Berkunjung ke Pulau Penyengat


Oleh: Hakim Syah Reza Lubis
Alhamdulillah, akhirnya hari ini (sabtu, 20 April 2019) aku dan istri diberi waktu dan kesempatan untuk pergi ke Pulau Penyengat, yaitu pulau yang di atasnya berdiri mesjid tertua di Kepuluan Riau dan beberpa bangunan peninggalan kerajaan riau-lingga. Sudah lama aku berencana untuk mengunjungi tersebut, masalahnya bukanlah pada waktu, namun lebih kepada teman yang akan di ajak kesana, sangat sulit mencari teman perjalanan untuk ke sana. Aku berencana kesana sebelum aku mengenal dan menikah dengan istriku. Teman yang aku maksud untuk ke pulau tersebut adalah teman yang sudah pergi ke sana atau setidaknya teman yang mengetahui seluk-beluk untuk mencapai pulau tersebut, bisa saja penduduk asli kepulauan riau atau pendatang yang sudah lama tinggal disini.
            Kami berangkat dari kediaman kami di perumahan bukit palem permai (Batam Kota) menuju Pelabuhan Telaga Punggur, kami memilih keberangkatan pukul 7.30 menuju pelabuhan Tanjung Pinang, waktu tempuh sekitar satu jam perjalanan. Setelah tiba, kami berjalan kaki menuju pelabuhan kecil yang menyediakan akses keberangkatan menuju pulau penyengat. Dari pelabuhan Tanjung Pinang terlihat jelas keberadaan Pulau Penyengat beserta Masjid Sultan Riau yang ada di atasnya.
            Sekitar pukul sembilan kami berangkat menuju Pulau Penyengat dengat kapal kecil yang di sebut pompong oleh masyarakat setempat, untuk sekali perjalanan di kenakan tarif tujuh ribu rupiah. Setelah lima belas menit melakukan perjalanan, kami tiba di pelabuhan Pulau Penyengat. Ketika tiba di pelabuhan kami di sambut oleh bait-bait pantun yang bergantungan di atap lorong pelabuhan, memang benar melayu dan pantun itu tidak bisa dipisahkan.
            Dari pelabuhan kami berjalan megikuti jalan aspal, tidak beberapa jauh kita akan menemukan gapura yang bertuliskan “ selamat datang di Pulau Penyengat”. Jalan aspal tersebut bila diikuti akan membawa kita kehadapan Masjid Sultan Riau, menurtuku ini benar-benar pintu masuk yang penuh berkah, karena setiap pengunjung yang baru menginjakkan kakinya di Pulau Penyengat akan disambut oleh megahnya Masjid yan sudah berdiri kokoh sejak ratusan tahun yang lalu.
            Untuk mencapai Masjid Sultan Riau kita harus menaiki anak tangga terlebih dahulu, warna bangunan mesjid tersebut di dominasi oleh warna kuning yang merupakan ciri khas dari peradaban melayu. Setelah menyelesaikan shalat dhuha aku mengamati interior dan benda-benda bersejarah yang ada di dalam mesjid. Mataku tertuju kepada Al-Qur’an yang berada di dalam sebuah kotak kaca, posisi Al-Qur’an tersebut dalam keadaan terbuka sehingga aku bisa melihat dengan jelas tulisan yang ada pada lembar kertasnya. Al-Qur’an tersebut merupakan goresan tinta salah seorang sultan dari pulau penyengat yang pernah menimba ilmu ke Mesir dan juga Al-Qur’an tertua di Kepulauan Riau, ukurannya tidak seperti Al-Qur’an pada umumnya, kira-kira lima kali lebih besar dari biasanya.
            Setelah itu aku menghampiri salah seorang pengurus mesjid yang tengah berbincang dengan beberapa pengunjung lain, beberapa pengunjung tersebut ada yang datang dari selat panjang dan malaysia. Bapak pengrus mesjid menceritakan sekilas mengenai keberadaan mesjid, makam-makam raja, bangunan tua peninggalan sultan, dan beberapa sumur tua yang ada di pulau penyengat. Berdasarkan penjelasan bapak tersebut, maksud dan tujuan orang berkunjung ke Pulau Penyengat berbeda-beda, ada yang hanya sekedar berwisata, ada yang untuk ibadah, ada yang studi sejarah, bahkan ada juga yang untuk keinginan khusus agar harapan dan sesutu yang diinginkan segera tercapai.
            Setelah menikmati kemegahan Masjid Sultan Riau kami melanjutkan perjalanan menuju Bukit Kursi, dari informasi yang aku peroleh di beberapa blog, di puncak bukit tersebut terdapat benteng pertahanan raja dan beberapa meriam. Setelah keluar dari gerbang mesjid, kami berjalan ke arah kiri, mengikuti penunjuk arah yang membimbing kami menuju bukit kursi. Kami bertanya kepada seorang bapak akan keberadaan bukit tersebut, lalu ia menunjuk ke arah sebuah bukit yang disana banyak pengunjung lain juga. Kami berjalan menuju arah keramian tersebut, kami menemukan bangunan tua yang merupakan gudang misiu (arsenal) yang digunakan para sultan untuk menghadapi serangan musuh. Bersambung... 
Gudang Misiu (Arsenal)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendakian Gunung Pusuk Buhit

PMR Madya dan Wira Sekolah Kallista Mengikuti Pelantikan PMR Se-Kota Batam Tahun 2017

Penyampai Pesan Kematian