Panitia PIT Ke-4 Mengadakan Studi Ekskursi ke Sungai Ciliwung
Depok - Panitia Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) Riset Kebencanaan Ke-4 Tahun
2017 mengadakan studi ekskursi (fieldtrip)
berupa selusur Sungai Ciliwung (jelajah Ciliwung), yang diiringi dengan
penanaman pohon, peninjauan lokasi kegiatan Komunitas Ciliwung, dan diskusi
santai (9/5). Studi ekskursi yang berlangsung dari pukul 13.00 s/d 17.00 WIB
tersebut merupakan bagian dari rangkaian kegiatan PIT Ke-4 yang telah dimulai
sejak Senin (8/5) dan akan berlangsung hingga Rabu (10/5).
Selain menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat, selusur Sungai Ciliwung tersebut
juga bertujuan untuk meningktakan “Peran Komunitas dalam Menjaga Lingkungan
Sungai Sebagai Upaya Pengurangan Resiko Bencana”, seperti yang dipaparkan pada
tema kegiatan, dan sejalan dengan Gerakan Restorasi Sungai Indonesia.
Puluhan peserta studi ekskursi merupakan perwakilan dari masyarakat umum
hingga beberapa perwakilan dari; BNPB, Pemkot Depok, Universitas Indonesia,
Kopasus, Basarnas, Badan Lingkungan Hidup, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi
Bencana Gelogi (PVMBG), Komunitas Anak Ciliwung (Kancil), Universitas
Pertahanan (Unhan), Mat Peci, Sekolah Sungai Jakarta (SSJ), dan Forum
Fasilitator Ketangguhan Bencana (F2KB) Sumatera Utara.
Titik awal selusur Sungai Ciliwung dimulai
dari jembatan Jl. Ir. H. Juanda, disitu tampak beberapa peralatan selusur sungai
seperti perahu boat, perahu karet, dayung, rompi pelampung, dan helm. Pihak
panitia menyebutkan “Disini terdapat sekitar 12 perahu karet dan 1 perahu boat
yang diperoleh dari Kopassus, Pemkot Depok, dan Mapala UI. 1 Perahu karet untuk
7 orang yang terdiri dari 1 orang pemandu dan 6 orang peserta, sedangkan perahu
boat digunakan pihak kopassus untuk memantau para peserta selama berlangsungnya
kegiatan”.
Selama melakukan selusur sungai para peserta menyaksikan berbagai akifitas penduduk (human activity) dan penggunaan lahan (landuse) di sepanjang bantaran Sungai Ciliwung. Aktifitas penduduk yang tampak mulai dari; Bapak-bapak yang sedang memancing dan menjala ikan, sekelompok anak kecil yang sedang berenang, para pekerja yang sedang membenahi kerusakan (degradasi) tebing sungai, hingga beberapa warga setempat yang sedang menyaksikan kegiatan selusur Sungai Ciliwung. Sedangkan penggunaan lahan yang tampak seperti; kawasan pemukiman, pabrik, kampus, vegetasi yang didominasi oleh pohon bambu dan pisang, tempat pembuangan sampah, dan saluran pembuangan limbah.
Selama melakukan selusur sungai para peserta menyaksikan berbagai akifitas penduduk (human activity) dan penggunaan lahan (landuse) di sepanjang bantaran Sungai Ciliwung. Aktifitas penduduk yang tampak mulai dari; Bapak-bapak yang sedang memancing dan menjala ikan, sekelompok anak kecil yang sedang berenang, para pekerja yang sedang membenahi kerusakan (degradasi) tebing sungai, hingga beberapa warga setempat yang sedang menyaksikan kegiatan selusur Sungai Ciliwung. Sedangkan penggunaan lahan yang tampak seperti; kawasan pemukiman, pabrik, kampus, vegetasi yang didominasi oleh pohon bambu dan pisang, tempat pembuangan sampah, dan saluran pembuangan limbah.
“Itu merupakan saluran pembuangan limbah pabrik yang menyebabkan pencemaran
sungai disini. Kita sudah sering melakukan pembersihan sungai, tapi terkadang
masyarakat setempat dengan mudah membuang sampah ke sungai, karena disini belum
diberlakukan sanksi bagi yang sipa saja yang membuang sampah ke sungai”, tegas
Syahrul (Komunitas Anak Ciliwung) yang merupakan salah satu pemandu peserta
jelajah Ciliwung saat melewati saluran pembuangan limbah dan tempat pembuangan
sampah.
Ketika tiba di lokasi penanaman pohon, Aziz (Kopassus) mengawali penanaman
pohon secara simbolis yang kemudian diikuti oleh peserta studi ekskursi
lainnya. Salah seorang peserta berharap “Semoga dengan adanya kegiatan ini
dapat mengurangi banjir di sepanjang bantaran Sungai Ciliwung”. Selain menyambut
baik kedatangan para peserta dan kegiatan penanaman pohon, masyarakat setempat
juga menyediakan minuman untuk para peserta yang sedang beristirahat.
