NIKAH DUA KALI


Pernikahan Ayah (Adam Lubis) dan Omak (Fathiah Hasibuan) sebelum aku dilahirkan.

Oleh : Hakim Syah Reza Lubis
            1995, pagi yang cerah di Pagarangan Tonga, cuaca disini sangat sejuk dan segar, berbeda jauh dengan di Medan yang panas, banyak deru dan polusi dari asap kendaraan bermotor. Wajar saja berbeda karena Medan merupakan ibu kota Sumatera Utara yang terletak di dataran rendah, sedang tempat aku berada saat ini terletak di kaki Gunung Sorik Marapi. Perkampungan ini merupakan bagian administartif dari Kabupaten Tapanuli Selatan, namun sejak tahun 1999 setelah mengalami pemekaran, resmi menjadi bagian Kabupaten Madina. Madina tidak pakai “h” di ujungnya, kalau itu adanya di Jazirah Arab, banyak yang keliru, termasuk aku saat masih SD, Madina akronim dari Mandailing Natal. Secara zona geologis Pulau Sumatera, medan berada di Zona Timur dengan topografi landai, sedang Pagarangan Tonga berada di Zona Barat dengan daerah berbukit. Aku sangat senang disini, sekeliling mata aku bisa melihat perbukitan dengan hutan yang lebat, kalau malam cuacanya begitu dingin, kalau tidur harus menggunakan selimut, sedang siang cuacaya sejuk. Waktu tempuh dari Medan sekitar 24 jam, dari Medan kami naik Bus ALS (Antar Lintas Sumatera), bus tersebut berhenti di jalan lintas arah ke Natal, setelah itu kami melanjutkan perjalanan lagi dengan angkutan umum, melewati swah yang bertingkat – tingkat, jalan yang berkelok – kelok, serta aliran sungai yang terdengar deras di telinga.
            Sebagai anak kota, aku tidak sendiri disini, ada sepupuku Hamdi Syah Reza Lubis, namanya sama dengan nama belakangku, kalau aku Hakim Syah Reza Lubis. Kalau kata ayah “Syah” itu diambil dari Syah Iran yang artinya Rajan Iran, kalau di Indonesia berubah menjadi kata syeikh, selain itu untuk mengenang nama almarhum atok (kakek) kami yang bernama Rajo, itu merupakan bahasa mandailing yang kalau diartikan jadi Raja. “Reza” itu diambil nama Raja Iran yaitu Mohammad Reza Pahlavi yang pernah digulingkan melalui Revolusi Iran pada 11 Februari 1979. “Lubis” merupakan salah satu marga dalam Suku Mandailing yang menjadi penanda keturunan dari garis pihak ayah, karena dalam adat kami anak laki – laki merupakan pembawa marga. Aku dan Hamdi saat itu belum punya adik, sampai sekarang dia hanya 2 bersaudara, sedang aku 7 bersaudara, usianya di bawahku setahun. Ayahku anak pertama dari 4 bersaudara, sedang Udak (paman) Imam, ayahnya hamdi, merupakan anak ke 2.
            Kalau aku datang dari Medan, ternyata kedatangan Hamdi lebih jauh dariku, di dari Bandung. Waktu tempuh dia ke Pagarangan Tonga menghabiskan waktu 3 hari 3 malam dengan Bus ALS, syukurnya tidak “3 kali puasa, 3 kali lebaran” seperti lagu untuk Bang Toyib yang tidak pernah pulang – pulang. Hamdi datang dari Pulau Jawa dan menyeberangi Selat Sunda, melalui Pelabuhan Merak yang ada di ujung barat Jawa dan Pelabuhan Bekahuni di ujung tenggara Sumatera. Di tahun 2009 aku heran ada penyanyi solo pendatang baru yang nama belakangnya pakai Syah Reza, jujur aku sempat suudzon kalau orang tuanya terinspirasi dari nama sepupuku yang ada di Bandung. Karena sepengetahuankau selama ini yang menggunakan nama belakang Syah Reza hanya 4 orang, aku dan adikku Fadil Syah Reza Lubis, dan adiknya Hamdi, Ani Syah Reza Lubis.
