Kesalahan Mendatangkan Nikmat

 

Sabtu, 21 Desember 2013.

Dari Bunker Jepang, kami beranjak menuju Tugu Sabang-Merauke, lokasi keduanya tidak berjauhan. Selain ke Tugu KM 0 Indonesia, rasanya tidak sah ke Sabang bila belum ke tugu yang menjadi iconic kota ini. Aku, Fuad, dan Dona tampak semakin kompak dengan kaos hitam bertuliskan SABANG. Lewat hobi tawar-menawarku, kami membelinya dengan harga minimalis di salah satu toko souvenir yang buka lebih awal dibanding beberapa toko lainnya.

            Setibanya di tugu yang pada puncaknya terdapat miniatur burung Garuda, kami segera mengabadikan moment dengan berfoto di dekatnya. Dari tempat yang tinggi ini kami dapat melihat birunya laut Kota Sabang serta jajaran bangunan yang menjadi ornamen bagi pesisirnya, semilir angin masih saja bersedia membelai wajah kami yang tampak semakin kusam karena belum mandi dan belum juga mengakhiri petualangan yang murah-meriah ini.

            Bukan hanya kaos di luar raga kami yang kembar, darah di dalam raga kami juga kembar karena sama-sama merah. Aku yakin kalau salah seorang di antara kami ada yang berdarah biru, mungkin ia tidak akan rela menggembel seperti yang kami nikmati saat ini. Kenapa jadi ngelantur seperti ini? Padahal aku mau bilang kalau tugu yang ada di dekat kami ini juga kembar, seperti namanya ‘Tugu Sabang-Merauke’, tentunya kembarannya berada di ujung timur Indonesia, Merauke. Tugu ini merupakan titik zenith dari petualangan kami, karena setelah ini kami akan kembali menyebrang ke Banda Aceh lewat Pelabuhan Balohan yang jaraknya sekitar 10 km dari sini.

            “Gerak kita man?” tanyaku ke mereka.

            “Boleh,” jawab Fuad.

            “Iya lah, biar nggak ketinggalan kapal kita,” Dona menambahkan.

            “Eh... tapi kita belum ada foto bertiga di sini,” ucapku.

            “Siapa yang mau motokan man? Tanya Dona.

            “Minta tolong sama orang yang lewat lah man.”

            Seorang siswi SMA berjilbab tengah melintasi trotoar, spontan ku hampiri dia, tanpa berpikir kenapa di jam segini sudah ada anak sekolah yang berkeliaran. Setelah ku yakinkan kalau kami ini adalah wisatawan yang datang jauh-jauh dari Medan, selain itu aku juga yakin kalau anak SMA biasanya lebih kekinian dalam mengambil foto. Syukurnya dia bersedia menjadi fotografer sesaat kami, ku serahkan Blackberry putihku (namun bukan untuk dimiliki), alhasil kami memilki foto bertiga juga di sini.

            “Akhirnya sampai juga kita ke tugu ini ya bro,” ucapku.

            “Iya bro,” jawab Fuad.

            “Sekarang kita di sini, semoga suatu saat nanti kita bisa sampai ke tugu yang di Merauke,” ucapku penuh harap.

            “Aamiin...” ucap kami bersamaan.

            Setelah puas, kami lanjutkan langkah ke Tugu Simpang Garuda, tempat kami diturunkan mobil yang membawa kami dari Pelabuhan Balohan, tepatnya 2 malam yang lalu. Kami turuti langkah mengikuti jalan utama dengan lighting dari mentari pagi yang mulai menyengat serta dihiasi ramainya suasana pagi di kanan-kiri jalan, sesekali kami menoleh ke belakang, berharap ada calon penghuni surga yang bersedia mobilnya untuk ditumpangi.

Saat aku kecil, di Medan ada pepatah versi lelucon yang berbunyi ‘Orang sabar pantatnya lebar’, aslinya ‘Orang sabar kuburannya lebar’, bila dikonversikan dengan kisah kami saat ini maka menjadi ‘Orang sabar langkahnya lebar’, lebar yang ku maksud yaitu langkah kami yang kian jauh dalam menapaki setiap jengkal bumi, maksa banget ya? Sudah jangan diambil pusing. Berkat kesabaran, yang selalu kami nanti selama ‘mengukur jalan raya’ akhirnya datang juga, kembali kami acungkan jempol kiri dengan gesture tubuh yang sedikit membungkuk, secara mau numpang, masak membusungkan dada.

            Pick up double cabin berkulit hitam perlahan berhenti, lewat kaca mobil yang terbuka, seorang bapak bertanya kepada kami “mau kemana kalian dek?”

            “Mau ke Pelabuhan Balohan pak,” jawabku.

            “Tapi saya tidak sampai ke sana, saya mau ke kebun, kira-kira setengah perjalanan lagi ke Balohan kalau dari simpang kebun saya.”

            “Oh... nggak apa-apa pak,” Jawab kami serempak.