Setelah itu peserta studi eskursi melanjutkan perjalanan menuju Mat Peci
Green Camp (Serengseh Sawah) yang merupakan titik akhir selusur Sungai
Ciliwung. Sore itu para peserta berkumpul di sebuah saung yang berada di tepi
Sungai Ciliwung untuk mengikuti diskusi santai sembari menikmati hidangan yang
telah disediakan oleh panitia dan penduduk setempat. Meski dalam keadaan
sedikit kotor dan basah para peserta masih tetap semangat untuk mendengarkan
penjelasan dari beberapa pemateri yang hadir saat itu.
“Saya mewakili Kopassus sangat mendukung kegiatan seperti ini, kami siap
membantu para komunitas dan organisasi yang hadir disini dalam kegiatan pengurangan
resiko bencana ataupun banjir di bantaran Sungai Ciliwung untuk kedepannya”
tegas Aziz (Kopassus) dalam pembukaan diskusi santai.
“Lokasi ini merupaka kawasan ekoriparian yang berada di Serengseh Sawah. Ekoriparian berasal dari dua kata, eko yang
merupakan ekosistem, dan riparian dari
bahasa latin ripa yang artinya tepian
sungai”, pernyataan Usman (Mat Peci) tersebut sejalan dengan “Disini kawasannya
asri dan banyak pepohonan, berbeda dengan bantaran sungai yang telah kita lalui
sebelumnya”, pernyataan salah seorang peserta ketika mulai memasuki Mat Peci
Green Camp.
“Kalau Serengseh Sawah berasal dari bahasa setempat, serengseh merupakan sebutan
untuk pandan duri yang digunakan sebagai bahan dasar pembuat tikar, sedangkan Sawah
menandakan bahwa dahulu disini merupakan areal persawahan. Maka dari itu kami
bertekat untuk mengembalikan keasrian dan jenis tanaman yang dulunya pernah
tumbuh di sepanjang aliran Sungai Ciliwung”, Tegas Usman.
Sedangkan dari sisi sejarah, Dr. Ali Akbar (Universitas Indonesia) menjelaskan
bahwa “peradaban di sepanjang bantaran Sungai Ciliwung sudah sejak lama
dibangun oleh masyarakat yang bermukim di masa lampau, hal tersebut dibuktikan
dengan adanya penemuan beliung persegi dan tembikar di sepanjang bantaran
sungai. Masyarakat pada masa lampau juga telah merasakan banjir yang disebabkan
oleh luapan Sungai Ciliwung, hanya saja dulu priode banjir terjadi setiap 10
tahun sekali, beberapa tahun terkahir sekali dalam 3 tahun, tapi sekarang sudah
menjadi agenda tahunan”.
Diskusi santai di akhiri dengan penjelasan Rudy (Sekolah Sungai Jakarta) yang menyatakan bahwa “Sungai itu bukan hanya air yang mengalir,
sungai merupakan kesatuan komponen antara aliran sungai dengan keberadaan ikan-ikan
(hewan) dan tumbuhan yang ada disekitarnya. Jadi bila ada sungai yang kanan-kirinya
dibeton itu tidak tepat disebut sebagai sungai, melainkan selokan. Tumbuhan itu
seperti baju bagi sungai, fungsinya
adalah sebagai pelindung (guardian)
bagi sungai dari berbagai material yang masuk ke sungai. Selain itu Tumbuhan
juga berfungsi menahan laju erosi, menahan arus sungai, sehingga arus sungai menuju
hilir menjadi lambat karena tumbuhan membelokkannya ke bagian tengah sungai.
Sungai itu hidup dan bergerak, ditandai dengan adanya kelokan-kelokan yang kita
lalui saat menelusuri sungai. Sungai itu memilki keteraturan pola, setiap 10
kali dari lebarnya maka ia akan berkelok, kelokan itu merupakan proses yang
alami dan akan berpindah-pindah dalam jangka waktu yang relatif lama, kelokan -
kelokan pada sungai juga berfungi sebagai penahan laju arus sungai. Jadi proses
normalissasi dan pelurusan Sungai Ciliwung bukanlah cara yang tepat untuk mengatasi
banjir, hal tersebut justru akan mempercepat laju arus sungai menuju hulu.
Beberapa daerah yang pernah melakukan pelurusan sungai justru mengembalikan alur
sungai seperti posisi semula, karena terbukti cara tersebut tidak berhasil
dalam mengatasi banjir".(hsrl)
Komentar
Posting Komentar