Rumah Makan Kita
Sabtu, 21 Desember 2013.
Pelabuhan sudah tampak dari sini, masih ada waktu sekitar dua jam lagi sebelum keberangkatan kapal ke Pelabuhan Ulee Lheue. Perut sudah mengintruksikan otak agar segera mencari rumah makan. Saat berjalan beberapa meter, tampak di sisi kanan jalan warung kopi yang sedang dihadiri para bapak, tidak ramai memang, sekitar tiga orang, mereka duduk terpisah, ditemani rokoknya masing-masing.
Setelah berkompromi, dengan hasil keputusan ini menjadi penampilan terakhir sebelum penyebrangan, kami menepi dan meminta izin kepada empunya warung. Ku mainkan gitar sebagai pertanda intro lagu, Fuad mengringi dengan shaker, kami mulai bernyanyi.
Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan
Sayang engkau tak duduk di sampingku kawan
Banyak cerita yang mestinya kau saksikan
Di tanah kering bebatuan
Menjelang akhir lagu, Dona menghampiri para bapak yang masih belum menyangka akan dihadiri artis tidak diundang seperti kami. Seorang bapak yang berada di sisi kanan dan dekat dengan dinding memasukkan selembar rupiah ke dalam bungkus permen yang ada di tangan Dona. Belum sempat kami mengakhiri lagu yang sedang didendangkan, bapak yang baru saja mendermakan uangnya, dengan antusiasnya mengajak kami ke suatu tempat.
“Ayo ikut!” ucapnya.
“Kemana pak?” tanyaku heran.
“Sudah ikut saja” jawabnya.
Menyikapi hal yang tidak diharapkan ini membuat kami saling bertatapan, tidak dituruti takut urusan makin runyam, dituruti takut ketinggalan kapal. Kalau begini, lebih baik uang yang bapak berikan tadi kami kembalikan lagi, apa itu hanya umpan saja agar kami terjebak dalam perangkap bapak?
Akhirnya kami turuti juga ajakan beliau, lewat jalan semen yang ada di samping kanan warung, kami terus mengekorinya. Rasa heran masih menyelimuti pikiran kami, sementara beliau masih saja berkata “ayo cepat.” Apa yang sebenarnya bapak inginkan dari kami? Mengapa bapak begitu bernafsu menyeret kami ke dalam skenario bapak?
Langkah terhenti seiring datangnya rasa keterkejutan, apa yang ada di hadapan kami saat ini benar-benar tidak disangka dan tidak terbayangkan sebelumnya. Kami dihadapkan pada tumpukan sayur-mayur, ikan, buah-buahan, serta rempah-rempah. Bapak tadi mempersilhakan kami ngamen di sini, tidak ku sangka beliau seorang ‘calo’.
Setelah meminta izin, dengan sedikit keraguan yang dibumbui keanehan, aku mulai memetik gitar, tentunya bukan untuk tumpukan-tumpukan yang ku sebutkan tadi, melainkan untuk para pedagangnya, sekaligus para pembelinya. Kalian tahu? Ini adalah sebuah pasar tradisional!
Pengamen memang sangat menyukai keramian, tapi bukan keramian orang sedang melakukan transaksi dan tawar-menawar seperti ini, melainkan keramian pengunjung di tempat makan. Baru saja aku menyelesaikan intro lagu, seorang bapak yang merupakan pedagang meminta kami pergi, rasanya ingin sekali ku akhiri drama ini, namun bapak yang telah menghantarkan kami sampai ke titik ini berbicara dalam bahasa Aceh kepada mereka yang aku tidak tahu artinya, mungkin beliau mengatakan kalau kami ini orang baik-baik dari keluarga baik-baik, mohon disambut secara baik-baik pula.
Ibu-ibu yang ada dihadapan kami tampak menikmati suguhan kami, hanya bapak tadi yang sedikit vocal, walau bukan vocalist, padahal aku vocalist-nya dan Fuad backing vocal-nya . Sejujurnya kami tidak ingin begini, karena tidak ada dalam list kami ngamen di pasar tradisonal. Pasar yang ada di hadapan kami sekarang bukanlah pasar liar, sepertinya memang sudah disediakan khusus oleh pemerintah setempat, karena seluruh pedagang bernaung di bawah satu atap dengan tiang-tiang besi yang menancap pada sisi-sisi lantai semennya.
