Pedagang Kue Keliling

Oleh : Hakim Syah Reza Lubis
            Tahun 1999. Aku masih duduk di kelas 3 SD dan sedang dimanjakan oleh suasan liburan semester 1. Alhamdulillah aku meraih rangking 1, pasti ayah bangga bila beliau sudah kembali ke Medan. Saat itu telepon belum mampir ke rumah kami dan masih menjadi barang yang dimilki oleh beberapa kalangan, sehingga aku tidak bisa mengatakan “Yah... hakim dapat peringkat 1”.
Sebagai anak kecil yang lasak, biasanya kalau musim liburan ayah masih kerja di Aceh, akan aku manfaatkan untuk bermain ke sana – ke mari sepuasnya. Mulai dari berenang di Sungai Deli, main – main ke Rel Bunting, mencari tutup botol minuman bersoda, mendeteksi Kueni yang jatuh dari pohon, hingga berburu Ikan Gobi di parit.
Sungai Deli merupakan urat nadi yang melalui Kota Medan, membentang dari Dataran Tinggi Karo hingga bermuara ke Selat Malaka. Menurutku saat itu bila ada anak laki – laki yang belum meyentuh air Sungai Deli, belum bisa dibilang keren dan jiwanya menyatu dengan Medan. Jarak dari rumahku ke spot – spot pemandian kami sangat bervariasi, mulai dari yang 1 km hingga 3 km, jadi bisa berpindah – pindah sesuai selera.
Rel Bunting merupakan julukan orang – orang untuk rel kereta api yang membelah Sungai Deli di Jalan Sei Deli, konon katanya pernah ada perempuan hamil yang tertabrak kereta api saat melintas di atasnya. Bagi masyarakat setempat rel tersebut juga dijadikan sebagai sarana penyebrangan, lebih menghemat waktu menuju kelurahn sebelah, tanpa harus memutar jauh melalui jembatan utama. Permainan kami saat di Rel Bunting adalah bolak – balik dari ujung rel jembatan yang satu ke ujung yang lain, rasanya seru sekali karena dibawa ada sungai yang siap sedia melahap kami bila terjatuh. Bila tiba – tiba kereta api lewat, sementara kami tidak sempat menepi ke daratan, seketika kami bersembunyi di balik pagar kontruksi yang ada di kana – kiri rel, kami memeluk erat – erat kontruksi baja tersebut, demi bertahan dari guncangan kereta api yang terasa menggetarkan bibir. Bila kurang menantang, kami beralih ke pagar kontruksi yang dari kejauhan terlihat seperti segi tiga sama sisi yang berjajar dan tumpang tindih, puncak tertinggi pagar tersebut lebih tinggi dari permukaan rel, selisihnya sekitar 3 m, kami berjalan di atas baja yang lebar bidangnya hanya bisa di lalui oleh 1 orang, kami berjalan dari ujung yang satu ke ujung yang lain dengan tangan membentang untuk menjaga keseimbangan, bila kaki gemetar kami merangkak di atasnya dengan tangan memegang kedua sisinya, ekstrem nggak? Kalau khilaf sedikit bisa kejebur ke Sungai yang selanjutnya tidak tahu akan menjadi apa.
Tutup Botol yang kami cari bukanlah tutup botol minum bersoda yang mainstream seperti; sosro, fanta, sprit, dan coca – cola. Kalau itu tidak usah jauh – jauh juga ada disekitar sini, malah bertaburan, tinggal datangai tukang warung langsung dapat. Yang kami cari saat itu tutup botol yang langka, semakin langka semakin keren dan dianggap sebagi jagoan, seperti tutup botol gambar kapten dari salah satu merek saos lokal, tutup botol gambar badak dari minuman bersoda cap badak yang di produksi di Siantar, serta tutup botol dari minuman beralkohol seperti Bir Bintang dan Guiness. Saat itu ada permainan mengecas tutup botol antara dua orang, kemudian tutp botol jatuh ke tanah, tutup botol yang yang tampak gambar dia lah yang menang, sedang yang tampak belakang maka dia dinyatakan kalah, taruhan beraneka ragam bisa tutup botol itu sendiri, bisa juga uang.
Medeteksi kueini yang jatuh biasanya dilakukan di pagi hari, biasanya banyak yang jatuh saat seperti itu, bisa karena memang sudah ranum, bisa karena hujan dan angin kencang di malam hari, bisa juga karena ulah nenek moyangnya batman. Destinasi berburu kueini hanya satu, yaitu di ujung Gang Wakaf, disana ada areal pemakaman, disebelah pemakaman ada masih ada areal pepohonan yang lebat dengan lantai yang diseilmuti oleh serasah dedauanan yang sering lembab, sering pacet mampir di kaki kami, itu sudah biasa, we are friend. Pohon Kueini disini besar – besar dan tinggi – tinggi, kami sulit memeluknya apa lagi memanjatnya, makanya kami cari yang sudah menyentuh bumi. Terkadang ada yang jatuh sebelum matang, ada yang sudah bekas gigitan kelelawar, ada juga yang sudah busuk, jadi tidak selalu beruntung. Selain pohon kueini, disini juga ada pohon duku dan namnam. Kini daerah  tersebut sudah rata menjadi perluasan areal pemakaman.
