FROM ZERO TO ZERO - Melepas Rumah
Oleh : Hakim Syah Reza Lubis
Sembilan puluh menit lagi akan tiba waktu dzuhur untuk
wilayah Kota Medan dan orang-orang yang berniat untuk menunaikan shalat dzuhur,
sekarang sudah pukul 11.00 WIB, sementara aku belum juga tuntas dalam mengemas
barang-barang yang nantinya akan jadi kebutuhanku selama di perjalanan. Insy’a
Allah semuanya sudah clear sebelum adzan zuhur berkumandang.
Jauh sebelumnya, aku sudah mempersiapkan apa-apa saja
yang harus aku bawa, seperti; celana jeans, dompet, sweater, celana ponggol, kaos
oblong, kemeja flanel, kaca mata hitam, pena, buku catatan, botol minum, sepatu,
blackberry, dan tidak lupa juga
bendera merah putih yang aku pinjam dari teman sekelasku Sendi. Semua
benda-benda tersebut, ada yang telah aku kenakan, namun ada juga yang akan aku
selundupkan ke dalam ransel yang biasanya aku kenakan sehari-hari saat ke kampus,
ransel yang biasanya berkomposisikan angin dan beberapa diktat, sesaat lagi
akan menjelma menjadi ransel buncit layaknya perut yang sedang kekenyangan,
tidak ku biarkan angin masuk ke dalamnya. Mungkin aku memang tidak ditakdirkan
menjadi seekor keong yang selalu sedia membawa rumahnya kemanapun ia pergi, mau
tidak mau aku harus memilah dan memilih mana yang menjadi skala prioritas dan
tidak.
Bukannya
aku tidak prepare dan tidak ada waktu untuk mempersiapkan segala kebutuhanku
selama di perjalanan, sepertinya memang ada sensasi tersendiri apabila aku
packing dua jam sebelum keberangkatan, aku merasa otakku lebih terpacu untuk
bekerja. Aku menganggapnya seperti simulasi dalam keadaan emergency, dimana
kita harus memilih dengan cepat dan tepat antara apa yang kita butuhkan dan
yang kita inginkan. Alhamdulillah selama menjalankan teknik seperti itu aku
tidak pernah merasa kertinggalan barang. Namun perjalanan kali ini
sangat-sangat berbeda, ini merupakan petualangan menembus provinsi dengan
target perjalanan selama seminggu.
Suara
radio bukan hanya sekedar sumber informasi bagiku, ia merupakan teman yang
setia dan dapat memberikan semangat selama aku melakukan aktivitas. Aku
bernyanyi sambil memasukkan barang-barang ke dalam ransel. Ketika aku tengah
asyik bernyanyi dan mendengar lagu-lagu yang diputar radio, aku seperti
mendengar suara sahutan orang yang bersumber dari luar rumah. Aku pun
mengecilkan volume radio, dan membuka telingaku lebar-lebar.
“Assalamu’alaikum!
hakim!”, sahutan tersebut bersumber dari luar rumah.
Aku pun
bergegas keluar rumah, aku menduga itu adalah suara Fuad. Dari tadi aku menanti
kehadirannnya yang tidak kunjung hadir. Jujur aku sempat ragu kalau dia tidak
jadi datang, karena dia pernah mengatakan kalau orang tuanya tidak semudah itu
memberikannya izin untuk pergi jauh. Seperti mau pergi ke neraka saja, sampai
segitunya, memang sih setiap orang tua memilki sikap yang berbeda-beda untuk
melepas anaknya pergi. Semenjak ayahku meninggal aku lebih bebas dalam
menentukan kemana aku pergi. Kalau ibuku tidak usah ditanya, dia sepertinya
welcome-welcome saja kemanapun aku pergi, karena ketika masih muda, bahkan
hingga sekarang, aku mengenal sosok ibu adalah orang yang memiliki langkah
panjang, sepertinya sebagian dari diriku adalah titisan dari beliau.