            “Ya sudah, naiklah...”

            Setelah semuanya naik, tidak luput pula gitar yang menjadi alat perjuangan kami selama mengembara. Pick up melaju ke arah bandara di kota ini, mungkinkah beliau membelikan dan memberikan tiket pesawat tujuan Banda Aceh untuk kami? Sebercanda itukah beliau? Aku berucap demikian karena ada tipe manusia yang MEMBELI tapi tidak MEMBERI, maksudnya dia membantu membelikan tetapi kami yang membayarnya. Kenapa aku terlalu berharap pada peluang yang kemungkinan terjadinya hanya 0,1 %?

            Setibanya di depan simpang bandara, ternyata benar, kami tidak dibawa masuk ke dalamnya, hanya melewati saja. Ada perbedaan yang kontras sebelum dan sesudah kami melewati simpang bandara, mulai dari Tugu Simpang Garuda hingga ke simpang bandara masih terasa nuansa kota, di sepanjang jalan aku menyaksikan banyak bangunan seperti permukiman, pertokoan, dan perkantoran. Setelah melewati simpang bandara yang tampak hanyalah permukiman yang kian berkurang kadarnya, pertanda kalau kami mulai menjauh dari pusat kota. Perlahan permukiman hilang, kami mulai memasuki ruang terbuka hijau berupa hutan dan perkebunan, ku hirup nikmatnya udara special yang disuguhkan pepohonan.

            Kesadaranku menegur ingatan, ternyata jalan yang kami lalui menuju pelabuhan saat ini berbeda dengan jalan yang kami lalui ketika kami berangkat dari pelabuhan menuju pusat Kota Sabang, jalan sebelumnya (Jl. Bypass) tampak lebih lebar yaitu 4 ruas, sepertinya merupakan jalan utama memang ditujukan untuk angkutan umum, sedangkan ini (Jl. Terminal) hanya 2 ruas.

Ternyata bandara yang ada di pulau ini sudah berdiri sejak masa Hindia Belanda, setelah Indonesia merdeka dikenal dengan nama Bandara Cot Ba’U, lalu pada tahun 1982 namanya berubah menjadi Bandara Maimun Saleh, almarhum merupakan perajurit asal Aceh yang dilahirkan pada 14 Mei 1929.

Saat sedang khusyuk menikmati suguhan di sepanjang jalan, angin yang sedari tadi menampar wajah dan mengacak-acak rambut kami meredakan sikapnya, dapat kami rasakan laju mobil yang mulai melambat dan menepi ke kiri jalan, mobil berhenti di dekat pertemuan jalan aspal dengan jalan tanah yang ku yakini sebagai akses beliau menuju kebunnya.

Bapak pemilik mobil mengeluarkan kepalanya lewat jendala dan berkata “sampai di sini aja ya dek, bapak mau masuk ke dalam.”

“Oh iya..., tidak apa-apa pak,” lalu kami meloncat satu per satu dari bak mobil.

Mobil tersebut perlahan melaju menuju jalan tanah, “Hati-hati kalian ya..., semoga selamat tujuan,” ucap beliau.

“Iya pak... makasi ya pak,” ucap kami.

            Kembali lagi seperti sedia kala, kami menyusuri jalan di bawah surya yang hampir memuncak di atas kepala. Meski terik kami masih mendapat kesejukan dari hamparan hijau yang mengapit jalan raya di sini, apa lagi di sebelah kiri ada pagar alami berupa jajaran tumbuhan sehingga kami sedikit terlindungi dengan berjalan di atas bayang-bayangnya. Tidak ada trotoar di sini, kami menapak di atas tanah yang dikuasai rerumputan dan didampingi batu-batu kerikil.

            Selama menjalankan misi ini, yang membuat kami sering menolehkan wajah bukanlah suara manusia, melainkan suara mesin kendaraan yang melaju dari arah belakang kami, mohon agar tidak disamakan dengan Revolusi Industri di mana mesin lebih dihargai dari pada manusia. Jalanan di sini sepi, kendaraan yang melaju juga cukup kencang, mungkin karena di sini tidak ada permukiman.

            Seketika teriakanku meruntuhkan kebisuan di antara kami, bukan disebabkan kemunculan hewan buas, melainkan disebabkan kegirangan karena melihat mobil Gran Max yang melaju ke arah kami, “Bro! pick up bro!”

            Tanpa komando. Automaticly, kami kembali lagi mengayunkan kepalan tangan dengan memunculkan ibu jari. Mobil mendekat namun tidak berhenti, melewati kami begitu saja. Lantas kami kecewa, bukan karena tidak diacuhkan, melainkan karena yang kami kira pick up ternyata mobil Gran Max dengan atap utuh. Kami jadi malu sendiri dan tertawa sendiri. Maaf, maksudnya malu bersama dan tertawa bersama. Belum juga di gurun pasir, fatamorgana sudah mulai berani mempengaruhi pandangan kami, mungkin karena belum minum, jadinya kurang fokus, aku bisa menyebutkan brand-nya disini asal bayarannya sesuai.

