Transaksi di Keremangan Malam

Oleh: Taring

            Jum’at, 20 Desember 2013. Truk putih yang mengangkut kami dari Pantai Iboih berhenti seketika di pinggiran Kota Sabang, satu per satu kami melompat untuk turun dan mengucapkan terimakasih kepada Pak Supir. Ku lirik jam tanganku, sudah pukul 18.59. kami bergegas mencari masjid terdekat untuk shalat maghrib dan mandi. Karena 30 menit lagi masuk waktu isya, kami memilih untuk rehat sejenak dan melanjutkan langkah selepas isya.

            Ku selidiki inbox di handphone senterku, ada pesan dari wanita yang mengajak kami bertemu malam ini.

            “Kita ketemu di Taman Ria ya jam setengah 9 malam ya.” Begitu isi pesannya.

            “Man, dia ngajak ketemu jam segini.” Ucapku kepada Fuad dan Dona sambil menunjukkan inbox di handphone-ku.

            “Pas lah itu man, siap isya kita gerak dari sini.” Ucap Dona.

            “Udah kau cek dimana itu?” Tanya Fuad.

            “Belum bro, aku cek di Google Map dulu ya.”

            Jarak dari sini ke Taman Ria sejauh 1 km, jika di tempuh dengan berjalan kaki membutuhkan waktu 15 menit. Belum sempat ku tutup aplikasi Google Map di Blackberry-ku, adzan isya sudah berkumandang. Wudhu kami belum habis masa aktifnya, karena kami belum ada membuang apa pun dari tadi, buang angin, buang air kecil, maupun buang air besar. Kami segera masuk ke dalam masjid.

***

            Ku kencangkan tali sepatu, ku raih ranselku, dan siap melanjutkan perjalanan kembali. Setelah keluar dari gerbang masjid, kami belok ke kiri menyusuri Jalan Abdul Majid Ibrahim. Sudah 5 menit kami berjalan, aku melihat ada beberapa orang pemuda yang tengah berkumpul di sebelah kiri jalan, lalu ku hampiri.

            “Permisi bang.” Ucapku sopan.

            “Iya bang.” Jawabnya.

            “Benar ini jalan ke Taman Ria bang?” aku memastikan.

            “Benar bang, dari sini bisa.” Jawabnya menunjuk ke arah kirinya.

            “Tapi dari sana juga bisa bang.” Tambahnya lagi sambil menunjuk ke arah kanannya, yaitu ke arah masjid tempat kami shalat.

            “Jadi lebih dekat dari mana bang?” tanya Dona.

            “Sama saja sih bang.” Jawab pemuda.

            “ngomong-ngomong orang abang darimana ya? Sepertinya bukan orang sini.” Tanya pemuda yang lain.

            “Kami dari Medan bang.” Jawab Fuad.

            “Jauh juga ya bang, jadi ke sini liburan?”

            “hehehe... iya bang.” Jawab kami kompak.

            “keren gitarnya bang.” Ucap pemuda melirik ke gitar yang dipegang Fuad.

            “hehehe... makasi bang.” Jawab Fuad.

            “Nyanyi-nyanyi dulu lah bang di sini bang.” Ajak si pemuda.

            “Maaf bang kami sudah ada janji mau jumpa seseorang, lain kali aja ya bang.” Aku menolak dengan lembut.

            Kami melanjutkan perjalanan kembali melewati GPIB Patmos Sabang, kemudian kami memasuki Jalan Diponegoro melewati Taman Burung, Tugu Sabang Merauke, dan Kantor Wali Kota Sabang. Pukul 20.30 kami tiba di Taman Ria, ku keluarkan handphone kecilku untuk menghubungi wanita yang membuat kami harus menemuinya malam-malam begini.

            “hallo.” Ucapku saat panggilanku diangkat.

            “iya hallo.” Jawab perempuan lewat handphone, kalau jawabnya dari atas pohon kami tidak rela melihat ke sumber suara.

            “kami sudah di Taman Ria, dimananya ya?” ucapku.

            “kalian datang dari arah mana?”

            “dari kantor wali kota.”

            “maju saja terus, saya pakai baju putih, sebelum simpang tiga.”

            Kami terus melangkah ke arah yang dimkasud. Hingga akhirnya melihat sosok berkostum putih dari kejauhan, sosok tersebut duduk di atas sepeda motor bermandikan kilauan kuning lampu jalanan yang belum mampu menghapus gelap di sekitar sini. Semakin dekat, semakin tampak jelas sosok yang terlihat dari kejauhan tadi, ku lihat kakinya masih menginjak bumi, tidak melayang, syukurlah dia manusia. Ternyata dia juga memperhatikan kami sedari tadi, “sini... sini...” ucapnya sembari memberikan isyarat dengan tangan.

            Ini lah wanita yang kami cari dari tadi, ia berada di sisi kanan jalan, kami menyebrang dan menghampirinya.

            “Darimana kalian?” ia bertanya.

