirannya deras dan cukup tinggi, dan yang kedua alirannya pelan dengan melewati batuan yang bertingkat-tingkat.
            Wuih... banyaklah tempat-tempat yang menarik di Bakkara ini. Setelah puas kami pun makan-makan sejenak di sebuah warung yang tidak jauh dari air terjun janji. Cukup menarik! Untuk masuk air terjun ini tidak di pungut biaya, mungkin karena belum dikelola oleh dinas pariwisata.
Setelah itu kami kembali kerumah Kak Yuyun, namun kami tidak ikut masuk ke rumahnya. Kami lebih memilih berburu tempat-tempat menarik dengan satu motor saja. Kasihan juga nih motor, ditunggangi oleh tiga orang laki-laki, saat itu kami benar-benar tidak tahu dan tidak mau tahu, apakah sepeda motor yang kami tunggangi berjenis kelamin laki-laki atau perempuan. Karena dia kuat dan tegar, kami sepakat untuk menganggapnya adalah laki-laki.
Kami mencoba melewati jalan yang belum kami tahu, seolah-olah kami seperti orang yang kesasar. Kami bertanya kepada warga setempat kemana ujung jalan yang akan hendak kami lalui. Ternyata salah satu jalan yang kami coba tembus ke jalan yang sudah kami lalui sebelumnya ketika hendak ke air terjun janji.
Ternyata ada untungnya juga kami kesasar, kami jadi menemukan makam ibu Sisingamangaraja, yaitu seorang boru pasaribu. Disitu merupakan tempat beliau bersembunyi ketika dikejar Belanda, tempat menerima ilham, tempat menenun, dan tidak jauh dari situ ada mata air tempat beliau membasuh rambutnya.
Setelah itu kami kembali ke rumah Kak Yuyun. Kami makan, shalat, mandi, dan packing. Ketika kami mau berangkat dari rumah kak Yuyun, tiba-tiba hujan turun, sepertinya Bakkara tidak mengizinkan kami meninggalkannya. Setelah hujan reda, kami pamit kepada Kak Yuyun,alhamdulillah... ternyata kami... eh maksudku Ridho dikasi bantuan langsung tunai sebesar Rp. 50.000. apa yang kami lalui selama diperjalanan telah memupuk kebersamaan kami, sehingga kami merasa apa yang diberikan Kak Yuyun kepada Ridho itu juga milik kami, terlebih lagi semenjak dompetku raib, siswaku banyak membantuku secara finansial. Karena minim biaya kami harus berhemat, tapi harus tetap survive. Mauliatte Godang Kak Yuyun karena telah banyak membantu kami selama di Bakkara, selamat jalan...
Dari rumah Kak Yuyun kami berjalan menuju simpang tiga, yaitu pertemuan jalan kecil menuju rumah kak Yuyun dengan jalan utama Bakkara, untuk menumpang pickup. Sudah banyak pickup dan truck mini yang kami stop, tapi nasib baik belum berpihak kepada kami. Sementara hari mulai gelap, tiba-tiba gerimis kembali menghampiri kami, lalu kami berteduh di warung sambil membeli cemilan.
Setelah gerimis pergi, kami melanjutkan aksi untuk mendapatkan tumpangan, alhamdulillah kami dapat pickup yang tujuannya memang mau naik ke atas, yaitu daerah dolok sanggul. Wuih... dingin benar, malam-malam di atas pickup. Sepanjang perjalanan yang menanjak dan berkelok-kelok ini kami melihat banyak pepohonan yang bersembunyi di balik kegelapan malam, serta indahnya lampu-lampu yang menghiasi bakkara bila dilihat dari atas sini. Alhamdulillah, sekitar pukul 20.00 WIB kami tiba di simpang Bakkara-Dolok Sanggul. Terimakasih  banyak ya pak.
