FROM ZERO TO ZERO - Melepas Rumah


Oleh : Hakim Syah Reza Lubis
Fuad dan Aku di Lapangan Blang Padang Banda Aceh, Desember 2013. Foto by Adhelia.
Sembilan puluh menit lagi akan tiba waktu dzuhur untuk wilayah Kota Medan dan orang-orang yang berniat untuk menunaikan shalat dzuhur, sekarang sudah pukul 11.00 WIB, sementara aku belum juga tuntas dalam mengemas barang-barang yang nantinya akan jadi kebutuhanku selama di perjalanan. Insy’a Allah semuanya sudah clear sebelum adzan zuhur berkumandang.
Jauh sebelumnya, aku sudah mempersiapkan apa-apa saja yang harus aku bawa, seperti; celana jeans, dompet, sweater, celana ponggol, kaos oblong, kemeja flanel, kaca mata hitam, pena, buku catatan, botol minum, sepatu, blackberry, dan tidak lupa juga bendera merah putih yang aku pinjam dari teman sekelasku Sendi. Semua benda-benda tersebut, ada yang telah aku kenakan, namun ada juga yang akan aku selundupkan ke dalam ransel yang biasanya aku kenakan sehari-hari saat ke kampus, ransel yang biasanya berkomposisikan angin dan beberapa diktat, sesaat lagi akan menjelma menjadi ransel buncit layaknya perut yang sedang kekenyangan, tidak ku biarkan angin masuk ke dalamnya. Mungkin aku memang tidak ditakdirkan menjadi seekor keong yang selalu sedia membawa rumahnya kemanapun ia pergi, mau tidak mau aku harus memilah dan memilih mana yang menjadi skala prioritas dan tidak.
            Bukannya aku tidak prepare dan tidak ada waktu untuk mempersiapkan segala kebutuhanku selama di perjalanan, sepertinya memang ada sensasi tersendiri apabila aku packing dua jam sebelum keberangkatan, aku merasa otakku lebih terpacu untuk bekerja. Aku menganggapnya seperti simulasi dalam keadaan emergency, dimana kita harus memilih dengan cepat dan tepat antara apa yang kita butuhkan dan yang kita inginkan. Alhamdulillah selama menjalankan teknik seperti itu aku tidak pernah merasa kertinggalan barang. Namun perjalanan kali ini sangat-sangat berbeda, ini merupakan petualangan menembus provinsi dengan target perjalanan selama seminggu.
            Suara radio bukan hanya sekedar sumber informasi bagiku, ia merupakan teman yang setia dan dapat memberikan semangat selama aku melakukan aktivitas. Aku bernyanyi sambil memasukkan barang-barang ke dalam ransel. Ketika aku tengah asyik bernyanyi dan mendengar lagu-lagu yang diputar radio, aku seperti mendengar suara sahutan orang yang bersumber dari luar rumah. Aku pun mengecilkan volume radio, dan membuka telingaku lebar-lebar.
            “Assalamu’alaikum! hakim!”, sahutan tersebut bersumber dari luar rumah.
            Aku pun bergegas keluar rumah, aku menduga itu adalah suara Fuad. Dari tadi aku menanti kehadirannnya yang tidak kunjung hadir. Jujur aku sempat ragu kalau dia tidak jadi datang, karena dia pernah mengatakan kalau orang tuanya tidak semudah itu memberikannya izin untuk pergi jauh. Seperti mau pergi ke neraka saja, sampai segitunya, memang sih setiap orang tua memilki sikap yang berbeda-beda untuk melepas anaknya pergi. Semenjak ayahku meninggal aku lebih bebas dalam menentukan kemana aku pergi. Kalau ibuku tidak usah ditanya, dia sepertinya welcome-welcome saja kemanapun aku pergi, karena ketika masih muda, bahkan hingga sekarang, aku mengenal sosok ibu adalah orang yang memiliki langkah panjang, sepertinya sebagian dari diriku adalah titisan dari beliau.