            “Dari masjid di Jalan Abdul Majid Ibrahim kak” jawabku.

            “Jalan kalian?”

            “Iya kak.” Jawab Dona.

            “Mau naik taxi ntar habis uang kami, makanya kasih discount-lah kak”

            “hehehe... sudah murah itu, karena sama kalian aja nya itu.”

            “Jadi nggak bisa kurang lagi kak?”

            “Nggak bisa dek, biasa sama orang lebih tinggi harganya, karena kalian pengamennya aja nya.”

            Transaksi pun berlangsung, kami menyerahkan uang di awal terlebih dahulu, barulah kami menikmati jasa dari nya. Meski pun dia sendiri, aku yakin karena keprofesionalannya dia mampu memenuhi keinginan kami bertiga. Kita lihat saja hasilnya nanti, seperti judul lagu Samsons, semoga jadi ‘Kenangan Terindah’ untuk kami.

***

            Setelah menyelesaikan urusan dengan perempuan tadi, kami tersadar belum makan malam. Kami ngamen sebentar di beberapa warung yang masih setia menunggu pelanggannya saat detik-detik terkahir. Alhamdulillah uang yang terkumpul bisa untuk membeli menu makan malam kami. Meski lapar sudah menyapa, kami sepakat untuk mencari tempat peristirahatan terlebih dahulu, setelah itu barulah kami buka bungkusan yang ada di dalam pelastik ini. kami trus melangkah dan mengikuti kata hati yang sedari tadi menjadi penunjuk arah. Kami melewati rumah-rumah penduduk yang sudah menutup pintu, aku menghayalkan mereka yang sedang bersiap-siap untuk tidur di atas ranjangnya, sementara kami masih mencari ranjang berwujud apa saja untuk ditiduri malam ini.

            Langkah kami melambat ketika melihat bangunan seperti halte di sebelah kiri jalan. Aku coba menguraikan bentuk bangunan ini, terdiri dari 2 bangku beton berbentuk leter ‘U’ lengkap dengan sandarannya, yang satu menghadap ke jalan, sisi yang satunya lagi menghadap ke pantai, tiang dan atapnya juga berbahan beton. Mataku mulai menjelajahi sekitar, hingga aku menemukan tulisan ‘Taman Wisata Kuliner’, tapi tidak ada satu pun orang yang berjualan makanan di sini, yang ada hanyalah euphoria bapak-bapak yang tengah asyik bermain kartu di depan warung yang sudah tutup di seberang jalan, aku lirik jam tanganku sudah pukul 22.00 WIB.

Suasana Taman Wisata Kuliner Sabang di pagi hari.

            “Makan di sini aja lah kita man...” ucapku ke Fuda dan Dona.

            “Yok lah, udah pas ini tempatnya,” kata Dona.

            “Makan malam diiringi debur ombak ya kan...” tambah Fuad.

            Kami buka 2 bungkus nasi goreng yang masih rela menyisakan kehangantannya buat kami yang mulai diraba angin malam, kami satupadukan, lalu kami lahap demi mengikuti komando lambung yang sedari tadi sudah memerintahkan untuk makan. Maafkan kami lambung, sudah membuatmu lama menunggu.

            Tidak butuh berjam-jam untuk kami membersihkan bungkus nasi dari tumpukan yang ada di atasnya, hanya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya kami sudah membuat licin daun pisang yang menindih kertas pembungkus.

            “Alhamdulillah, makan juga kita malam ini man,” ucapku.

            “Iya bro,” ucap Dona yang mulai menyalakan api untuk membakar rokoknya.

            “Nggak terasa juga udah 2 malam kita di sini ya,” ucap Fuad yang sudah memproduksi asap lewat rokoknya.

            “Iya, besok kita udah harus nyebrang lagi Banda Aceh,” kataku.

            Kami terus berbincang diiringi canda dan tawa sambil mengingat kembali apa yang telah kami lalui hari ini. berjalan selepas subuh menuju 0 km Indonesia sambil menumpang apa saja yang bisa kami naiki. Ternyata Allah mempertemukan kami dengan orang-orang baik yang rela kendaraannya ditumpangi. Kalau saja tadi sore kami tidak dapat tumpangan ke mari, bisa-bisa kami tidur di sekitaran Iboih.

Awalnya tekad kami berjalan kaki dari Sabang menuju km 0 Indonesia sedikit tergoyahkan, karena kemarin malam ada seorang anak SMP yang mengatakan kalau di sana banyak berkeliaran babi hutan, ucapannya tetap jadi masukan bagi kami untuk berjaga-jaga, namun bukan berarti kami harus mundur, mengingat kami sudah berhari-hari dari Medan. Syukurnya saat melewati hutan antara Pantai Iboih dan Tugu km 0 Indonesia tidak ada babi yang show off, mungkin mereka lagi rapat persiapan menjelang pergantian tahun. Meski demikian, kami percaya akan keberadaan si babi, karena ia meninggalkan tapak kakinya buat kami.