Berburu ikan Gobi juga hal yang seru kala itu, kami tidak ke sungai, melainkan ke parit – parit besar yang ada di Jalan Karya. Kalau bicara pahit sudah tentulah airnya hitam dan bau, sebab bersumber dari berbagai limbah rumah tangga. Tapi siapa sangka dibalik semua itu ada ikan yang masih sudi berdomisili disini, kala itu kami tidak paham yang namanya ordo lah, kingdom lah, famili lah, spesies lah, seperti dalam pelajaran biologi. Yang kami tahu hanya ada dua jenis ikan gobi, ikan gobi biasa dan jerman. Ikan gobi biasa sangat umum dan mudah di jumpai, warnanya kombinasi hitam dan perak, dengan perut gendon (buncit) bila sudah dewasa. Sedang ikan gobi jerman, selain jarang ditemui juga memiliki warna yang khas dan indah, bentuknya kecil memanjang, tidak ada yang gendon seperti ikan gobi biasa. Warna ikan gobi jerman perak dan sentuhan titik – titik orange dan biru. Aku tidak tahu kenapa namanya ikan gobi jerman, kami menyebutnya begitu kala itu, apakah di Opung (kakek) Hitler juga ada ikan seperti itu? Saat seperti itu jembatan jalan, warung, rumah, selain sebagai atap, juga seperti bunker persembunyian kami dari orang tua, kami mersakan ada kendaran dan orang – orang yang lalu lalang di atas kami.
Itulah beberapa aksi yang aku lakukan bila tidak ada ayah di rumah, kalau ayah di rumah misinya di cancle dulu hingga batas waktu yang belum bisa ditentukan. Kalau omak (ibu) tidak pernah marah kalau aku melalak kemana – kemana, karena katanya waktu kecil dia juga begitu. Apa ini yang dikatakan pepatah “kalau buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”.
Suatu siang, menjelang pukul 2, mulai dari emak – emak hingga anak – anak seumuruanku sudah menanti lantunan “kue... kue... kue...” dengan nada khas para penjual kue kala itu. seolah - olah para penjual kue keliling sudah pernah merumuskan suatu kesepatan kalau yel – yel mereka dengan lirik dan nada yang seragam seperti itu, namun ada juga yang mengimprovisasi menjadi “kue... kue... kue... sate kepedapedarang” bila ada dagangan tambahan.
Pedagang kue yang di nanti itu adalah Bang Bayu, beliau jauh lebih tua di atas kami, saat itu dia masih SMP, dia menjajalkan gorengan yang diolah sendiri oleh ibunya, rumahnya masih di Jalan Karya, di dalam lorong sempit yang ada di depan Gang Sukaria. Pertemuan simpang gang wakaf dengan Jalan Karya mengarah ke Barat, dari simpang Gang Wakaf rumah Bang Bayu belok ke kanan, atau ke uatara, gang wakaf dengan lorong rumah Bang Bayu masih pada satu sisi Jalan Karya yang sama, jarak simpang Gang Wakaf dan Simpang lorong menuju rumah Bang Bayu sekitar 200 m.
“Kue... kue... kue...” terdengar bang Bayu meneriakkan yel – yel.
Teriakan yel – yel pedagang kue itu terdengar lebih ramai dari biasanya. Aku bergegas keluar rumah mencoba menghampiri sumber suara. Ada yang berbeda dari Bang Bayu, dia sudah punya asisten sekarang, dia tidak sendiri lagi, dia sudah mendua dalam menjajalkan dagangannya. Asistennya teman sepermainan kami juga di Gang Wakaf, namanya aslinya Irfan, Cuma dia lebih Familiar di panggil dengan nama Ucok, dari namanya kita sudah tau kalau dia bukan orang sunda, padang, dayak, bugis, apalagi papua.
“eh... jualan kue sekarang kau Cok?” tanyaku kepada ucok sambil mengambil kue yang akan ku beli.
            “hehehe... ia Kim” jawab ucok kalem.
            “sejak kapan?”
            “baru mulai hari ni”
            “enak lah...”
            “ih bang enak kali dia... lain kali ajak aku lah bang” ucapku kepada Bang Bayu.
            “emang mau kau?” tanya Bang Bayu.
            “mau lah bang...”
            “ah... nanti marah omak mu!”
