Batu Pembawa Malapetaka
Oleh: Hakim Syah
Reza Lubis
1999. Namaku Hakim, Aku
merupakan siswa di SDN 060849 Kel. Karang Berombak Kec. Medan Barat, Kota
Medan. Saat ini aku duduk di kelas III, tepatnnya lagi kelas III C. Para guru
mengatakan kalau kelas III C adalah kelas yang paling bandal dibandingkan
dengan kelas III A, III B, dan III D. Itu hak mereka para guru mau menilai kami
ini seperti apa, yang jelas aku bangga menjadi bagian dari kelas III C.
Wali kelas kami adalah Buk
Manulang. Mendengar kata “manulang” tentulah beliau Suku Batak, lebih tepatnya
lagi Batak Simalungun. Para siswa disini beranggapan kalau guru-guru Suku Batak
itu pada umumnya kejam. Sebenarnya bukan kejam, tapi karena volume suara mereka
yang besar, sehingga terkesan demikian. Menurutku Buk Manulang tidak kejam,
melainkan tegas. Beliau itu orangnya sangat peduli dan perhatian, meskipun
demikian, tetap saja para siswa merasa takut kalau melihat Buk Manulang dalam
keadaan marah.
Jumlah kami ada sekitar 40
orang. Kami di bagi menjadi 4 banjar dalam satu kelas, 1 banjar terdiri dari
dari 5 meja dan 5 bangku. Jadi setiap 2 orang mendapat 1 Meja dan 1 Bangku,
bagaimana caranya? Boncengan? Tenang aja! Meja dan bangkunya panjang kok, jadi tidak
harus ada yang dipangku, duduk berempat dalam satu bangku juga bisa kok. Bila
dilihat dari pintu kelas aku berada di banjar kedua, dan duduk di bangku paling
belakang. Teman sebangku adalah Alfiansyah Siregar, ia kerap disapa Pian.
Kami baru saja kedatangan
siswa baru, namanya Achmad Kusnadi, sudah hampir 3 minggu dia menjadi siswa
disini. Sebelumnya dia sekolah di Tembung, sekitar 40 menit ke arah timur Kota
Medan. Dia duduk di depan meja kami, tepatnya lagi sejajar dengan posisi
dudukku, bila ditarik garis lurus dari depan kebelakang. Bila menghadap ke
papan tulis, aku duduk di sebelah kanan Pian, sedangkan Pian duduk dibelakang Irwansyah.
Kami menjuluki Kusnadi dengan
sebutan si Tikus. Biasanya jika ada keperluan, kami selalu memanggil “Kus...Kus...Kus...”,
dari belakangnya. Dalam kondisi baik-baik saja, biasanya dia mau menanggapi
panggilan kami tersebut. Tapi kalau diantara kami ada perselisihan, dia tidak
akan mau menoleh kebelakang, disaat itu pula kami memanggilnya
“tikus..tikus...tikus”. Awalnya kami ingin menjulukinya Kuskus, kenyatannya dia
tidak seimut itu, justru kalau lagi ngambek dia lebih mirip “Tikus”.
Setiap ada mata pelajaran
seni rupa, kami sering meminjam pena gambar miliknya. Bukan kami tidak punya,
pertama karena pena gambar dia lebih lengkap, maklum baru pindahan, jadi
alat-alat belajarnya masih serba baru dan lebih lengkap. Kedua, karena dia
siswa baru disini, kami harus membuatnya tunduk kepada kami. Hari ini kami
sangat kecewa dengannya, dia kini telah berubah, dia berbeda dari biasanya, dia
sudah tidak mau meminjamkan pena gambarnya kepada kami. Mungkin dia mengadu
kepada ibunya, lalu ibunya berkata “kalau ada yang meminjam pena warna, jangan
dikasi! Nanti cepat habis kalau dipinjam terus!”