            Aku pun tiba di depan pintu, ternyata sudah ada seorang pemuda yang gayanya seperti jin kura-kura dengan cangkang di punggungnya, cangkang yang aku maksud adalah ransel yang dikenakan oleh fuad, gembung dan besar, ternyata muatan ranselnya lebih besar dari punyaku.
            “Alhamdulillah, akhirnya dia datang juga,” ucapku dalam hati.
            “Wa’alaikumsalam... aduh bro maaf ya aku lama nyamperin, aku lagi packing sambil dengar radio, jadi kurang jelas aku dengar suara kau. Ayo masuk lah,” aku menjawab salamnya dan mengajaknya masuk ke rumah. Fuad pun membuka sepatu dan masuk kerumah.
            “Udah bro...pakai aja sepatunya, gak papa itu,” ucapku kepadanya yang tengah membuka sepatu di depan pintu.
            “Ah ada-ada aja kau...gak enak lah aku.”
            “Udah aman itu, asal nanti kau yang ngepel rumahku ya. Hahaha....”
            “Hahaha....,” dia pun ikut tertawa mendengar perkataanku.
            Setelah dia masuk ke rumah, aku pun mempersilahkannya duduk di sofa, karena yang ada sofa, kalau ada kursi panas ku suruh juga dia duduk di situ, hahaha...jadi keingat kuis who want to be a milioner.
Aku meilhat ada yang kurang dari dirinya, kurang ganteng? Gak juga... karena menurutku wajah dan style nya mirip vokalis armada band, kurang rapi? Ngapai coba rapi-rapi, secara kami mau berpetualang. Jadi kurang apa dong? Aku melihat ada yang kurang akan apa yang di bawanya. Aku melihat dia tidak ada membawa gitar, padahal kami sudah sepakat, untuk gitar dia yang mengupayakan. Gitar adalah senjata utama kami ke 0 km Indonesia, karena kami punya program, untuk menuju tempat tersebut dengan cara mengamen dari satu kota ke kota berikutnya. Jadi uang tersebut kami gunakan untuk kebutuhan makan dan lain sebagainya.
Sebenarnya aku punya gitar, tapi aku sudah mengatakan ke Fuad kalau gitarku terlalu manja untuk di bawa kesana. Ada dua alasan kenapa bukan gitarku yang di bawa, pertama karena gitarku memiliki bobot yang lumayan berat dibandingkan gitar-gitar pada umumnya, tentunya itu dapat mempersulit ataupun menghambat pergerakan kami dari satu tempat ke tempat berikutnya, maka dari itu kami membutuhkan gitar yang lebih ringan. Alasan yang kedua cukup enggan untuk ku sebut, tapi kalau memang kalian memaksa, maka akan aku beritahu, gitarku termasuk golongan kelas menengah ke atas, jadi... aku khawatir dia kenapa-kenapa selama diperjalanan, bisa saja dia terkena hujan, terhempas dan terjatuh, dan diculik orang.
            “Aduh bro...lama juga aku nungguin kau, ku pikir kau gak jadi datang, habis ku sms gak ada kau balas lagi, jadi gak semangat aku packing karena nungguin kau” ucapku kepada Fuad.
“hahaha... sorry lah bro”
“eh gitarnya mana? Kok gak ada bawa gitar kau?”
“gitarnya masih dirumah kawan bro, nanti kita ambil dulu”
“aku pikir udah kau ambil dari jauh-jauh hari”
“gak sempat aku bro, tapi aman itu, tenang aja kau”
“yakin kau kan bro... karena itu senjata kita buat ke sabang”
“yakin bro... aku udah konfirmasi sama yang punya”
“Udah lah...ke kamarku kita dulu aku belum selesai packing tuh,” ucapku sambil mengajaknya ke kamar.
“Ayoklah...,” katanya.
            Kami pun melangkah ke kamarku tanpa bergandengan tangan, aku takut omak dan adik-adikku curiga kalau kami masuk beriringan sambil bergandengan tangan. Aku tidak mau dituduh menjadi homoseksual, aku lebih memilih dikatakan homo sapiens.