Setelah memastikan situasi dan kondisi aman terkendali, bapak ‘calo’ tadi pergi meninggalkan kami, mungkin kopi yang masih bertengger di cangkir mengetuk sanubarinya. Kami ingin segera pergi, rasanya cukup satu lagu saja, suaraku juga tidak mampu mengimbangi keriuhan yang tercipta lewat kolaborasi antara para pedagang dan pembeli di sini.
Setelah ku beri kode, Dona segera menjemput rupiah dari mereka yang ingin memberi, ia hanya menjangkau bagian terdekat, tidak sampai ke tengah dan berbagai sudut pasar. Lagi pula ini sudah siang, pedagang yang ada sekarang tidak sampai memenuhi setengah kapasitas lapak di sini, sepertinya mereka kloter terakhir. Alahamdulillah beberapa lembar rupiah mengalir lagi ke bong kami. Pembungkus permen yang dibalik hingga tampak warna silver-nya dan dijadikan wadah pengutip uang oleh pengamen, di Medan disebut bong.
Kami tinggalkan mereka dengan melangkah menuju aspal, syukurnya tidak ada yang memberikan bekal berupa sayur-mayur, kalau buah-buahan mungkin kami tidak akan menolak. Saat melewati warung kopi, kami haturkan terimakasih ke bapak yang sudah menjadi ‘calo’ tadi, kami lanjutkan langkah menuju pelabuhan.
Setibanya di depan pintu gerbang pelabuhan, ke-istiqamah-an kami digoda oleh warung makan yang sedang ramai-raminya di sebelah kiri jalan, di depan pagar pelabuhan. Bukannya membeli makan siang, malah ingin ngamen lagi. Konsentrasiku sedikit terganggu saat melihat para pengunjung yang begitu lahap menyantap makanannya, ku coba profesional meski hanya street musician.
Lagi-lagi rupiah mengalir ke dalam bong, saatnya membeli makan, namun bukan di sini. Kami melangkah menuju warung yang ada di sebelah, melewati jalan tanah yang ada di antara pagar pelabuhan dengan beberapa warung di sini. Ternyata jalan ini buntu dan berujung ke rawa, warung yang ada di hadapan kami sekarang merupakan warung terkhir, karena tidak menjual nasi dan kolega-koleganya, berbalik arah adalah pilihan yang tepat.
Kami lewati lagi warung yang pertama menuju pintu pelabuhan, ada sekitar tiga warung di sini. Tiba – tiba terdengar suara perempuan menyapa kami dari warung makan yang baru saja kami ngameni, dia menyakan perihal kami sudah makan atau belum. Menyikapi pertanyaan seperti itu, membuat kami saling bersitatapan, dengan kompaknya kami menjawab ‘BELUM’, ekspresi kami tampak canggung dan malu-malu, apakah ini yang dinamakan malu-malu tapi mau?
Perempuan tersebut mengajak kami makan, awalnya kami menolak secara halus dengan mengatakan “Maaf, terimakasih,” meski demikian, ia tetap saja membujuk, merayu, serta meyakinkan agar kami menerima ajakannya. Keputusan kami sudah bulat sempurna, kalau kami TIDAK BISA menolak ajakannya.
Lewat arahan perempuan yang mengenakan daster biru dengan motif bunga-bunga berwarna merah tersebut, kami melampaui beberapa meja menuju steling yang ada di bagian belakang. Tirai steling yang jelas-jelas ringan dan tipis, terasa berat bagi kami saat membukanya, namun rasa sungkan kami sedikit berkurang ketika mendengar “Ambil saja sepuasnya, tidak usah malu-malu, ini rumah makan kita” dari perempuan berjilbab terusan tersebut.
Meski telah diyakinkan, tetap saja kami mengambil nasi, lauk, sayur, dan sambal secukupnya. Maksud hati ingan makan ala lesehan di sudut-sudut bumi yang jauh dari keramaian, namun takdir berkata lain, kini kami makan di meja bersama sisa-sisa pengunjung yang kami ngamen-i tadi. Agar terhindar dari fitnah, biasanya pengamen yang bijak itu tidak membeli makan di tempat yang baru saja di-ngamen-i, kalau pun harus membeli di situ, alangkah baiknya menunggu pengunjung yang di-ngamen-i clear dari TKP (Tempat Kreatifitas Pengamen). Namun yakinlah, kehebatan rasa lapar membuyarkan semuanya, sebab itu ‘sunnah’ bukan ‘wajib’.
