Dari Presiden untuk Presiden
Oleh: Taring
Kalau Virgoun Tambunan dari Republik Indonesia punya ‘surat cinta’ untuk Starla, aku juga punya meski bukan untuknya. Lantas kepada siapakah surat cinta ini ku alamatkan? Tentunya bukan kepada ‘model-model’ yang suka nongkrong di Citayem Fashion Week, atau kepada Gotabaya Raja Paksa yang dilaporkan media kabur dari Sri Lanka melalui Maldives menuju Singapura.
Surat ini ku tujukan kepada seorang presiden yang tentunya masih menjabat, bukan yang telah mengundurkan diri dan meninggalkan rakyatnya karena krisis ekonomi dan terlilit hutang luar negeri seperti Raja Paksa, seandainya Sri Lanka punya Raja Ikhlas, pastilah presidennya tidak terPAKSA dalam mensejahterakan rakyatnya. Selaku presiden Republik Ilusi, surat ini ku tujukan pada mu wahai presiden Republik Imitasi. Demikian namanya, karena memang pemerintahanmu sangat gemar meniru negara-negara maju agar dianggap setara, namun mengabaikan kearifan lokal yang sudah menjadi warisan turun-temurun setiap masyarakat adat di sana. Sampai detik ini negaramu sama sekali belum terdaftar di PBB, tidak ada satu pun yang tahu penyebabnya. Berbeda dengan Republik Indonesia yang sudah bergabung menjadi anggota PBB ke-60 sejak tahun 1950, meski sempat keluar-masuk, tolong jangan bayangkan seperti ingus, tentu ada alasan kuat mengapa demikian.
Barisan kata-kata ini bukanlah surat cinta biasa, melainkan surat cinta luar biasa untuk orang-orang yang luar biasa. Selain menulisnya dibumbui kejujuran, aku memulainya di 1/3 malam, tepatnya pukul 03.57 pagi waktu setempat, Senin, 25 Juli 2022. Orang-orang luar biasa yang ku maksud adalah rakyatmu atau yang kerap disapa warga +26. Sungguh rakyatmu sangat sabar menghadapi ulah rezimmu yang gemar merekayasa undang-undang demi kesejahteraan penguasa dan pengusaha. Wahai presiden Republik Imitasi, sejujurnya surat ini aku tujukan kepada rakyatmu, namun tidak mungkin aku memperbanyaknya sesuai dengan pendudukmu yang berjumlah 270.270.270 jiwa. Sesama presiden, biarlah ku tujukan pada mu lebih dulu, lalu kau yang mem-forward pesan ini ke mereka. Meski pun mereka bukan rakyatku, tapi atas nama kemanusiaan, secara pribadi aku menaruh perihatin yang mendalam akan penderitaan mereka, ditambah lagi dukungan dari rakyatku di sini, yang sudah lama memintaku agar segera menegurmu. Lagi pula negara kita sama-sama memiliki singkatan RI, ayolah kita sejahterakan rakyat kita seperti perlakuan pemerintahan Republik Indonesia terhadap rakyatnya.
Sebenarnya ada segudang hal yang ingin ku sampaikan kepada mu, tapi karena kapasitas kertas ini hanya mampu menampung 5.000 karakter atau 760 kata, aku tidak bisa menyampaikan semuanya di sini, mungkin akan ku lanjutkan di surat berikutnya. Bila kelak kau sudah membaca surat ini, kau tidak perlu repot-repot untuk membalasnya, aku hanya berharap kau menunaikan apa yang kami sarankan dan media-media internasional memberitakan reputasi baikmu dalam hal penegakan keadilan sosial yang loyo. Di paragraf berikutnya akan ku utarakan apa yang menjadi kegelisan kolektif atara aku dan rakyatku.
Pertama, terkait kegiatan deforestasi atau perambahan hutan, atau apalah namanya, yang jelas karena praktik ‘operasi plastik’, wajah hutanmu sudah terkonversi menjadi lebih buruk, kehijauannya sudah sirna. Katanya kau ingin membuka lahan pertanian baru agar kebutuhan pangan rakyatmu semakin tercukupi, kau ingin memperluas perkebunan kelapa sawit demi meningkatkan komoditi ekspor, bahkan kau rela menelanjangi hutan adat karena pemindahan ibu kota. Bukankah negaramu dan Republik Indonesia sama-sama bagian dari paru-paru dunia, jangan kau pura-pura tidak tahu, aku harap kau mengimitasi negara Republik Indonesia yang senantiasa menjaga kelestarian hutannya.
Kedua, terkait kebebasan berpendapat. Terdengar kabar, kalau kau mulai merancang undang-undang yang salah satu isinya ‘Tidak Boleh Menghina Pemerintah’. Yang kau maksud menghina itu apa? apa karena rakyatmu mengkritik kinerjamu lalu kau merasa terhina? Begitulah sejatinya pemimpin! Jangan Baper (Bawa Perasaan)! Harus ‘tersenyum’ dalam menerima keritik meski tanpa solusi, karena kalian dipilih rakyat memang untuk memikirkan solusi bagi permasalahan-permasalahan di negara kalian, ya kalau bingung bisa bertanya kepada ‘orang pintar’ yang memiliki segudang koleksi gelar. Ingat, kau itu ‘pemimpin’ bukan ‘bos’ apalagi ‘raja’, jadi mengabdilah kepada rakyat, apalagi kalian menganut sistem demokrasi. Aku tidak mau menyebut Republik Indonesia lagi, nanti pemerintahannya melambung ke awan karena keseringan dipuji, masih banyak negara-negara pengusung demokrasi lain yang bisa kau jadikan panutan.
Ketiga, sekaligus yang terakhir untuk surat kali ini, terkait kesejahteraan petani. Dulu sebelum terpilih jadi presiden, dalam setiap kampanye kau mengumbar ingin memperjuangkan hak-hak wong cilik, termasuk di dalamnya petani. Tapi lihatlah kini, sudah 2 priode kau menjabat, bahkan sebentar lagi jabatanmu berakhir, justru banyak petani yang mengeluh karena ulah pembangunanmu yang merenggut keberlangsungan nasib mereka. Kau membangun waduk raksasa dengan alibi untuk memenuhi kebutuhan irigisi petani, bukankah negaramu memiliki curah hujan yang tinggi? Bukankah sungai-sungai di negaramu mengalirkan air sepanjang tahun? Nyatanya banyak mata air yang menjadi kering karena pembangunan yang kau anggap bener namun nyatanya salah, meski peduduk di sana menolak pembangunannya, kau masih saja menuruti iblis yang menjadi pembisik di telingamu. Itu lah dampaknya kalau kau keasyikan ‘Kerja, Kerja, Kerja’ tapi tidak menggunakan hati.
Komentar
Posting Komentar