Me VS Every-Babi
Kamis, 19 Desember 2013.
Aroma masakan di seberang jalan masuk ke hidung tanpa permisi, semakin malam pengunjungnya tampak semakin ramai. Kami menghitung uang hasil ngamen di depan ruko yang entah sedang tutup atau sudah lama tutup. Seperti aroma barusan, ada yang menghampiri kami tanpa permisi, katanya tampang kami seperti orang baik-baik, senang juga tidak dianggap si buruk rupa, sepertinya ia terpesona. Setelah menanyakan asal dan tujuan, ia belikan nasi goreng yang mengejek kami sedari tadi.
***
Lewat arahan dari lelaki yang ingin sekali dinyanyikan lagu tegar di warung ayam penyet dekat Simpang Garuda, sekarang kami dalam perjalanan menuju lokasi yang ia maksud, ungkapnya lebih banyak tempat yang bisa di-ngamen-i, kami baru saja melewati jalan yang menurun.
“Masih sanggup nahan lapar kalian?” tanyaku.
“Kami tergantung joki man, kalau dirimu masih sanggup, kami ngikut aja, iya kan bro?” ucap Dona yang sedang menyibak rambut gondrongnya ke belakang dengan kedua tangan.
“Iya bro,” Fuad menambahkan sambil memetik gitar yang ia bawa.
“Lihat man!” ucapku.
“Kenapa itu?” tanya Fuad.
“Itu ada lapak ngamen.”
“Gas lah! Tunggu apa lagi,” Dona menyemangati.
Kami menghampiri warung yang sedang ramai pembeli, ada yang sedang makan dan berdiri menunggu pesanan oran, syukurnya penjaga warung mengizinkan kami melampiaskan hasrat, konser dimulai. Alhamdulillah, banyak yang memasukkan uang ke bong (wadah pengutip uang yang terbuat dari pembungkus permen), selepas itu kami menepi ke ruko seberang warung mie rebus dan nasi goreng yang baru saja kami ngamen-i. Di Medan, mie rebus yang dijual tadi, dikenal dengan Mie Aceh, menunjukkan kalau asal mie dan penjualnya dari Aceh, ternyata di sini tidak ada Mie Aceh, tidak ubahnya seperti Nasi Padang yang tidak ada di Padang.
Kami duduk di lantai depan ruko yang lebih tinggi dari jalan raya, dekat dengan anak tangganya, ransel hitam ku lepas, ku raih tupperware orange, setelah meneguk air yang tinggal setengah lagi, ku tawari kedua temanku. Dona mengeluarkan hasil ngamen kami dari dalam bong, kami hitung dengan seksama, dalam tempo yang sesantai-santainya, kami rapikan, kemudian di pisahkan antara uang koin, uang ribuan, dan puluh ribuan.
Sekonyong-konyong ada yang datang, tidak dari dalam ruko, sebab ruko digembok dari luar, ia duduk di dekat kami, mencoba PDKT alias pendekatan.
“Kalian pengamen ya?”
“Iya,” jawab kami serempak.
“Tapi kok gayanya beda ya?”
“Beda gimana nih?” Tanya Dona.
“Beda aja sama yang pernah datang ke sini sebelumnya.”
“Emang yang sebelumnya bagaimana?” tanyaku.
“Kalau yang sebelum kalian gayanya brandalan, ada yang pakai anting-anting, ada yang bertatto, kalian lebih rapi.”
“Dia juga ada tato di punggung, tapi bercak-bercak putih,” ucapku bercanda sambil menunjuk Dona, lantas kami semua tertawa berjama’ah.
Aku tahu kalau yang ia maksud adalah segerombolan anak punk, mereka memang identik dengan pakaian serba hitam lusuh, anting-anting, dan tattonya, namun belum tentu hatinya bertatto, justru oknum-oknum berpenampilan rapi, yang berdasi dan berjas sangat gemar menattoi hatinya dengan motif ketamakan, keserakahan, dan kekikiran.
Ungkapan manusia tidak diundang barusan mengingatkanku pada Wahyu, saat kami tengah berbincang di trotoar dekat simpang lampu merah Jl. Adam Malik, seberang Hotel Asean, samping SMPN 7 Medan. Mengetahui aku akan ke Sabang, ia yang merupakan rekan ngamen-ku, sebulan sebelum keberangkatan mengatakan kalau ke Aceh jangan terlalu punk style, sebaiknya melodic style saja, agar diterima masyarakat dan tidak terjaring razia polisi syariah.