            Tiada yang menyangka kalau Gran Max abu-abu tersebut berhenti sekitar 10 meter dari kami, kenapa baru berhenti sekarang? Kenapa tadi tidak? Apa karena warna pakaian dan kekusaman kami sudah berkamuflase dengan rerumputan, semak belukar, dan pepohonan di sini? Sehingga kalian baru tersadar kalau ada orang yang meminta tumpangan.

            Keknya itu mobil travel man...” ucapku.

            “Bisa jadi man,” ucap Dona.

            “Bilang nggak lah woi...” Fuad menambahkan.

            Kami melambaikan tangan kepada siapa saja yang ada di dalamnya, bukan lambaian perpisahan melainkan lambaian penolakan yang mengisyaratkan kalau kami tidak ikut. Semakin kencang kami melambaikan tangan, bukan membuat mobil tersebut memutar rodanya ke depan, justru mundur dan mendekati kami. Semoga mereka bukan penculik anak kecil yang suka menawarkan permen gratis, syukurnya kami sudah pada berbulu (di atas bibir).

            Kaca mobil bagian tengah terbuka perlahan. Kami menaruh heran dengan situasi dan kondisi yang sedang terjadi, karena kalau mobil travel yang terbuka itu biasanya bagian depan, rasanya tidak mungkin kalau setir mobil ada di bagian tengah. Seorang wanita berjilbab dengan goresan lipstik yang tidak mencolok, dan dengan riasan serta kostum yang elegan menanyakan tujuan kami, ternyata mereka juga hendak ke Balohan. Mereka mempersilahkan kami untuk bergabung, bukan di atas mobil, justru di dalam mobil, ini yang namanya ‘kalau rezeki tidak kemana’. Dalam dunia tumpang-menumpang ini kali pertama kami diajak masuk ke dalam, berkesan sekali.

            Mobil melaju membawa kami. Maafkan kami wahai matahari, yakinlah ini hanya sementara, sesaat lagi kau bisa melihat dan menjilat kulit ini lagi. Kami membentuk formasi 2 – 2 – 3, dua laki-laki yang usianya lebih tua sedikit dari kami di bagian depan, dan dua perempuan di bagian tengah. Kami bertiga pastinya di bagian belakang, Dona di tengah, Fuad di sayap kiri, sedang aku di sayap kanan.

            “Nggak apa-apa kan bertiga di belakang?” tanya wanita di sayap kanan.

            “Nggak apa-apa...” jawab kami.

            “Balohan dekat lagi kok, karena kita naik mobil, tapi kalau jalan ya jauh...” wanita di sayap kiri menambahkan.

            Rasanya ini sudah sangat mewah, tidak mungkin satu di antara kami harus seperti Indonesia yang diapit dua wanita, maksudnya dua benua. Kedua wanita ini tentunya mewawancarai kami, mulai dari asal kami hingga tujuan kami ke Sabang. usut punya usut, wanita yang di sayap kanan mengatakan kalau mereka mau memberika kami tumpangan karena mengingatkannya akan seseorang, selain itu gaya kami seperti mahasiswa, bukan seperti penjahat.

            Hamparan hijau di sepanjang jalan mulai diselingi rumah penduduk, tanpa terasa kami sudah memasuki kawasan yang ramai permukiman kembali dan banyak persimpangan jalannya. Aku jadi teringat salah satu materi yang disampaikan dosenku ketika belajar mata kuliah Geografi Perkotaan, bahwa salah satu indikator tingkat kekotaan suatu daerah ditandai dengan banyaknya jaringan jalan, faktor ramainya permukiman di pesisir adalah pelabuhannya  yang berperan sebagi pusat pertumbuhan wilayah. Firasatku mengatakan kalau yang kami tuju sudah dekat.

            Mobil berhenti di simpang tiga yang merupakan pertemuan Jl. Terminal dengan Jl. Bypass. Setelah mengucapkan salam perpisahan, para karyawan PLN setempat yang berbaik hati pun berlalu, seperti yang mereka katakan saat diperjalanan tadi bahwa mereka akan melakukan peninjaun sekaligus perawatan gardu listrik di area Balohan. Kedua ibu tadi memang sayang anak, terbukti karena teringat akan anaknya yang kuliah di Jawa, beliau jadi kasihan dan mengangkut kami ke mobil. Perempuan yang di sayap kanan tadi mengungapkan kalau anaknya yang sedang merantau tidak jauh-jauh dari usia kami, dia berharap dengan berlaku baik ke kami kelak anaknya mendapat karma di sana.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendakian Gunung Pusuk Buhit

PMR Madya dan Wira Sekolah Kallista Mengikuti Pelantikan PMR Se-Kota Batam Tahun 2017

Penyampai Pesan Kematian