Aku pun
tiba di depan pintu, ternyata sudah ada seorang pemuda yang gayanya seperti jin
kura-kura dengan cangkang di punggungnya, cangkang yang aku maksud adalah
ransel yang dikenakan oleh fuad, gembung dan besar, ternyata muatan ranselnya
lebih besar dari punyaku.
“Alhamdulillah,
akhirnya dia datang juga,” ucapku dalam hati.
“Wa’alaikumsalam...
aduh bro maaf ya aku lama nyamperin, aku lagi packing sambil dengar radio, jadi
kurang jelas aku dengar suara kau. Ayo masuk lah,” aku menjawab salamnya dan
mengajaknya masuk ke rumah. Fuad pun membuka sepatu dan masuk kerumah.
“Udah
bro...pakai aja sepatunya, gak papa itu,” ucapku kepadanya yang tengah membuka
sepatu di depan pintu.
“Ah
ada-ada aja kau...gak enak lah aku.”
“Udah
aman itu, asal nanti kau yang ngepel rumahku ya. Hahaha....”
“Hahaha....,”
dia pun ikut tertawa mendengar perkataanku.
Setelah
dia masuk ke rumah, aku pun mempersilahkannya duduk di sofa, karena yang ada
sofa, kalau ada kursi panas ku suruh juga dia duduk di situ, hahaha...jadi
keingat kuis who want to be a milioner.
Aku meilhat ada yang kurang dari dirinya, kurang ganteng?
Gak juga... karena menurutku wajah dan style nya mirip vokalis armada band,
kurang rapi? Ngapai coba rapi-rapi, secara kami mau berpetualang. Jadi kurang
apa dong? Aku melihat ada yang kurang akan apa yang di bawanya. Aku melihat dia
tidak ada membawa gitar, padahal kami sudah sepakat, untuk gitar dia yang
mengupayakan. Gitar adalah senjata utama kami ke 0 km Indonesia, karena kami
punya program, untuk menuju tempat tersebut dengan cara mengamen dari satu kota
ke kota berikutnya. Jadi uang tersebut kami gunakan untuk kebutuhan makan dan
lain sebagainya.
Sebenarnya aku punya gitar, tapi aku sudah mengatakan ke
Fuad kalau gitarku terlalu manja untuk di bawa kesana. Ada dua alasan kenapa
bukan gitarku yang di bawa, pertama karena gitarku memiliki bobot yang lumayan
berat dibandingkan gitar-gitar pada umumnya, tentunya itu dapat mempersulit
ataupun menghambat pergerakan kami dari satu tempat ke tempat berikutnya, maka
dari itu kami membutuhkan gitar yang lebih ringan. Alasan yang kedua cukup
enggan untuk ku sebut, tapi kalau memang kalian memaksa, maka akan aku
beritahu, gitarku termasuk golongan kelas menengah ke atas, jadi... aku
khawatir dia kenapa-kenapa selama diperjalanan, bisa saja dia terkena hujan,
terhempas dan terjatuh, dan diculik orang.
“Aduh
bro...lama juga aku nungguin kau, ku pikir kau gak jadi datang, habis ku sms
gak ada kau balas lagi, jadi gak semangat aku packing karena nungguin kau”
ucapku kepada Fuad.
“hahaha... sorry lah bro”
“eh gitarnya mana? Kok gak ada bawa gitar kau?”
“gitarnya masih dirumah kawan bro, nanti kita ambil dulu”
“aku pikir udah kau ambil dari jauh-jauh hari”
“gak sempat aku bro, tapi aman itu, tenang aja kau”
“yakin kau kan bro... karena itu senjata kita buat ke
sabang”
“yakin bro... aku udah konfirmasi sama yang punya”
“Udah lah...ke kamarku kita dulu aku belum selesai
packing tuh,” ucapku sambil mengajaknya ke kamar.
