Mandi di Hadapan Rubiah

Oleh: Taring

 

            Jum’at, 20 Desember 2013. Pukul 13.30 WIB, kami bertolak dari Tugu 0 Km Indonesia menuju Pantai Iboih, melangkah di atas aspal yang masih basah. Jalan yang kami lalui sekarang dominan menurun, tentunya tidak begitu menguras tenaga seperti sebelumnya kami menuju tugu.

            Setelah satu jam berjalan, kami duduk sejenak dalam rangka meluruskan kaki dan meneguk air putih, di pinggir jalan yang diapit oleh hutan. Dari tadi, sepanjang jalan aku menemukan banyak jejak kaki babi hutan di tanah basah samping jalan, aku juga menunjukkanya ke Fuad dan Dona.

            “Gimana nih kalau babinya datang man?” tanyaku ke mereka.

            “Lari gaya zigzag lah kita man.” Jawab Dona.

            “Manjat pohon juga boleh tuh bro.” Fuad menambahkan.

            “Semoga mereka tidak bersilatulrahmi dengan kita hari ini.” ucapku.

            “Hahahah” kami tertawa mengelabui lelah.

            “Lanjut lagi kita?” tanyaku.

            “Yok lah.” Jawab mereka.

            Kami berdiri kembali dan lanjut berjalan. Tidak beberapa lama, kami mendengar suara mobil yang datang dari arah belakang, spontan kami semua menghadap ke sumber suara. Kami semua serentak mengacungkan jempol sebagai isyarat meminta tumpangan. Mobil tersebut berlalu begitu saja, tanpa membuka kaca dan menyalakan klakson.

            “Enggak apa-apa man, mungkin muatan mereka full.” Ucapku ke mereka. Siapa tahu mereka menganggap kami ini sosok makhluk astral yang sedang mengusili mereka, mungkin mereka tidak sempat melihat kaki kami yang masih menapaki ke bumi.

           

Saat kami melanjutkan langkah, terlitas di benakku untuk menuliskan sesuatu di kertas, yang pastinya bukan ungkapan rindu untuk seseorang yang jauh di sana. Aku keluarkan spidol dan kertas HVS dari ransel hitamku, kemudian aku tuliskan beberapa kata dengan ukuran font paling maksimal, agar terlihat jelas oleh siapa saja yang membacanya.

“Man, fotokan dulu aku.” Ucapku ke Dona sembari memberikan Blackberry-ku, kemudian aku terlungkup di tengah jalan dengan gaya memampangkan kertas yang telah aku tuliskan kata-kata mujarab. Fuad dan Dona juga ikut berfoto dengan memegang kertas tadi, hanya saja mereka tidak mengikuti jejak langkahku dalam berpose, masih standar gaya orang pemegang kertas bertuliskan kode pengenal saat menyambut penumpang pesawat yang baru keluar dari bandara, atau gaya perempuan pemberitahu ronde dalam pertandingan tinju.

Selain merupakan upaya dalam mendokumentasikan perjalanan kami, berfoto juga merupakan hiburan dan penawar lelah bagi kami. Tidak beberapa lama setelah kami melanjutkan perjalanan, terdengar kembali suara mesin mobil dari belakang. Karena jalan di sini sangat sepi, mendengar desah mobil merupakan fenomena langka, sehingga radar kami dengan menudah menangkap sinyal kedatangan mobil.

Suara mesin mobil semakin dekat, wujudnya juga mulai kelihatan. Tanpa ada intruksi dari pihak mana pun, kedua temanku langsung mengacungkan jempolnya lagi. Berbeda dengan mereka, aku menunjukkan kertas bertuliskan kata-kata mujarab tadi. Saat mendekati kami, laju mobil mulai melambat, hingga akhirya berhenti.

“Alhamdulillah!” ucap kami berbarengan sambil saling berpandangan.

Berhentinya mobil ini pertanda bahwa orang di dalamnya bisa membaca pesan yang ku tulis, tidak hanya di situ, tentunya mereka juga bisa memahami keinginan kami. Menumpang dan memberi tumpangan di tengah hutan sama-sama memiliki resiko besar. Resiko bagi penumpang memiliki peluang kecil mendapatkan tumpangan karena disangka orang jahat yang berpura-pura meminta tumpangan, sedang bagi pemberi tumpangan kemungkinan akan menjadi korban tindak kejahatan seperti penodongan dan pembunuhan bila yang menumpang orang yang berniat jahat.