Kami tampak begitu lahap, sampai-sampai perempuan tadi berkata “Tambah lah, nggak usah malu-malu, rumah makan kita ini.” Kami masih tahu malu, tentunya kami menolak secara halus dengan mengkambinghitamkan rasa kenyang. Layaknya orang-orang yang merasa asing dengan kami, beliau juga menanyakan asal, tujuan, dan maksud kedatangan kami ke pulau paling barat Indonesia ini.
Seusai makan, kami memberanikan diri untuk membayar apa saja yang telah masuk ke perut, meski sedari awal keyakinan berkata kalau ini sesuatu yang gratis, padahal belum pernah terlontar kata GRATIS dari penjual dan pemiliki warung. Akhirnya kami mendapat penolakan, jika cinta ditolak maka dukun yang bertindak, namun jika pembayaran ditolak maka hati yang jadi tidak enak, meski ujung-ujungnya di-enak-in saja.
Sebenarnya kami ingin mencuci piring yang baru saja kami gunakan, lagi-lagi kami ditolak, tahu kan rasanya ditolak dua kali? Tahu dong! Apa lagi yang punya segudang pengalaman akan itu. Karena keseringan ditolak, kami juga sudah siap bertolak ke Banda Aceh, meninggalkan pulau yang menjadi magnet perjalanan kami untuk kembali lagi ke Medan.
Indah adalah perwakilan kata terpilih dalam menggambarkan kesan pertama dan kesan terakhirku di pulau ini, bagaimana tidak? Kesan pertama datang dari alam sedang kesan terakhir datang dari manusia yang menempatinya. Detik-detik pertama kami tiba di pulau ini, matahari yang sedang terbenam masih sempat-sempatnya melukis langit di belakang perbukitan dengan warna kuning menyala, lama ku mengamatinya, sungguh sambutan yang mempesona. Detik-detik terakhir di pulau ini, kami dipertemukan dengan orang-orang baik yang sudah membantu kami dengan sepenuh hati, mulai dari ibu-ibu karyawan PLN hingga seorang ibu yang mengajak kami makan di warungnya.
Informasi dari ibu pemilik warung, kapal berangkat pukul 13.00 WIB, kami masih punya waktu satu jam lagi untuk memesan tiket. Karena tidak melihat plang nama dari restoran ‘kaki lima’ namun rasa ‘bintang lima’ ini, lantas aku menanyakannya ke ibu tersebut, ia mengatakan sebut saja “Warung Makan Buk Mun.” Mun itu ternyata nama beliau, tapi aku tidak banyak bertanya seperti wartawan akan kepanjangannya, mungkin saja Munaroh, mungkin juga namanya sama dengan tokoh utama sinetron Jadi Pocong yang pernah tenar di tahun 2002, yang jelas bukan Muna*ik.
Selain wajib masuk ke dalam galeri ingatanku, Buk Mun juga wajib masuk ke galeri blackberry-ku, sebelum berpisah kami berfoto terlebih dahulu, difotokan oleh abang yang bekerja di warung makan ini. Mulai dari kanan ke kiri; aku, Buk Mun, Fuad, dan Dona. Kami berempat tampak kompak dengan atasan serba hitam, kami bertiga mengenakan kaos hitam bergambar Pulau Wee, sedang beliau dengan jilbab terusan berwarna yang sama. Buk Mun berpesan “Kalau main ke Sabang jangan lupa mampir ke mari lagi ya.”
Kami melangkah menuju pelabuhan yang sudah di depan mata, dari tadi tiket tujuan Pelabuhan Ulee Lheue sudah meronta-ronta agar ia segela dipisahkan dari kelompoknya. Selamat tinggal Kota Sabang dan Pulau Wee, semoga aku diperkanankan untuk menginjak tubuhmu lagi di lain kesempatan, terimakasih atas suguhan alammu, terimakasih juga kepada seluruh orang baik yang telah membuat perjalanan kami menjadi lebih baik.
Komentar
Posting Komentar