            Kami tengah bermain di halaman rumah panggung yang lebih tinggi 1 meter dari jalan raya, dari jalan raya kemari harus menaiki anak tangga yang masih berupa tanah terlebih dahulu. Rumah panggung ini merupakan milik nenek kami, yaitu omaknya Ayahku dan adik – adiknya yang lain. Hampir seluruh bagian rumah panggung ini masih berbahan kayu, kecuali atabnya yang berbahan seng. Papan yang menjadi dinding rumah panggung memilki warna abu – abu menuju kehitaman, pertanda sudah lama bercengkrama dengan waktu. Di bawah rumah panggung ada ruang kosong yang bila dilalui orang dewasa harus merunduk terlebih dahulu, kalau kami tidak perlu merunduk, kami sering beramin – main di bawahnya, kami melihat banyak tumpukan kayu kering yang kelak akan dijadikan bahan bakar untuk memasak. Di bagian depan halaman terdapat tumbuh – tumbuhan yang menjadi pagarnya, dari sini kami dapat melihat rumah – rumah lain yang posisinya lebih rendah dari kami, di seberang jalan ada rumah yang posisinya lebih rendah dari jalan raya. Di kanan – kiri rumah nenek juga ada rumah panggung, kata ayah itu masih saudara kami juga, setelah aku cari tahu ternyata seluruh warga di kampung ini masih saudara kami. Itulah salah satu yang membutaku senang bila berada di kampung, kemana kita melangkah itu adalah saudara kita, berbeda dengan di kota yang sangat heterogen. Dari arah Medan, rumah nenek berada di sisi kanan jalan, tepat pada sisi tikungan jalan yang membelok ke kiri menuju Sibanggor. Sebelum kelokan, jalannya menanjak lurus terlebih dahulu, itu tandanya kalau rumah nenek lebih tinggi dari beberapa rumah lain di sekitar sini.
            Sejak pagi suasana di rumah nenek sangat ramai, baik di dalam maupun di luar rumah. Sepertinya akan ada acara besar yang akan berlangsung, kaum adam dan hawa di kampung ini tengah bergotong royong untuk mempersiapakannya. Di belakang dan samping kanan rumah, para ibu dan anak gadis tengah memasak di atas kuali yang besar dengan menggunakan kayu bakar. Aku sangat senang menghirup aroma kayu bakar yang berpadu dengan sejuknya aroma pepohonan, menurutku ini adalah ciri khas daerah pedesaan, aku tidak akan menemukannya di perkotaan. Di depan rumah para bapak dan anak muda tengah bekerjasama mendirikan tenda yang beratapkan terpal biru. Sedang di dalam lebih banyak orang – orang tua, sebagian di antaranya tokoh agama dan tokoh adat.
            Pukul 9 pagi, acara yang di nanti – nanti pun akhirnya dimulai. Di dalam rumah orang sudah ramai berkumpul, orang – orang duduk  berkeliling mengikuti bentuk dinding rumah, yang duduk di dalam sepertinya tokoh – tokoh penting di kampung ini dan keluarga terdekat, serta yang menjadi pusat perhatian semua orang dan yang menjadi alasan di selenggarakannya acaran ini adalah ayahku dan ayah hamdi beserta pasangan mereka masing – masing. Ke-2 pasangan itu duduk berdampingan pada salah satu dinding rumah yang mengarah ke tetangga sebelah kanan rumah.
ke-4 mempelai itu sangat gagah mengenakan pakaian adat mandailing, mereka mengenakan sesuatu yang sangat khas di kepala mereka, mempelai pria mengenakan seperti topi hitam besar dengan pernak – pernik berwarna emas, yang akhirnya aku tahu kalau itu namanya Ampu. Sedang mempelai perempuan menggunakan mahkota bertingkat – tingkat yang terbuat dari tembaga berwarna emas, yang akhirnya aku tahu kalau itu namanya Bulang. Aku lihat mereka merasa berat dengan apa yang mereka kenakan, aku mengetahuinya dari mata mereka yang terlihat sipit karena menahannya. Pakaian pria  di dominasi oleh warna hitam, dengan jas pada bagian atasnya dan celana hitam pada bagian bawahnya. Pakaian wanita didominasi oleh warna merah dengan rok berbahan songket pada bagian bawahnya. Mempelai pria mengenakan tambahan berupa sarung songket yang dikenakan dari pinggang hingga lutut, degan sabuk tembaga berwarna emas dan dua pisau kecil berwarna emas yang diselipkan secara menyilang ke dalam sarung. Mempelai perempuan juga mengenakan sabuk dan pisau kecil pada pinggang, mereka sama – sama menggunakan ulos yang ditaruh pada bahu.