Kaca Pick up Double Cabin yang berhenti di hadapan kami perlahan-lahan terbuka. Orang di samping supir melirik kami dari ujung rambut hingga ujung kaki, sepertinya ia mencoba meyakinkan diri kalau kami ini bukan orang jahat. Bukankah gaya kami seperti pelajar? Sebab kami mengenakan sepatu dan ransel di bahu.

“Mau kemana kalian dek?” tanya orang di sebelah supir.

“Mau ke Iboih buk.” Jawab kami kompak.

“Habis dari mana kalian?”

“Dari tugu buk.” Jawabku.

“Ya sudah, naik lah.”

Kami segera naik ke bagian belakang mobil. Oh ya... aku hampir lumpa memberitahu kalian apa yang sebenarnya ku tulis di atas kertas. MOHON BELAS KASIHNYA, KAMI BELUM MAKAN? Bukan itu. TOLONGLAH KAMI YANG GEMBEL INI? Bukan juga. Aku cuma nulis dua kata kok, NUMPANG DONG plus dengan emot senyum. Ternyata benar kalimat bijak yang berbunyi “Kata-kata bisa mengubah dunia”, dengan menulis dua kata barusan kami langsung dapat tumpangan dan pengendara mobil yakin kalau kami ini orang ‘baik’, karena kami memang sedang tidak sakit. Mobil ber-plat merah ini pun mulai melaju membawa kami ke arah Iboih. Ku lirik jam tanganku saat angin mulai meraba-rab rambutku, sekarang pukul 14.40 WIB.

***

Pemandangan kelebatan hutan mulai berkurang, kami melihat lagi beberapa resort yang sudah kami lihat sebelumnya saat menuju ke tugu. Sepertinya Iboih sudah dekat, kami kaitkan kembali ransel ke bahu. Sekarang pukul 15.00 WIB, supir menginjak rem saat tiba di simpang Pantai Iboih. Satu per satu kami landing di tepi aspal dan mengucapkan terimakasih kepada orang-orang yang ada di dalam mobil.

Kami mempercepat langkah dari simpang yang posisinya lebih tinggi dari pantai, biru laut yang indah merayu-rayu dan menarik tubuh kami untuk segera menghampirinya. Saat kaki bersua lagi dengan pasir putih yang dijamahnya tadi pagi, tampak pengunjung sedang bermain air di pantai, namun tidak begitu ramai.

Kami menghampiri dia yang bertubuh tinggi dan sedang berdiri di tepi pantai. kami duduk di dekatnya dan melepaskan ransel, bahakan aku bersandar ke tubuhnya, namun dia tetap diam saja. Meski kami duduk di sampingnya, namun diam tetap saja berdiri. Ku lirik tubuhnya dari ujung kaki hingga ujung kepala, ternyata dia sebatang pohon yang meneduhkan kami. Bukannya tidak mampu menyewa pondok, tapi memang tidak mau.

Karena matahari masih menyisakan semangatnya untuk menyinari bumi, kami memilih untuk bersantai sejenak, jangan sampai kulit kami yang hitam ini semakin meningkat derajat kehitamannya. Dari sini kami menyaksikan keseruan pengunjung yang bermanja-manja dengan laut biru, ada yang snorkling, dan ada juga yang hendak menyebrang dengan perahu ke pulau kecil eksotis di seberang pantai ini.

Fuad dan Dona menyalakan api untuk membakar rokok, tega sekali kalian, sudah dibeli malah dibakar. Sementara aku memilih bermain gitar sambil menyanyiakan lagu Caffeine berjudul ‘Hidupku Kan Damaikan Hatimu’ yang dirilis pada tahun 2001.

Berjalan di tepi pantai

Tertiup angin berhembus

Sejukkan hati damaikan diri

Melihat biru

 

Ketika semangat matahari mulai surut, aku bertanya kepada mereka “Cemana? Mandi kita?”

“Yuk lah cuy.” Jawab Fuad.

“duluanlah kalian ganti kostum dulu, aku jaga tas kita di sini.”