“Ayoklah...,” katanya.
Kami pun
melangkah ke kamarku tanpa bergandengan tangan, aku takut omak dan adik-adikku
curiga kalau kami masuk beriringan sambil bergandengan tangan. Aku tidak mau dituduh
menjadi homoseksual, aku lebih memilih dikatakan homo sapiens.
Setibanya
di kamar, aku besarkan sedikit volume radio yang tadinya telah aku kecilkan,
aku sengaja membuatnya agar orang diluar kamar tidak mengetahui apa yang sedang
kami bicarakan dan lakukan, ini rencana besar dan spektakuler.
Di kamar
hanya ada kami berdua, tapi aku takut juga dua-duaan seperti ini. Katanya sih
kalau dua-duaan gitu, yang ketiganya adalah syetan. Aku bersyukur karena yang
aku ingat setan itu akan datang kalau yang berdua-duan itu berlainan jenis,
seperti anjing dan kucing, ayam dan bebek, gajah dan semut. Hahaha...bukan itu
maksudku, yang ku maksud itu adalah antara kaum adam dan hawa, alias laki-laki
dan perempuan.
“Yah
begini lah kamarku bro...banyak barang-barang berharganya, berharga murah
maksudku, hahaha.... alias berantakan,” ucapku sambil melanjutkan memasukkan
barang-barang ke dalam tas.
“Hahaha...santai
aja bro.”
“Oh
iya...bentar ya, aku mau ke kamar mandi dulu ngambil air.”
“Buat
apa bro?”
“Buat
kau minum la...hahaha...enggak lah, aku mau ke dapur ngambil gelas dan minummu.”
“Udah
gak usah repot-repot.”
“Gak
apa-apa kok, cuma air putih, gak ada sirup di sini, hahaha...”
Aku pun
ke dapur untuk mengambil gelas dan air minum. Tidak perlu berlama-lama aku
sudah tiba di kamar, karena air putih yang ku bawa tidak ada campuran racun,
bahan pengawet, ataupun serbuk-serbuk mantra.
“Nih
minumnya bro..silahkan dinikmati.”
“Ok
bro...makasi.”
“Kalau
habis bilang aja bro...masih ada sumur di ladang, danau toba pun masih penuh
tuh...hahaha....”
“Hahaha...udah
cepat kau packing. Udah mau jam 12 ini.”
“Ok bro
fuad.”
Aku pun
melanjutkan packing kembali dengan lebih cepat dan teliti, ku pandangi dan
perhatikan sekali lagi sekeliling kamarku, untuk memastikan tidak ada
barang-barang yang terlupakan. Sepertinya jiwaku tengah berinteraksi dengan
kamar ini, aku merasakan kamar dan jiwaku tengah berkecamuk, aku sangat tau
mereka tidak ingin berpisah. Aku yakinkan mereka, kalau ini hanya sementara,
lebih kurang hanya seminggu aku di rantau orang. Halah...macam mau nyari kerja
aja, ini hanya liburan...just an adventure and for fun.
Alhamdulillah
akhirnya kelar juga semua, insya’allah tidak ada lagi yang terlupakan. Kami pun
berbincang-bincang sambil menunggu waktu zuhur yang tinggal beberapa menit
lagi.
“Sorry
ya bro kalau aku lama packing,” ucapku kepada Fuad.
“Aman
tuh bro...santai aja.”
“By the
way, gimana perjuanganmu minta izin sama orang tuamu? Susah gak?”
“Lumayan
susah sih, cuma mereka perlu lebih di yakini aja, aku bilang aja mau pergi
camping seminggu sama kawan kuliah.”
“Mantap
lah bro...lagian kan kau udah besar, udah bisa buat anak lagi, hahaha...”
“Hahaha...”
“Eh kau
udah makan belum? Siap shalat zuhur kita makan dulu ya”
“aku
udah makan sebelum berangkat kemari bro, kau aja la...”