“Tettttttttttttt...”, bell
sekolah berbunyi pada pukul 15.30, menandakan waktu istirahat. Karena kesal dan
dongkol, muncul niat buruk di benakku. Aku pergi ke pekarangan sekolah, mataku
menelusuri bebatuan yang ada di sekitar tanaman, sampai aku menemukan batu yang
paling besar, kemudian aku putuskan membawa batu tersebut ke dalam kelas,
ukurannya empat kali lipat bola kasti. Jangan panik dulu! Keep calm! Aku tidak
akan memecahkan kepalanya dengan batu tersebut, aku hanya bermaksud menitipkan
batu tersebut kedalam tasnya. Waktunya sangat
tepat! dia sedang tidak ada di kelas, dengan sangat hati-hati aku
memasukkan batu tersebut ke dasar tas nya yang paling.....dalam. Tepatnya
dibawah buku-buku, agar dia tidak mengetahuinya. “Selamat menyantap menu makan
siang bersama keluarga!”, ucapku dalam hati.
Satu hari kemudian.......
Saat ini Buk Manulang
masuk di kelas kami, seluruh siswa mengarahkan pandangannya ke arah beliau.
Jangan nekat untuk berisik saat Buk Manulang sedang menjelaskan materi, resiko
pertama kami akan mendengar beliau berbicara dengan nada tinggi agar anak-anak yang
berisik dapat tenang dan kembali fokus mengikuti pelajaran, tapi kalau itu
belum bisa menenangkan suasana di dalam kelas, maka penggaris kayu yang
panjangnya sekitar 1 meter yang akan berbicara!
Tiba-tiba Buk Manulang
berhenti menjelaskan materi, karena ada seorang ibu yang sedang berdiri di pintu kelas. Ini merupakan suatu
kebahagiaan untuk kami, karena ketika guru yang sedang mengajar kedatangan tamu
kami jadi tidak belajar. Biasanya kami disuruh jangan ribut, baca buku, dan
mengerjakan soal-soal, kemudian guru yang bersangkutan akan pergi meninggalkan
kelas bersama tamunya.
Sepertinya tamu Buk
Manulang merupakan orang tua dari salah seorang siswa, tentunya orang tua dari
siswa kelas III C, karena beliau merupakan walikelas kami. Biasanya di saat-saat
seperti ini ada orang tua yang hendak membayar iuran sekolah karena tidak
percaya kalau anaknya akan menyearakan iuran tersebut kepada guru, melainkan
kepada penjual makanan dan mainan di depan sekolah. Agar lebih jelas dan tidak
dihantui rasa penasaran, aku mencoba memperhatikan percakapan di antara mereka.
“Selamat siang buk”
“Selamat siang buk,
silahkan masuk, ada yang bisa saya bantu buk?”, jawab Buk Manulang.
“Begini buk...saya ibu
dari Achmad Kusnadi”, aku begitu terkejut setelah mengetahui kalau ibu tersebut
adalah ibu dari si Tikus, “wah...ada yang tidak beres ini!”, ucapku dalam hati.
“Oh Achmad Kusnadi! yang
siswa pindahan kan buk..., mana Achmad Kusnadi?”, mendengar ucapan Buk Manulang
si Tikus langsung mengangkat tangannya ke udara.
“Begini buk...tolong
katakan kepada yang namanya hakim, agar tidak menaruh batu lagi kedalam tas
anak saya”, mendengar ibu si Tikus menyebut namaku aku menjadi semakin
terkejut. “Kenapa si Tikus tahu kalau aku yang menaruh batu kedalam tasnya?”,
ucapku dalam hati.
“Hakim! Coba kedepan
dulu”, perintah Buk Manulang kepadaku dengan nada marah.
Aku pun berjalan perlahan
ke depan kelas untuk mnghampiri Buk Manulang dan Ibu si Tikus. Tahu nggak? kaki
ini seperti diberi beban yang beratnya mencapai 30 kg, belum lagi seluruh mata
yang tertuju padaku, seakan-akan aku ini adalah gueststar yang sedang berjalan di atas catwalk menuju ke atas panggung. Berat memang! Namun aku
harus sampai kedepan kelas depan kelas dalam tempo dan waktu yang
sesingkat-singkatnya.