Kami sudah melepaskan kain yang membungkus tubuh kami, hanya celana boxer yang tersisa.

“Cemana barang kita ini man?” tanya Fuad.

“Kalau enggak ada yang sebagian jaga ada yang sebagian mandi.” Ucap Dona.

“Udah... mandi aja kita semua, Cuma jangan jauh-jauh kali dan terus kita pantau.” Ucapku.

Rubiah dengan tubuh yang indah sudah memasukkan sebagian dirinya ke laut biru sejak lama, kami juga sudah tidak sabar untuk mandi dihadapannya. Perlahan-lahan kami masukkan tubuh ini ke air, terus berjalan hingga permukaan air sejajar dengan dada kami. Berkat kejernihan air di sini kami bisa melihat dengan jelas kaki kami di bawah sana. Lalu kami memasukkan kepala ke dalam air, pasir putih dan beberapa terumbu karang semakin terlihat jelas. Pantas saja ada penyewaan kaca mata renang dan peralatan snorkling di sekitar sini, selain karena terumbu karangnya yang indah, ternyata salinitas di sini cukup tinggi sehingga membuat mata kami sangat perih, belum pernah aku menemukan air laut yang mampu membuat mata seperih ini, kalau dia yang membuat hati terasa perih pernah. Aku pun berhipotesa “semakin bening air laut semakin tinggi pula salinitasnya.”

            Kami tidak berani menyentuh Rubiah, meski kami yakin dia sangat berharap untuk dijamah, masyarakat sini juga pasti senang agar dia tidak kesepian. Pengunjung lain tampak ada yang hendak menghampirinya. Dia memang tampak begitu dekat, untuk orang seperti kami sepertinya sulit mendekati Rubiah dengan cara berenang, bisa-bisa kami kehabisan tenaga di tengah perjalanan lalu tenggelam. Tapi bagi pasukan khusus Angkatan Laut, aku sangat yakin mereka bisa berenang ke sana, Selat Sunda saja bisa mereka arungi dengan berenang, apa lagi ini.

            Katanya kalau ke pantai ini, tidak lengkap kalau tidak naik ke atas tubuh Rubiah, sebab di sekeliling tubuhnya merupakan surga terumbu karang yang menjadi destinasi snorkling dan diving. Kami hanya bisa menggigit jempol menyaksikan perahu yang membawa wisatawan pergi ke dan pulang dari Rubiah. Untuk wisatawan sekelas kami, menggapaimu adalah sesuatu yang mewah. Selain itu kami juga harus menghemat waktu agar tidak kesorean mencari tumpanga ke Sabang.

            Aku beranjak dari air, menghampiri ranselku, setelah mengelap kedua telapak tanganku, ku ambil handphone. Untuk mengenang kalau kami telah mandi di hadapan Rubiah, kami pun bergantian mengabadikan momen dengan pulau eksotis tersebut sebagai latarnya.

            Kami dapat merasakan keramian di sini mulai berkurang, pengunjung sudah banyak yang beranjak dari air, mengganti pakain, dan bergegas ke kendaraan mereka masing-masing untuk pulang. Sesorang yang snorkling di dekat kami juga ikutan beranjak, memang dari tadi aku sudah mengamatinya. Ketika dia lewat di dekatku, seketika muncul keberanian untuk mengungkapkan susuatu kepadanya. Lebih baik kunyatakan sekarang, siapa tahu kamu tidak bertemu lagi setelah dari sini.

            “Permisi bang.” Ucapku dengan nada lembut.

            “Iya bang.” Jawabnya.

            “boleh saya pinjam kacamata snorkling-nya bang?”

            “Oh... boleh bang, tapi nanti dikembalikan ke tempat penyewaan ya.”

            “Ok bang, makasi ya.”

            Akhirnya kami ber-snorkling-ria, meski dengan satu alat untuk ber tiga. Kini kami semakin berani melawan air laut yang memedihkan mata untuk menyaksikan terumbu karang dan ikan-ikan meski perhatian matahari telah berkurang dalam menyinari dasar laut. Kami berfoto sebagai bukti kalau kami sudah snorkling dengan alat pinjaman di Pantai Iboih. Lumayan kami jadi hemat Rp. 150.000, karena penyewaan kaca mata snorkling ini dikenakan Rp.50.000/orang.