Mau numpang pickup, tapi tidak ada yang lewat, karena malam sudah semakin larut. Kebetulan ada angkot jelek, gadel, dan berkarat yang menawarkan kami trip hingga ke Sibrongborong dengan ongkos lima belas ribu rupiah, kemudian kami tawar menjadi sepuluh ribu rupiah, hingga akhirnya jatuh menjadi dua belas ribu rupiah, jika tidak terpaksa tentunya kami tidak akan naik, hahaha...
Akhirnya kami pun berangkat menuju Siborongborong, karena ngantuk dan lelah, aku menyempatkan waktu untuk tidur sejenak. Sekitar pukul sepuluh malam kami tiba di simpang tiga siborong-borong. Dari sini kami berencana untuk mencari pickup yang bisa dijadikan tumpangan ke Balige, namun keberuntungan tidak berpihak kepada kami, maklum saja, biasanya supir-supir enggan memberikan tumpangan, mungkin mereka takut membawa orang yang tidak dikenal.
Kami tidak menyangka, masih ada saja angkot jelek yang menawarkan rute perjalanan hingga ke Silangit. Angkotnya lumayan bagus bila dibandingkan dengan yang sebelumnya kami naiki. Tarif yang dikenakan ke kami sebesar lima ribu rupiah untuk setiap orangnya. Pemumpangnya hanya lima orang, yaitu kami bertiga dengan dua orang yang sepertinya sepasang kekasih yang masih berpacaran. Kami diturunkan bersamaan dengan kedua pasangan tersebut, pak supir mengatakan kalau dia hanya sampai sini, tepat di depan Pos Polisi Kehutanan Silangit. Karena tahu pendatang, abang dan kakak yang tersebut datang menghampiri kami.
“mau kemana kelen dek?” tanya abang tersebut.
“mau ngecamp ke balige bang” jawabku
“gak usahlah kalian ngecamp di sana, bahaya itu... ntar kelen diapa-apain penduduk, bagus kelen nginap di hotel lewat SPBU sana” ucap abang tersebut sambil menunjuk ke arah jalan menuju Balige.
“murahnya... Cuma enampuluh ribu per malam” tambah abang tersebut.
Memang benar harganya murah menurut abang tersbut, tapi enampuluh ribu berharga sekali buat kami dalam situasi dan kondisi seperti ini, kalau kami tidur di hotel, ternodailah kesucian perjalanan kami ini. Meskipun demikian, kami tetap menghargai kekhawatiran abang tersebut. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju SPBU yang dikatakan abang tersebut, dengan harapan bisa mendapat tumpangan ke balige dari mobil pickup yang sedang mengisi bahan bakar. Sungguh tidak disangka, tengah malam seperti ini kami masih terombang-ambing di jalan lintas siborongborong-balige. Kami berjalan melewati simpang bandar udara Silangit, tidak jauh dari simpang tersebut kami menemukan SPBU yang sejak tadi kami cari.
Alahamdulillah di SPBU tersebut ada mushollanya, kami pun segera melaksanakan shalat isa. Karena sudah lelah, sepertinya tidak mungkin untuk melanjutkan perjalanan, kami harus menyimpan tenaga untuk besok. Kami sepakat untuk tidur di musholla ini, waktu juga sudah menunjukkan pukul 00.15. cuaca disini dingin!
Minggu, 5 Januari 2014
            Selamat Pagi Silangit! Ketika aku membuka mata ternyata di musholla yang berukuran sekitar tiga kali dua meter ini sudah dipenuhi beberapa orang yang sedang menunaikan shalat subuh, ada juga ibu-ibu dengan anaknya, sepertinya mereka sedang beristirahat, maklum saja, suasana tahun baru banyak yang mudik. Aku pun langsung membangunkan kedua muridku, dan mengajak mereka shalat subuh. Seusai shalat kami pun packing, pukul enam pagi kami bergegas meninggalkan SPBU tersebut. Kami berdiri di depan SPBU sambil menunggu pickup yang lewat,sepertinya masih terlalu pagi, sehingga tidak ada yang lewat. Akhirnya kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki hingga mendapatkan tumpangan, karena diam itu membosankan. Kami berjalan mengikuti jalan ke arah Balige. Kami melewati perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dengan Kabupaten Toba Samosir, sekitar satu kilometer dari perbatasan tersebut ada kelokan tajam, disitulah kami menyetop pickup. Alhamdulillah kami dikasi naik, pickup tersebut membawa rambutan, kami katakan kalau kami menumpang hingga Balige.