“Ada kau masukkan batu
kedalam tas Kusnadi?”
“ada buk...”, jawabku
dengan nada pelan sambil menunduk.
“Tolong ya nak, jangan
seperti itu lagi...kasihan Kusnadi, punggungnya sakit karena membawa beban yang
berat”, nasehat ibu si Tikus kepadaku.
“Ia buk...”
“minta maaf kamu sama ibu
ini”, perintah Buk Manulang lagi.
Setelah minta maaf kepada
ibu si Tikus, Buk Manulang menyuruhku kembali ketempat dan meminta maaf kepada
si Tikus. Aku kembali berjalan menuju tempat dudukku sembari meminta maaf
kepada Achmad Kusnadi. Setelah ibu si Tikus berlalu, Ibu manulang belum bisa move on from trending topic, masih fokus
membahas persiteruan yang terjadi antara aku dan dia.
“kenapa kau masukkan batu
kedalam tas si Kusnadi, Hakim? Sudah mulai bandal kau sekarang ya! Kau pintar
tapi sikapmu tidak baik! Kalau begini tidak bisa lagi kau memperoleh peringkat
satu! Turun nanti peringkatmu ibu buat!”, ucap Buk Manulang dari depan kelas
kepadaku.
Akhir Caturwulan ke
tiga.......
Hari ini merupakan hari
penentuan kenaikan kelas, kami akan menerima laporan hasil belajar selama tiga
bulan terakhir. Jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya, aku sudah tidak
sabar melihat laporan hasil belajarku selama ini. Semenjak kejadian itu, aku pesimis bisa mendapat peringkat satu
lagi, aku takut ayahku kecewa dengan penurunan prestasiku.
Setelah memberikan kata
sambutan kepada kami, tibalah saatnya Buk Manulang membacakan nama-nama yang
memperoleh peringkat satu sampai dengan tiga.
“Peringkat
pertama.......Alfiansyah Siregar, peringkat kedua.......Hakim Syah Reza Lubis”,
terus peringkat tiganya siapa? Jangan bayangkan Kusnadi mendapat peringkat tiga
karena telah aku perlakukan dengan semena-mena, lalu mendapat belas kasihan
dari Buk Manulang. Setelah membacakan peringkat ketiga, Buk Manulang menyuruh
kami maju kedepan untuk mengabil raport, dan menyuruh siswa-siswi yang lain
memberikan tepuk tangan kepada kami. Saat aku tiba di hadapan Buk Manulang,
beliau menyampaikan beberapa petuah kepadaku.
“Jangan bandal lagi kau ya
Hakim! ubah sikapmu! rebut kembali prestasimu!”
“Ia buk, terimakasih
buk...”, ucapku sambil mencium tangannya.
Di penghujung acara Buk
Manulang memberikan nasehat dalam salam perpisahan kepada kami semua, sebab Buk
Manulang tidak akan mengajar kami lagi ketika sudah duduk di kelas empat, Buk
Manulang hanya mendapat jadwal ngajar untuk anak kelas tiga. Aku tidak
menyangka, ternyata beliau masih peduli dengan perkembangan prestasiku
kedepannya, dan aku menerima konsekuensi atas apa yang telah aku perbuat. Hanya
saja aku masih penasaran “dari mana si Tikus mengetahui kalau yang memasukkan
batu ke tasnya adalh diriku? Apa jangan-jangan dia mencari informasi dari orang
pintar (dukun)?”. Mungkin saja dia meceritakan kejadian terakhir saat dia tidak
meminjamkan kami pena gambar miliknya, dan aku bangga karena telah berhasil
memberikannya pelajaran, dasar Tikus tukang ngadu!
Komentar
Posting Komentar