Isak Tangis Pernikahan
Oleh :
Hakim Syah Reza Lubis
“Boys Don’t Cry” itulah pesan
sekaligus judul lagu yang disampaikan The Cure, band legendaris asal Inggris.
Sepertinya apa yang disampaikan lagu tersebut tidak mampu menahanku agar tidak
menangis, sebab lagu tersebut menceritakan seorang laki – laki yang
ditinggalkan oleh kekasihnya, sementara aku menagis karena aku ditinggal mati
oleh ayah sejak kelas 2 SMA, yaitu orang yang tidak bisa disandingkan dengan
kekasih manapun.
Jujur, aku adalah lelaki yang sangat
mudah menangis. Aku menangis bukan karena di sentuh secara fisik, aku tidak menangis
hanya karena baku hantam dengan teman, tapi kerena di sentuh perasaannya. Adik
– adikku pernah mengakui kalau aku ini abang yang tegar, tapi aku katakan
kepada mereka “kalian tidak pernah tau kalau abang menangis di dalam
kesendirian dan kesepian”. Aku tidak pernah mengis di depan mereka, karena
tangis hanyak untuk konsumsi pribadi. Tapi bukan karena itu juga alasannya, aku
selalu ingat petuah ayah kalau aku menjadi contoh untuk adik - adikku, maka dari
itu aku tidak pernah menangis di depan mereka. Aku harus tampak tegar di
hadapan mereka, agar mereka juga tegar dalam menghadapi kenyataan, meskipun
dibalik semua itu aku rapuh.
Sampai saat ini aku sering menangis
tiba – tiba, bisa karena rindu omak (ibu) dan adik – adik di Medan, atau rindu
kepada ayah yang sedang di alam barzah. Air mataku jatuh tidak pernah mengenal
tempat dan waktu, pernah saat mengendarai sepeda motor karena terlintas
kenangan bersama omak dan almarhum ayah, pernah saat memainkan gitar, saat
menulis, hingga saat melihat sorang anak kecil yang tengah bermesraan dengan
ayah atau ibunya. Seketika rindu akan mereka menyerangku, seketika itu pula aku
menghadiahkan surah Al – Fatihah untuk mereka.
Sejak dibangku kuliah ada 2
peristiwa penting yang aku takut melaluinya, namun mau tidak mau peristiwa itu
harus di lalui, yaitu acara wisuda dan pernikahan. Aku sangat yakin saat itu
kalau melaluinya aku pasti akan menangis meski sedang di depan khalayak ramai,
karena biasanya acara seperti itu sering melibatkan sosok ayah di dalamnya.
Setiap kali aku melihat orang – orang yang tengah wisuda, aku melihat mereka
begitu bahagia karena ditemani oleh sosok ayah. begitu juga saat menghadiri
acara pernikahan, aku melihat ayah kedua mempelai ada didekat mereka. Aku yang
saat itu bila menyaksikan kedua peristiwa tersebut langsung bertanya di dalam
hati “aku nanti gimana ya?”
Terbukti saat aku dan teman – teman
lainnya diwisudakan pada pertengahan tahun 2015, aku menangis dengan terisak –
isak. Aku menangis meskipun acara wisudaku sudah dihadiri oleh keluarga, tapi
aku tidak melihat ayah datang ke acara tersebut. Di saat orang sedang menikmati
euforia kelulusan, aku justru bersedih karena ayah tidak bisa menyaksikan aku
wisuda, tapi aku yakin beliau pasti tau kalau aku sudah wisuda. Aku bahagia karena
telah menuntaskan jenjang starata satu, namun kebahagiaan itu dibalut dengan
kesedihan.
Satu peristiwa penting lagi yang
seharusnya dilalui dengan bahagia, namun aku menangis ialah saat aku melangsungkan
akad nikah dengan istriku saat ini, Siska Marcelina. Cerita kami dimulai
setelah aku merantau ke Batam untuk menjadi guru di salah satu sekolah swasta. Untuk
pertma kalinya aku menginjakkan kaki di Batam pada 19 Juli 2017.
Aku berkenalan dengan Siska melalui WhatsApp pada 5 Desember 2017 setelah
dikenalkan Wiwit, dia merupakan teman mengajarku di sekolah yang sama, teman
satu kuliah Siska saat di Padang, dan juga teman satu kontrakan Siska di Batam,
sedang Siska mengajar di sekolah swasta lain. Pertemuan pertama dengan Siska
pada 10 Desember 2017, tepat pada hari ulang tahunnya, namun saat itu aku tidak
tahu kalau itu hari kelahirannya, aku mengajaknya bertemu karena saat itu
adalah akhir pekan.