            “enggak bang... aman itu”
            “yaudah... nantilah abang ajak ya”
            “oke bang”
            “kue... kue... kue...” Bang Bayu meneriakkan yel – yel itu sambil bergegas pergi.
            “kim kami pergi dulu ya” ucap Ucok kepadaku.
            “oh iya... Ok cok”
            Bang Bayu biasanya membawa 2 keranjang kue, sekarang sudah nambah 1 keranjang yang dibawa oleh si Ucok. Tiga hari kemudian Bang Bayu mengahmpiri ku yang tengah bermain dengan kawan – kawan setelah jam makan siang. Dia menawarkanku untuk ikut berdagang dengannya, karena Ucok tidak bisa ikut berdagang hari itu. tanpa ada persiapan apapun, hanya membawa badan, aku langsung ikut bersama Bang Bayu ke rumahnya. Setibanya di rumah Bang Bayu, terlihat ibunya tengah menyelesaikan penyusunan kue ke dalam keranjang.
            “ini si Hakim mak... anak Uak Fathiah” ucap Bang Bayu ke ibunya.
            “oh iya... kuat kan kim?” ucap ibu Bang Bayu.
            “insy’allah kuat uak” jawabku
            “mak... Bayu pigi dulu ya... assalamu’alaikum”
            “ia Bay... wa’alaikumsalam”
            “pigi ya wak...” aku menambahi.
            “iya... hati – hati kalian ya”
            Ini lah pertamanya aku menjajalkan kue, kue yang kami dagangkan seperti; bakwan, risol, tahu isi, serta beberapa kue basah lainnya. Perbandingan gorengan dengan kue basah dalam satu keranjang ialah 70% dengan 30%, nyatanya memang orang lebih banyak menyukai gorengan, kita lihat saja bila ada acara syukuran, pasti yang lebih dulu raib kue kering, kue basah yang tersisa biasanya dibagikan kepada tamu untuk dibawa pulang.
Ahirnya aku pun ikut – ikutan meneriakkan semboyan “kue... kue... kue...”. awalnya terasa canggung bagiku, begini rupanya jadi tukang kue, namun lama – lama aku terbiasa meneriakkannya, justru makin semangat, karena aku bisa berteriak sepuasnya tanpa ada yang melarang. Terkadang kami meneriakkannya sama – sama, terkadang Bang Bayu saja, terkadang aku sendiri, begitulah suara kami saling bersahut – sahutan layaknya paduan suara.
“kuat kau kan Kim?” tanya Bang Bayu.
“kuat lah bang... memang rute kita kemana?” ucapku.
“udah kau ikuti aja... jauh ini dan sampai sore... pokoknya endingya kita ke Jalan Mesjid”
Rute yang kami lalaui saat itu di mulai dari rumah Bang Bayu, melewati jalan Karya menuju Gang Wakaf, dari Gang Wakaf melewati jalan potong ke Jalan Teuku Amir Hamzah, dari situ kemudian melewati jalan potong ke Gang Dukun, kemudian melewati jalan potong lagi ke Gang Subur, dari Gang Subur kami keluar lagi ke Jalan Karya, bergerak menuju Jalan Mesjid melalui jalan potong, and the and kami ngetam lama di sebuah kedai kopi di depan lapangan sepak bola, tempatnya antara simpang Gang Subur dengan Gang Mesjid, sekarang lapangan dan kedai kopi itu tinggal sejarah, sudah menjelma menjadi jajaran ruko. Di warung kopi itu kami berhenti lama sambil menonton televisi, menikmati kue yang masih tersisa sedikit sembari minum.
Menurutku saat itu apa yang kami lalui tidak jauh, mungkin bagi anak yang lain jauh, Bang Bayu mungkin tidak tahu kalau penjelajahanku dalam bermain lebih dari itu. sebenarnya kalau berjalan saja ke sana tidak lama, yang membuat lama adalah karena kami harus singgah – singgah dimana ada keramaian, warung, dan ibu – ibu yang sudah menjadi langganan Bang Bayu. Justru aku senang seperti ini, aku bisa jalan – jalan berhadiah, kalau melalak biasanya Cuma bawa badan, tapi kali ini ada yang ku bawa di tanganku, menurutku cukup berat untuk seukuran anak kelas 3 SD kala itu, saat berhenti adalah kesempatanku untuk merenggangkan tangan.
Saat itu banyak orang tua dan anak – anak di Gang Wakaf yang terheran – heran melihatku menjadi pedagang kue, apa anak PNS tidak boleh jualan kue? Sebenarnya yang aku pikirkan itu ketika melewati depan rumah, aku takut omak tahu dan memberitahukannya ke ayah. Tapi selama lewat aku tidak pernah melihat omak, mungkin omak lagi tidur siang, atau mungkin dia mengintaiku dari jendela, bila melewati rumah aku selalu berharap tidak ada pembeli, agar tidak dilihat omak. Selama menjadi tukang kue keliling sering aku jumpa dengan kenalan – kenalan omak, omak punya banyak kenalan seperti Gang Dukun dan Gang Subur, di seantero Jalan Karya omak memang terkenal, bukan karena artist, tapi karena omak punya pekerjaan sampingan sebagai agen jual-beli prabot rumah tangga second yang memungkinkan omak banyak relasi. Mereka banyak yang menyapaku dengan terheran, aku tidak malu, aku hanya takut mereka memberitahu bila ketemu omak.