            Pantai sudah sepi, sekarang pukul 17.00 WIB. Kami segera bergegas untuk mengganti pakaian basah ini dengan pakaian kering. Sebelum masuk ke toilet aku meminta Dona untuk memotoku terlebih dahulu. Kalian sangka ini upaya untuk mendapatkan perbandingan fotoku before and after bath? Bukan! Aku memintanya karena aku melihat lukisan peta Pulau Wee lengkap dengan keterangannya di dinding tempat penyewaan alat snorkling dan diving.

            Usai mandi dan mengganti pakaian, dengan rambut yang masih basah kami meninggalkan Iboih dan berjalan menuju jalan aspal. Suka dan duka itu memang silih berganti menyapa kehidupan, baru saja kami bersenang-senang mandi di hadapan Rubiah, kini kami harus bersusah payah kembali agar bisa sampai ke Sabang. Sekarang pukul 17.30 WIB, ku palingkan pandangan ke belakang, dari posisi yang lebih tinggi ini aku tatap lagi Pulau Rubiah dan laut disekitarnya yang sedang merelakan kepergian Sang Surya.

            Hampir 15 menit kami berdiri, tumpangan yang dinanti tak kunjung tiba. Kami mulai H2C (Harap-harap Cemas), semoga masih ada kendaraan lewat yang bersedia mengangkut jasad kami. Ternyata kaki ini menyerah pada penantian, kami duduk di atas rumput hijau yang bukan milik tetangga, melainkan rumput liar di tepi jalan, kami bernyanyi demi memusnahkan kebosanan. Mulai terlintas dalam pikiran untuk mencari ‘penginapan’ di sekitar sini, maaf maksudnya ‘tumpangan untuk menginap’, seandainya sudah tidak harapan untuk kami balik ke Sabang sore ini.

            Saat sedang asyik bernyanyi dan bermain gitar tiba-tiba ada suara yang menghentikan performa kami.

            “Man, man, ada truk tuh!” ucap Dona sambil menepuk bahuku.

            “Oh iya bro.” Fuad yang melihat kedatangan truk juga menambahkan.

            Tanpa ada intruksi dari pihak mana pun, dalam sekejap kami sudah dalam posisi berdiri. Lalu kami mengayunkan jempol kiri secara berjama’ah saat truk berwarna putih tersebut mendekat.

            “citttttttttttttttttttttttt.” Begitu bunyi rem truk yang berhenti di depan kami.

            Betapa senangnya, sudah setengah jam kami menanti kehadirannya.

            “Mau kemana kalian dek?” ucap Pak Supir yang sedang sendiri.

            “Mau numpang sampai Sabang pak.” Ucapku dengan lembut.

            “Ayoklah... saya juga mau pulang ke sana.”

            “Alhamdulillah.” Ucap kami dengan penuh semangat dan saling bertatapan.

            Setelah diizinkan, kamu langsung menaiki bak truk yang berbahan besi tersebut, tinggi bak truk ini sedada kami. Setelah Pak Supir memastikan kami semua naik, truk mulai melaju membawa kami dibawah langit yang sudah berkurang kadar terangnya.

Sepertinya truk ini diberdayakan untuk mengangkut pasir, terlihat sisa-sisa pasir kering di lantainya. Laju truk yang cukup kencang membuat angin mengirim bulir-bulir pasir ke mata kami, pasir terbang berputar-putar di dalam bak truk, seketika kami menutup mata dengan lengan. Kemudian kami duduk dengan kepala menunduk meyentuh lutut yang terangkat.

Hasrat diri untuk menyaksikan pemandangan tidak dapat ku bendung, setelah ku pastikan pasir sudah bayak yang terhambur ke luar truk, aku berdiri dan melangkah perlahan ke sisi bak truk bagian depan, dapat ku saksikan sesekali matahari yang menceburkan tubuhnya ke laut dari interval pepohonan di sepajang jalan. Rodak truk terus berputar menuju Kota Sabang, mendampingi kami mengawali malam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendakian Gunung Pusuk Buhit

PMR Madya dan Wira Sekolah Kallista Mengikuti Pelantikan PMR Se-Kota Batam Tahun 2017

Penyampai Pesan Kematian