            Jika kami tiba di Balige, aku berencana membawa siswaku ke sebuah teluk yang merupakan tepian dari Danau Toba yang ada pasir putihnya. Aku sedikit lupa persimpangan menuju tempat tersebut, sebab kami datang dari arah yang berlawanan. Sebelumnya aku pernah ke tempat tersebut dari arah Balige, dan itu merupakan kali pertama, saat aku dan teman-teman kuliahku mengerjakan tugas dari kampus, saat itu yang menuntun kami Benhart dan Yodi, mereka adalah teman kuliahku sekaligus putera daerah Balige.
            Sepanjang perjalanan aku mencoba memperhatikan dan mengingat simpang menuju pasir putih tersebut, namun apa daya, aku belum berhasil menemukannya. Tanpa terasa, pukul delapan pagi kami sudah tiba di Pasar Balige, kemudian kami berunding, apakah kami harus melanjutkan perjalanan ke Pakam atau ke Pasir Putih. Yang ada dibenakku saat ini bagaimana agar kami bisa tiba secepatnya di Pakam, sebab kedua muridku ini sudah masuk sekolah besok.
            Sebelumnya kami bertanya kepada abang pemilik pickup akan perjalanan mereka selanjutnya, ternyata mereka akan ke Kota Tebing, sungguh senang hati ini mendengarnya. Akhirnya kami sepakat untuk ikut hingga ke Tebing, kami tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini, karena track ini benar-benar jauh, gratis lagi!
            “Gak apa-apakan kalau kita singgah-singgah ngantar pesanan rambutan?” tanya abang pembawa pickup.
            “oh... gak apa-apa bang, kami ngikut aja” jawabku.
            Kami juga ikut menurunkan rambutan yang ada di keranjang. Kami ngantar ke belakang pasar balige, ternyata kami melewati rumah Yodi, teman sekelasku di jurusan Pendidikan Geografi Unimed. Aku berencana berteriak kalau aku melihat dia, tapi aku tidak melihat sosoknya. Kemudian kami melanjutkan perjalanan melewati Laguboti, di Silaen kami singgah di rumah yang menjadi langganan abang tersebut, kami turut menurunkan keranjang yang berisi rambutan serta membersihkan sampah-sampah yang ada di atas pickup. Benar-benar seru... banyak pelajaran dan pengalaman yang kami dapat, namun tidak bisa aku jabarkan semuanya. Kami melanjutkan perjalanan melewati Porsea, Lumbanjulu, dan Parapat. Selama di perjalanan Ridho dan Wahyu banyak tertidur, sementara aku lebih memilih menikmati panorama yang aku lihat selama di perjalanan.
            Pukul duabelas lewat tigapuluh menit kami tiba di Kota Siantar. Mobil pickup berhenti, karena abang-abang sopir mau makan siang di sebuah rumah makan. Sementara mereka makan siang, kami pun mencari roti untuk makan siang, kami harus berhemat! Setelah mereka makan siang, kami melanjutkan perjalanan, kota berikutnya adalah Tebing, tempat yang menajadi tujuan akhir pickup yang sedang kami naiki.
            Pukul 14.30 WIB kami tiba di Tebing. Kami diturunkan di sebuah taman kota yang ada patung salah seorang tokoh Taman Siswa. Syukurnya disini ada Musholla, Kami memutuskan untuk shalat zuhur terlebih dahulu. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan menuju kota selanjutnya, yaitu Kota Pakam, kota yang menjadi kediaman kedua siswaku.