Di tempat pemberhentian terakhir kami hanya sampai jam 6 sore, setelah itu kami bergegas pulang menyusuri jalan karya langsung ke rumah Bang Bayu, tanpa masuk – masuk lagi ke berbagai gang, sesekali masih ada juga yang mau membeli, terkadang masih ada sisa, terkadang sudah habis saat di beli pengunjung kedai kopi. Biasanya pukul 18.30 kami sudah tiba di rumah Bang Bayu, itu kali pertama kalinya aku menerima upah dari hasil keringat dalam hidupku. Aku di upahi sebesar Rp. 5000, kala itu sudah termasuk uang yang besar buat anak – anak seperti kami, jajan terbanyakku saja kala itu Rp. 500, sedang jajan terkecilku saat itu Rp. 100 yang dalam bahas chinese “cepek”, aku ingat sekali kalau merengek minta jajan sama omak seperti ini “mak.. cepek mak... mak... cepek mak...” Saat itu harga satu gorengan masih Rp. 350.
Biasanya kalau ada gorengan yang tersisa, ibu Bang Bayu membungkuskanku gorengan untuk di bawa pulang. Omak saat itu heran, karena aku tiba di rumah ketika waktu maghrib, aku sodorkan bungkusan plastik yang kubawa ke omak, aku yakin omak senang, ada bakwan dan risol. Omak heran melihat gorengan yang ku bawa begitu banyak, biasanya berkisar antara 5 dan 10 potong kue.
“dari mana kau kim?” tanya omak.
“pulang main – main sama Bang Bayu mak” jawabku.
“terus ini gorengan dari mana?”
“dari Bang Bayu lah mak, dari jualannya...”
Keesokan harinya hal seperti itu berulang lagi, aku pulang maghrib, dan bawa bungkusan plastik yang berisi gorengan lagi, omak keheranan. Bang Bayu mengatakan kalau jualan sama aku dagangannya lebih laris, lebih cepat dan banyak habis bila dibandingkan dengan si Ucok, kalau katanya aku bawa hoki, semenjak itu Bang Bayu lebih sering ngajak aku daripada si Ucok.
“kok sering kali kau pulang maghrib kim?”
“main sama Bang Bayu lagi mak... nih gorengan dikasih  mamak Bang Bayu mak”
Dengan seperti itu aku berharap omak senang, ternyata justru memicu kecurigaan di benak omak.
“emang kelen main kemana? Nih bawa gorengan lagi...”
“ke Jalan Mesjid mak”
“ngapain aja kelen kesana?”
“eee... eee... eee... sebenarnya hakim ikut jualan kue sama Bang Bayu”
“wah!!! Baguslah itu kim!!!”
Aku tidak menyangka ternyata omak senang, aku yakin karena omak juga sudah mandiri sejak kecil. Omak pernah mengatakan kalau beliau sudah jualan sejak kecil agar tidak minta uang ke nenek. Bahkan Uak Jannah, kakaknya omak, pernah mengatakan kalau Ayah dulu terpikat lihat omak di kampus karena omak perempuan yang nekat jualan asongan di kampus IAIN Medan.
“dikasih duit kau sama Bang Bayu?”
“dikasih mak...”
“berapa?”
“lima ribu”
“ih enak lah itu”
“jangan minta jajan lagi kau sam omak ya”
“kalau udah habis minta lah mak”
“kau simpan uangnya... jangan jajan aja kau”
“ia mak... tapi jangan omak kasih tahu ayah yah”
“kasih la omak sedikit uangmu”
Dari upah yang ku dapat, biasanya ku sisihkan sebagian ke omak. Pasti omak seperti itu biar uangku tidak habis, toh kelak akan jadi jajanku juga. Begitu sedikit cuplikannku bila tidak ada ayah di rumah. kalau ayah di rumah aku itu seperti anak pingitan, seperti katak dalam tempurung, bagaikan burung dalam sangkar, tidak bisa melanglang buana.
“Maaf kalau aku tidal memberitahukannya ke Ayah, aku cuma tidak mau ayah beranggapan kalau ayah tidak mampu membiayai hidup kami”



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendakian Gunung Pusuk Buhit

PMR Madya dan Wira Sekolah Kallista Mengikuti Pelantikan PMR Se-Kota Batam Tahun 2017

Penyampai Pesan Kematian