14 Desember 2017, kami memulai keseriusan menuju pernikahan, dengan target
awal satu tahun setelah itu, dimana satu tahun merupakan upaya dalam saling
mengenal dan mempersiapkan segalanya, baik mental maupun materi. Semenjak itu
Siska memperkenalkanku dengan orang tuanya melalui handphone, begitu juga
dengan aku. Saat kecocokan makin mantap di antara kami, sebenarnya aku ingin
mengatakan “yah... aku sudah menemukan wanita yang isny’allah kelak akan
menemani hidupku”.
14 Februari 2018 merupakan pertama kalinya aku dan Siska berangkat ke Kota
Solok untuk menemui orang tuanya, melalui Bandara Internsional Hang Nadim
bertolak ke BIM (Bandara Internasional Minangkabau). Tujuan kedatangan kami
sebagai pertemuan awal dengan orang tuanya kalau aku serius dengan Siska,
selama disana aku di introgasi habis - habisan dan diperkenalkan dengan sanak
saudara Siska. Saat di introgasi aku selalu berkata jujur dan apa adanya
tentang diriku dan keluargaku, tidak ada yang aku kurang – kurangkan dan aku
lebih – lebihkan, aku tidak bisa membayangkan betapa nekadnya aku saat itu.
Kalau kata orang itu merupakan momen yang menegangkan, justru saat itu aku
merasa enjoy dan mengalir begitu saja. Entahlah! Sepertinya semesta mendukung.
Niat awal pernikahan yang rencananya ingin dilangsungkan Desember 2018
DIBATALKAN! Kami tidak menyangka apa yang telah kami konsep berubah seketika.
memang benar, manusia itu hanya berencana, berusaha , dan berdoa semampunya,
sementara untuk hasilnya adalah urusan Allah. Justru orang tua dan keluarga siska
yang lain tidak mau selama itu. mereka mengatakan kalau sudah cocok untuk apa
di perlama lagi, lebih baik di percepat, kalau bisa dipercepat jadi enam bulan.
Mereka mengatakan tidak usah menunggu sampai terkumpul uang banyak, kalau
memang sudah cocok segera ditunaikan, insya’allah rezeki dan jalannya akan
selalu ada dari Allah.
Ramadhan 2018, giliran aku yang membawa Siska bertemu dengan keluargaku di
Medan. Selain karena aku sudah bertekad menjalani hubungan yang serius dengan
Siska, yang menjadi pendorong keberanianku membawa ia ke Medan ialah sikap
keluarganya yang telah menyetujui dan mendukung kami. 9 Juni 2018, kami
berlayar dari Pelabuhan Batu Ampar menuju Pelabuhan Belawan dengan menggunakan
Kapal Kelud. Setibanya di Medan aku perkenalkan Siska dengan Omak, adik – adik,
dan beberapa saudara. Alhamdulillah selama beberapa hari Siska di Medan
keluargaku menyambut baik keberadaanya dan apa yang kami rencanakan. Setelah
itu Siska pulang ke Solok dengan mengendarai Bus ALS (Antar Lintas Sumatera).
Karena orang tua siska selalu mempertanyakan waktu kedatanganku dan
keluarga ke Solok, setelah diskusi dengan sanak saudara akhirnya yang menjadi
waliku menemui keluarga Siska adalah Udak (Paman) Iman, adik almarhum ayah yang
ada di Bogor. Beliau berangkat dari Bogor, sedang aku dari Medan, kami sama –
sama menggunakan jasa Bus ALS. 27 Juni 2018, saat itu Sumatera Utara tengah
mengadakan pesta demokrasi dalam memilih calon gubernur, kali ini aku golput,
karena hari itu aku lebih memlih calon istriku daripad calon gubernur, hari itu
aku dan Siska bertunangan. Begini rasanya bertunangan tanpa sosok ayah, senang
karena sudah bertunangan, tapi sedih juga karena ayah tidak bisa menjadi
waliku. Malam itu selepas maghrib seluruh keluarga Siska dari pihak ibu
berkumpul dirumahnya, sesuai dengan adat minang. Sedang aku ditemani Udak Imam
dan udak dari Padang yang masih saudara kami, tunangan ini membawa hikmah, aku
jadi brtemu beliau, dan Udak Imamnya akhirnya bertemu Udak dari Padang yang
juga teman sependidikannya di Pesantren Purba – Mandailing Natal. Dari “Solok
Charter” tersebut akhirnya melahirkan beberapa keputusan, salahsatunya
pernikahan kami yang insy’allah akan dilangsungkan pada 2 September 2018.
Waktu bersejarah dalam hidupku akhirnya tiba. 2 Sepetmber 2018, pagi yang
sangat cerah, Gunung Talang tampak utuh dan kokoh mencapkan dirinya di daerah
penghasil beras yang terkenal dengan julukan “bareh solok”, sepertinya alam
turut merestui apa yang akan terjadi hari ini. di depan rumah Siska tenda sudah
berdiri tegak, lengkap dengan pelaminan dan kursi – kursi untuk para tamu,
hanya seperangkat alat musik pengiring pesta pernikahan yang belum datang.