“ah udah
lah... makan lagi gak papa itu, perjalanan kita panjang nih, sampai seminggu”
Seketika
suara adzan berkumandang, kami pun menghentikan pembicaraan, kemudian lekas
berwudhu. Kami shalat bergiliran, aku yang terlebih dahulu, setelah itu baru
Fuad. Di dalam doa aku meminta kepada Allah S.W.T dengan panjang kali lebar
terkait keberangkatan kami menuju 0 km Indonesia, yang pertama; agar tekad dan
keyakinan kami untuk menuju Sabang di mantapkan dan dijauhkan dari keraguan,
yang kedua kami diberi kesehatan selama diperjalanan, yang ketiga agar kami
dilindungi dari segala marabahaya, dan yang terakhir agar urusan kami
dipermudah selama melakukan perjalanan, aamiin. Aku tidak tahu apa isi doa
Fuad, tapi aku yakim doa kami tiak jauh-jauh berbeda.
Setelah
shalat aku pergi ke dapur untuk mengambil sajian makan siang. Tidak ada yang
spektakuler dari hidangan tersebut, jangan bayangkan ibuku harus merogoh
koceknya untuk mengorbankan satu ekor kerbau demi uapacara keberangkatanku ke
Sabang. Santapan makan siangnya tidak jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya,
enak, gurih, mantap, dan nikmat. Meskipun begitu, Fuad tidak mau menyantapnya,
padahal aku sudah menawarkannya. Dia mengakui dirinya sudah kenyang, dan aku
hanya bisa menghargai kekenyangannya itu.
Alahmdulillah,
perkara perut sudah kelar. Sebentar lagi pukul satu siang, kami mengangkat
ransel-ransel yang ada dikamar ke ruang tamu. Cuma dua ransel saja, tidak
sampai sepuluh ransel, jadi tidak butuh waktu lama buat mengevakuasinya.
Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, aku pun pamit kepada ibu dan
adik-adikku, aku cium tangan ibuku sedangkan adik-adikku mencium tanganku.
Terus fuad nyium siapa? Nyium tembok? Dia tidak mencium siapa-siapa, dia juga
turut pamit kepada ibu dan adik-adikku. Tidak ada tangis-tangisan, semuanya
biasa saja, karena ini memang hal yang biasa buat mereka, hahaha... bukan
berarti aku tidak di anggap dalam keluarga, mereka sudah biasa menyaksikan aku
pergi berhari-hari dari rumah untuk kegiatan adventure dan travelling. Tapi aku
yakin mereka bakal merindukan aku, atau sebaliknya, apalagi adik-adikku, mugkin
mereka merasa lebih nyaman karena terbebas dari omelan dari seorang abang yang
cerewet seperti driku ini, hahaha...
Tibalah
detik-detik dimana aku harus minggat dari rumah, jujur... aku tidak bisa
mengatakan kalau langkahku terasa ringan untuk meninggalkan rumah, terasa
sedikit berat memang, namun tidak sampi seribu pon beratnya, lebih banyak
ringannya dari pada beratnya.tapi aku ingat kata-kata bijak yang mengatakan
bahwa “perjalanan satu mil di mulai dari satu langkah”, kalau aku tidak memulai
langkah pertama, tidak akan ada yang namanya langkah kedua, ketiga, bahkan
hingga langkah seribu.
Waktu
sudah menunjukkan pukul satu siang. Sekali lagi, aku tatap sekeliling ruangan
rumah. kami angkat rasel yang ada di atas sofa, lalu kami sangkutkan di kedua
bahu dan kami kencangkan talinya. kami melangkah menuju pintu rumah untuk
memakai sepatu, kami mantapka simpulan tali sepatu, pertanda niat yang sudah
mantap. Sampai ketemu lagi ibu dan adik-adikku.bismillah.
Bersambung...
Komentar
Posting Komentar