            Nyanyian ombak yang semakin malam semakin memecah keheningan malam, membuat kami ingin mengenalnya lebih dekat. Taman ini seakan milik kami bertiga, tidak ada siapa-siapa di sini, selain tanaman yang kedinginan dan beberapa pohon kelapa yang sedang meliuk-liukkan daunnya. Kami melangkah ke ujung taman yang berbatasan dengan pantai, kami tidak bisa menjamah laut, sebab posisi kami lebih tinggi 1 meter, kami hanya bisa melihat upaya ombak mendobrak pembatas beton yang diterangi batas jangkauan lampu-lampu taman. Setelah puas, aku dan Fuad kembali lagi ke tempat yang ku sebut halte.

            “Mana gitar kita man?” ucapku ke Dona.

            “Tuh...” jawab Dona sambil menunjuk ke arah bapak-bapak di seberang jalan yang masih belum mengakhiri permainan kartunya.

            “Dipinjam mereka?” tanya Fuad.

            “Iya bro,” jawab Dona.

            Jarum di jam tanganku sudah mengarah ke pukul 23.00 WIB. Aku duduk di bangku yang menghadap jalan, sementara Fuad duduk di bangku yang menghadap laut bersama Dona. Perlahan ku buka ranselku dan mengambil sesuatu, tentunya bukan selimut, untuk melindungi tubuh dari dingin aku hanya membawa hoodie merah yang ku beli di Pajak (Pasar) Sambu, di klaster penjualan pakaian-pakaian bekas. Di tempatku, pakaian bekas seperti itu disebut pakain monza, almarhum ayah pernah menjelaskan asal-usul kata monza. Untuk Medan, penjualan pakaian bekas yang bersumber dari luar negeri tersebut bermula di Jalan Mongonsidi, karena yang dijual adalah barang-barang branded kelas dunia dengan harga yang sangat murah, muncullah istilah Mongonsidi Plaza (Monza).

            Kini ditanganku ada sepucuk surat yang ditulis di atas kertas berukuran 21 x 29,7 cm, ku perhatikan dengan seksama, di bagian bawahnya tertanda Wali Kota Sabang, Zulkifli H. Adam. Ku coba mengintropeksi diri, wajar sih Bapak Wali Kota memberikannya karena apa yang telah kami perbuat selama berada di wilayah administratifnya. Ini malam terakhir kami di sini, besok kami akan meninggalkan pulau ini untuk menyebrang ke Banda Aceh.

            Sebelum tidur, akan aku ceritakan apa yang menjadi isi suratnya. Berikut aku tampilkan: Dalam Rangka Persatuan dan Kesatuan Wawasan Nusantara, Wali Kota Sabang atas Nama Pemerintah Republik Indonesia menyerahkan sertifikat ini kepada Hakim Syah Reza Lubis sebagai bukti dan kenang-kenangan telah telah tiba di Nol Kilometer Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tercatat sebagai pengunjung ke 84191. Berkat jasa perempuan yang kami temui di depan Taman Ria, akhirnya kami bisa memiliki sertifikat tersebut, karena itu memang pekerjaannya. Fuad dan Dona juga mendapat demikian, Fuad sebagai pengunjung ke 84192 sedang Dona pengunjung ke 84193. Sertifikat ini bukan untuk digadaikan dalam rangka pembelian rumah, motor, mobil, dan sebagainya, melainkan untuk dipajang selamanya di ‘ruang kenangan’, selain itu juga merupakan salah satu bukti kalau kami sudah menapakkan kaki di Nol Kilometer Indonesia.

            Ku masukkan lagi suratnya ke dalam ransel, di bagian yang memang didesain untuk penyimpanan laptop, agar terhindar dari kerusakan. Karena bahannya yang lebih tebal dari kertas biasanya, aku yakin tidak mudah penyok, namun kelak akan aku laminating agar tetap awet hingga ke anak-cucu. Ku lihat Fuad dan Dona masih saling berbincang sambil menikmati kehangatan dari rokok mereka masing-masing, sehemat-hematnya kami, belum pernah aku lihat mereka larut dalam momen ‘romantic smoking’, satu untuk berdua. Belum ada kesepakatan kalau malam ini kami bakal menginap di sini, namun sepertinya hati kami sudah saling terkoneksi kalau halte ini lah yang akan menjadi ranjang kami hingga esok pagi. Awalnya aku hanya berniat untuk merebahkan badan demi menetralisir kelelahan yang hinggap di tubuhku sambil melihat foto-foto perjalanan di Blackberry Gemini-ku, dengan ranselku sebagai bantalnya. Seketika pandanganku mulai buyar, rasa kantuk menyerangku, cepat-cepat ku masukkan handphone-ku ke kantong celana. Semuanya menjadi gelap, semoga esok matahari akan menggantinya dengan terang.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendakian Gunung Pusuk Buhit

PMR Madya dan Wira Sekolah Kallista Mengikuti Pelantikan PMR Se-Kota Batam Tahun 2017

Penyampai Pesan Kematian