Dikarenakan berbagai kendala dan situasi yang kurang mendukung, keluarga
yang mendampingi pernikahanku hanya adik – adik almarhum ayah. Udak Imam datang
dari Bogor dan Bou Manna yang datang dari Medan, satu hari sebelum acara
pernikahan mereka sudah tiba di Solok. Pukul 9 pagi, penghulu dari KUA (Kantor
Urusan Agama) setempat sudah hadir, suasana di rumah Siska Sangat ramai.
Keluarga dari pihak ayah dan ibu Siska memenuhi rumah, berbeda dengan aku yang
hanya didampingi 2 orang, meski demikian aku sangat berterimaksih kepada Udak
dan Bou, karena sudah jauh – jauh melalui siang dan malam untuk menghadiri
acara pernikahanku.
Akad nikah segera dimulai. Di sebelah kiriku ada Siska, di depanku ada ayah
Siska dan bapak penghulu. Kata orang ketika mengucapkan ijab kabul merupakan
saat - saat yang menegangkan, banyak mempelai pria yang berulang kali
mengucapkannya, karena tidak sempurna dalam melafazkannya. Yang awalnya hafal,
seketika langsung lupa dan gemetar karena berhadapan langsung dan bersalaman
dengan calon mertua. Hal itu justru tidak terjadi padaku, insy’allah aku siap
mengucapkannya. Setelah membuka acara pak penghulu menyuruh ayah Siska memulai
ijab kabul. Justru ayah Siska yang seketika lupa lafaz saat memulianya, mungkin
ini kali pertamanya beliau menikahkan anaknya, dan yang dia nikahkan merupakan
anak wanita satu – satunya dari tiga bersaudara. Tiga kali beliau mengulangnya,
hingga akhirnya beliau lancar.
“Wahai Hakim Syah Reza Lubis! Saya nikahkan anak saya Siska Marcelina
kepada engkau dengan mas kawin, tunai!” ucap ayah Siska sambil mendorong
tangannya ke hadapan tanganku untuk bersalaman.
“Saya terima nikahnya...” ucapanku terhenti seketika
Aku tidak bisa melanjutkannya bukan karena aku tidak hafal dan tidak
percaya diri, tapi karena seketika air mataku menetes. Di saat ayah Siska sudah
lancar melafazkannya, justru masalah beralih ke diriku, jabatan tangan terlepas
seketika. Aku menghapus air mataku yang mengalir deras diiringi isakan tangis.
Sektika sosok ayah merayap dalam ingatanku, aku sedih karena beliau tidak bisa
menyaksikan momen bersejarah dalam hidupku. Semua yang hadir hanya bisa terdiam
menyaksikan aku yang menangis.
“silahkan di ulangi lagi pak” ucap Pak Penghulu ke ayah Siska.
“Wahai Hakim Syah Reza Lubis! Saya nikahkan anak saya Siska Marcelina
kepada engkau dengan mas kawin, tunai!” ucap ayah Siska lagi.
“saya terima nikahnya...” ucapanku
terhenti kembali.
Airmataku menetes lagi, aku coba mengusapnya kembali. Bukannya makin reda,
malah semakin deras.
“tenangkan diriya dulu Kim...” ucap Udak Imam yang mencoba menyemangatiku
dari belakang ayah Siska.
“rindu sama ayah...” ucapku dengan nada merengek dan air mata yang terus
mengalir.
“iya nggak apa – apa itu... kan ada Udak” ucap udak kembali berusaha
menenangkanku.
Ku hapus airmataku dan ku coba untuk tenang kembali.
“silahkan diulangi lagi pak” ucap Pak Penghulu ke ayah Siska.
“Wahai Hakim Syah Reza Lubis! Saya nikahkan anak saya Siska Marcelina
kepada engkau dengan mas kawin, tunai!” ucap ayah Siska kembali.
“Saya terima nikahnya, Siska Marcelina binti Syafrizal dengan maskawin 2,9
gram emas, tunai!” ucapku dengan tegas dan lancar.
“syah bapak ibu sekalian? Syah?” ucap bapak penghulu.
“syah!!!” jawab yang hadir.
“alhamdulillah!!!” ucap kami yang hadir.
Berat cincin emas senilai 2,9 gram yang menjadi maskawin, merupakan usulan
dari Siska. Dipilih angka 2,9 karena melambangkan waktu pernikahan kami yang
diselenggrakan pada tanggal 2 bulan 9. Tanpa sadar hari ini bersamaan dengan
akhir atau penutupan dari acara spektakuler yang tengah berlansung di Indonesia,
yaitu Asian Games yang diselenggarkan di Palembang. Disaat acara itu di akhiri
atau ditutup, justru kami memulai dan membuka lembaran cerita baru melalui
pernikahan.
Komentar
Posting Komentar