Kami menaiki angkot warna hijau bertuliskan Rajawali dengan tujuan ke Medan. Suasana tahun baru membuat angkot penuh semua. Angkot pun melaju... tidak beberapa lama angkot berhenti karena ada orang yang hendak naik, bangku-bangku yang kosong satu persatu mulai terisi. Seorang wanita duduk di sampingku, setelah berbincang cukup lama dengannya, akhirnya aku tahu ternyata kakak ini anak Mapala (Mahasiswa Pencinta Alam) Unimed (Universitas Negeri Medan), aku pun mengatakan kepadanya kalau akua anak Geografi Unimed. Kusebutlah nama-nama teman sekelasku yang juga anak Mapala Unimed; Koplor (Beri), Miska (Galau), dan Mapak (Benhart), kakak ini mengenal mereka semua, secara adik tunasnya. Setelah aku menanyakan nama kakak ini, ternyata dia adalah sosok wanita Mapala yang namanya sering disebut-sebut Miska kalau kami lagi ngumpul, ternyata ini yang namanya Kak Selon. Selama angkot melaju kami banyak bercerita, tentang perjalananku, perjalanannya, dan seputaran tentang kampus Unimed.
Seketika... ridho yang posisi duduknya ada di depanku pun memanggil, dia memberitahu kepadaku, ternyata di dalam angkot ada siswa SMA Nusantara lain yang tengah bersama kami disini, dia merupakan siswa kelas XII IPS 2 SMA Nusantara. Kami menyapanya, setelah berbincang dengan jarak yang dibatasi oleh beberapa penumpang, ternyata dia bukan orang asli Pakam, dia asli Sei Rampah, dan hanya ngekos di Pakam.
Alhamdulillah, kami tiba juga di Lubuk Pakam pukul 17.30 WIB. Kami turun di SPBU yang tidak jauh dari terminal bus Lubuk Pakam, yaitu sebelum Kantor Bupati Deli Serdang. Sungguh kami tidak menyangka! Kami dikenakan ongkos 15.000/orang. Sepertinya ada yang aneh dengan bapak ini, dari tadi kami melihat setiap penumpang yang turun selalu berdebat dengannya, sebab dia menaikkan tarif dari hari biasanya, menurutku dia memanfaatkan suasana liburan tahun baru dengan maksimal, tanpa peduli ocehan dan omelan dari para penumpang. Yasudahlah, goodbye kak Selon... Nice to meet you... Lestari!
Kedua orang tua Ridho sudah lebih dulu tiba di SPBU tempat kami berhenti, mereka menunggu di mobil. Kami langsung mengahmpiri dan menyalam mereka. Huhhh... berakhir juga “Ekspedisi Lingkar Toba”nya. Kami beranjak ke rumah Ridho di Kecamatan Beringin, melewati Pakam, ke arah Panati Labu. Malam ini aku tidur di rumah Ridho, ini merupakan episode kedua aku tidur di rumahnya, so... aku balik ke Medan besok pagi. Ternyata badan ini terasa lelah setelah melalui perjalanan yang begitu panjang. This is time for rest! Seketika letihku hilang setelah melihat calon bidan-bidan kece yang ada yang sedang magang di rumah Ridho, ibu Ridho membuka praktik bidan di rumahnya. Awalnya mereka kira kalau aku adalah temannya Ridho, namun setelah mereka tahu kalau adalah gurunya Ridho, mereka mencoba untuk TPTP (tebar pesona tebar pesona).
Sumber: My diary book, 2014.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendakian Gunung Pusuk Buhit

PMR Madya dan Wira Sekolah Kallista Mengikuti Pelantikan PMR Se-Kota Batam Tahun 2017

Penyampai Pesan Kematian