            Setibanya di kamar, aku besarkan sedikit volume radio yang tadinya telah aku kecilkan, aku sengaja membuatnya agar orang diluar kamar tidak mengetahui apa yang sedang kami bicarakan dan lakukan, ini rencana besar dan spektakuler.
            Di kamar hanya ada kami berdua, tapi aku takut juga dua-duaan seperti ini. Katanya sih kalau dua-duaan gitu, yang ketiganya adalah syetan. Aku bersyukur karena yang aku ingat setan itu akan datang kalau yang berdua-duan itu berlainan jenis, seperti anjing dan kucing, ayam dan bebek, gajah dan semut. Hahaha...bukan itu maksudku, yang ku maksud itu adalah antara kaum adam dan hawa, alias laki-laki dan perempuan.
            “Yah begini lah kamarku bro...banyak barang-barang berharganya, berharga murah maksudku, hahaha.... alias berantakan,” ucapku sambil melanjutkan memasukkan barang-barang ke dalam tas.
            “Hahaha...santai aja bro.”
            “Oh iya...bentar ya, aku mau ke kamar mandi dulu ngambil air.”
            “Buat apa bro?”
            “Buat kau minum la...hahaha...enggak lah, aku mau ke dapur ngambil gelas dan minummu.”
            “Udah gak usah repot-repot.”
            “Gak apa-apa kok, cuma air putih, gak ada sirup di sini, hahaha...”
            Aku pun ke dapur untuk mengambil gelas dan air minum. Tidak perlu berlama-lama aku sudah tiba di kamar, karena air putih yang ku bawa tidak ada campuran racun, bahan pengawet, ataupun serbuk-serbuk mantra.
            “Nih minumnya bro..silahkan dinikmati.”
            “Ok bro...makasi.”
            “Kalau habis bilang aja bro...masih ada sumur di ladang, danau toba pun masih penuh tuh...hahaha....”
            “Hahaha...udah cepat kau packing. Udah mau jam 12 ini.”
            “Ok bro fuad.”
            Aku pun melanjutkan packing kembali dengan lebih cepat dan teliti, ku pandangi dan perhatikan sekali lagi sekeliling kamarku, untuk memastikan tidak ada barang-barang yang terlupakan. Sepertinya jiwaku tengah berinteraksi dengan kamar ini, aku merasakan kamar dan jiwaku tengah berkecamuk, aku sangat tau mereka tidak ingin berpisah. Aku yakinkan mereka, kalau ini hanya sementara, lebih kurang hanya seminggu aku di rantau orang. Halah...macam mau nyari kerja aja, ini hanya liburan...just an adventure and for fun.
            Alhamdulillah akhirnya kelar juga semua, insya’allah tidak ada lagi yang terlupakan. Kami pun berbincang-bincang sambil menunggu waktu zuhur yang tinggal beberapa menit lagi.
            “Sorry ya bro kalau aku lama packing,” ucapku kepada Fuad.
            “Aman tuh bro...santai aja.”
            “By the way, gimana perjuanganmu minta izin sama orang tuamu? Susah gak?”
            “Lumayan susah sih, cuma mereka perlu lebih di yakini aja, aku bilang aja mau pergi camping seminggu sama kawan kuliah.”
            “Mantap lah bro...lagian kan kau udah besar, udah bisa buat anak lagi, hahaha...”
            “Hahaha...”
            “Eh kau udah makan belum? Siap shalat zuhur kita makan dulu ya”
            “aku udah makan sebelum berangkat kemari bro, kau aja la...”
            “ah udah lah... makan lagi gak papa itu, perjalanan kita panjang nih, sampai seminggu”