Aku dan Hamdi menyaksikan resepsi pernikahan ayah kami dari luar pintu rumah panggung, kami tengah duduk di tangga kayu bersama beberapa orang yang begitu penasaran menyaksikan acara tersebut.
“dek... dek... tengok itu ayah kita nikah lagi...” ucapku kepada Hamdi.
“iya ya bang... kok bisa gitu yang bang... bukannya ayah kita sudah nikah ya...”
“itu lah... abang juga nggak tahu dek... kita lihat aja dulu lah”
“iya bang”
Itulah perbincangan kami yang saat itu masih terlalu polos karena keheranan melihat ayah kami yang nikah dua kali. Rangkaian acara sangat beraneka ragam, mulai dari pemberian nasehat dan doa dari para orang tua, pelantunan sayir – sayir berbahasa mandailing dengan iringan tabuhan gondang yang dimainkan oleh sekelompok pria, hingga ayah kami dan isri – istri mereka menyalami dan memeluk nenek. Wajah istri – istri mereka tampak putih karena bedak dengan bibir yang sangat merah. Setelah itu ke-4 mempelai tersebut diarak keliling kampung, orang – orang mengikutinya dari belakang, begitu juga denganku. Lantunan syair – sayir berbahasa mandailing dengan iringan tabuhan gondang masih tetap mengiringi arak – arakan tersebut, kami berjalan mengikuti jalan aspal yang menurun ke arah mesjid, jarak dari rumah nenek sekitar 500 m. Ada acara sebentar di mesjid, setelah itu kembali lagi ke rumah nenek, ditutup dengan makan bersama.
Siapa sebenarnya para wanita yang dinakhi ayah kami? Mereka adalah sosok yang telah melahirkan aku dan Hamdi, yaitu ibu kandung kami. Saat itu aku sangat heran dan penasaran kenapa ayah nikah lagi, padahal aku merupakan hasil dari pernikahan mereka. Apa aku terlahir sebelum mereka menikah? Walaupun aku tidak menyaksiakan pernikahan mereka, yah jelas lah tidak menyaksikan, aku masih entah berada dimana saat itu, aku terdeteksi di rahim omak (ibu) setelah satu tahun ayah dan omak nikah. Meskipun demikian aku pernah melihat album foto pernikahan ayah dan omak. Setelah duduk di bangku SD aku baru tahu kenapa ayahku dan Hamdi menikah dua kali. Karena ayah merantau ke Medan, dan Udak Imam merantau ke Bandung. Meski pernikahan mereka sudah dilansungkan di kota – kota tersebut, namun secara adat belum lengkap rasanya bila ayah dan Udak Imam tidak membuat upacara pernikahan di kampung kelahiran mereka, bahkan hal seperti itu di anggap seperti hutang yang harus dilunasi. Jarak pernikahan pertama dengan pernikahan secara adat tidak ada batas waktunya, namun lebih cepat lebih baik, agar sanak saudara di kampung tahu bahwa ada putra daerah mereka ada yang sudah menikah dan tidak menjadi bahan pembicaraan orang – orang di kampung. Seiring berjalannya waktu mungkin hal seperti itu mulai meluntur, terkait juga apakah keluarga tersebut masih menganut adat yang kental atau tidak. Faktor penyebab lainnya bisa berupa biaya yang besar, jarak yang jauh dari kota perantauan dengan kampung halaman, maupun waktu yang begitu padat untuk manusia modern saat ini.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendakian Gunung Pusuk Buhit

PMR Madya dan Wira Sekolah Kallista Mengikuti Pelantikan PMR Se-Kota Batam Tahun 2017

Penyampai Pesan Kematian