            Seketika suara adzan berkumandang, kami pun menghentikan pembicaraan, kemudian lekas berwudhu. Kami shalat bergiliran, aku yang terlebih dahulu, setelah itu baru Fuad. Di dalam doa aku meminta kepada Allah S.W.T dengan panjang kali lebar terkait keberangkatan kami menuju 0 km Indonesia, yang pertama; agar tekad dan keyakinan kami untuk menuju Sabang di mantapkan dan dijauhkan dari keraguan, yang kedua kami diberi kesehatan selama diperjalanan, yang ketiga agar kami dilindungi dari segala marabahaya, dan yang terakhir agar urusan kami dipermudah selama melakukan perjalanan, aamiin. Aku tidak tahu apa isi doa Fuad, tapi aku yakim doa kami tiak jauh-jauh berbeda.
            Setelah shalat aku pergi ke dapur untuk mengambil sajian makan siang. Tidak ada yang spektakuler dari hidangan tersebut, jangan bayangkan ibuku harus merogoh koceknya untuk mengorbankan satu ekor kerbau demi uapacara keberangkatanku ke Sabang. Santapan makan siangnya tidak jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya, enak, gurih, mantap, dan nikmat. Meskipun begitu, Fuad tidak mau menyantapnya, padahal aku sudah menawarkannya. Dia mengakui dirinya sudah kenyang, dan aku hanya bisa menghargai kekenyangannya itu.
            Alahmdulillah, perkara perut sudah kelar. Sebentar lagi pukul satu siang, kami mengangkat ransel-ransel yang ada dikamar ke ruang tamu. Cuma dua ransel saja, tidak sampai sepuluh ransel, jadi tidak butuh waktu lama buat mengevakuasinya. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, aku pun pamit kepada ibu dan adik-adikku, aku cium tangan ibuku sedangkan adik-adikku mencium tanganku. Terus fuad nyium siapa? Nyium tembok? Dia tidak mencium siapa-siapa, dia juga turut pamit kepada ibu dan adik-adikku. Tidak ada tangis-tangisan, semuanya biasa saja, karena ini memang hal yang biasa buat mereka, hahaha... bukan berarti aku tidak di anggap dalam keluarga, mereka sudah biasa menyaksikan aku pergi berhari-hari dari rumah untuk kegiatan adventure dan travelling. Tapi aku yakin mereka bakal merindukan aku, atau sebaliknya, apalagi adik-adikku, mugkin mereka merasa lebih nyaman karena terbebas dari omelan dari seorang abang yang cerewet seperti driku ini, hahaha...
            Tibalah detik-detik dimana aku harus minggat dari rumah, jujur... aku tidak bisa mengatakan kalau langkahku terasa ringan untuk meninggalkan rumah, terasa sedikit berat memang, namun tidak sampi seribu pon beratnya, lebih banyak ringannya dari pada beratnya.tapi aku ingat kata-kata bijak yang mengatakan bahwa “perjalanan satu mil di mulai dari satu langkah”, kalau aku tidak memulai langkah pertama, tidak akan ada yang namanya langkah kedua, ketiga, bahkan hingga langkah seribu.
            Waktu sudah menunjukkan pukul satu siang. Sekali lagi, aku tatap sekeliling ruangan rumah. kami angkat rasel yang ada di atas sofa, lalu kami sangkutkan di kedua bahu dan kami kencangkan talinya. kami melangkah menuju pintu rumah untuk memakai sepatu, kami mantapka simpulan tali sepatu, pertanda niat yang sudah mantap. Sampai ketemu lagi ibu dan adik-adikku.bismillah.

Bersambung...




           




           

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendakian Gunung Pusuk Buhit

PMR Madya dan Wira Sekolah Kallista Mengikuti Pelantikan PMR Se-Kota Batam Tahun 2017

Penyampai Pesan Kematian