Enam bulan sebelum kami, Wahyu bersama empat orang rekannya sudah lebih dulu ke Sabang dengan cara ngamen. Dari empat orang yang dibawa wahyu, dua di antaranya merupakan rekanku juga di lampu merah tempatku ngamen, dua lagi yang tidak ku kenal merupakan anak punk kenalannya. Perjalanan Wahyu merupakan salah satu motivasiku untuk berangkat ke mari, bedanya mereka tidak sampai ke Km 0 Indonesia, sedang kami insya’allah akan ke sana. Kembali pada sosok yang tidak diundang tadi, mungkin saja itu Wahyu and the geng, karena ketika ku tanya waktu kedatangan pengamen brandalan yang ia maksud, selisih waktunya tidak jauh berbeda dengan kedatangan Wahyu ke mari.
Kepada sosok yang ada di samping kami sekarang, kami bertanya prihal harga dan rasa makanan dari warung yang ada di seberang kami, sepengakuannya enak dan murah. Karena ketergiuran dan lapar sudah menyerang, ia rela menghampiri warung tersebut dan membelikan kami nasi goreng, akhirnya kami bisa makan malam, ada yang mengatakan kalau malam dimakan besoknya akan siang terus.
Betapa setianya, sampai makanan raib, masih saja duduk di dekat kami. Ia tidak ikut makan nasi goreng yang digelar di atas lantai, sudah diajak, namun ia mengaku sudah makan. Tujuan kami selanjutnya adalah Tugu Km 0 Indonesia, dan ia telah menjejakinya, secara dia masyarakat sini, sarannya agar kami melanjutkan perjalanan esok hari saja. Betapa terkejutnya ia, mendengar kami akan berjalan kaki ke sana, sementara wisatawan biasanya menyewa sepeda motor.
“Jika ada sumur di ladang boleh kita menumpang mandi, kalau ada umur panjang boleh kita berjumpa lagi,” begitulah pepatah berbunyi. Malam jum’at jadi saksi, di sini kami bertemu dan berpisah, semoga esok, lusa, atau nanti, kita bisa saling menatap lagi. Sebelum berpisah ku amati tubuhnya mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki tanpa birahi, ternyata masih menyentuh tanah, diam-diam ku lirik punggungnya, bukan mata keranjang, hanya memastikan bolong atau tidak, ternyata tidak. Semoga yang kami makan tadi nasi goreng sungguhan, bukan tanah yang disulap jadi nasi.
Kami sepakat pada keyaikinan yang mengatakan kalau kami tidak akan tiba di tugu paling barat Indonesia malam ini juga, kendati begitu, perjalanan tetap dilanjutkan, kami akan terus melangkah sampai lelah menghampiri dan ada tempat untuk dihampiri. Semula ku kira tugu yang dimaksud dekat dengan Kota Sabang, ternyata berada di ujung tanjung yang jauh, dan harus melewati jalanan sepi yang diapit hutan, lengkap dengan wild animal-nya.
***
Pintu sudah banyak tutup saat kami melewati jalan yang padat permukiman, bukan karena takut akan kehadiran kami, itu merupkan jam sosiologis yang menandakan kalau malam sudah semakin larut, syukurnya sweater merah yang ku kenakan melindungi tubuh dari angin malam.
If money is our orientation, selama mulut masih bisa bernyanyi, selama jemari masih sanggup memetik gitar, selama senar-senar masih melekat pada gitar, dan tentunya selama masih orang yang di-ngamen-i, kisah ngamen ini bisa saja terus berlanjut. Kami enggan me-ngamen-i rumput, Ebiet pernah berpesan kalau rumput yang bergoyang adalah tempat kita bertanya, ingat! hanya tempat bertanya! Jangan berharap rumput punya mulut lalu menjawab dengan lisan, sebab jawabannya ada di hati kita masing-masing, kini semua berbeda, Mbah Google and family sudah jadi tempat konsultasi, alam kehilangan pamor.
Jalan yang kami tapaki berujung pada simpang tiga, di sebelah kiri ada lapangan bulu tangkis yang dijadikan lapak oleh penjual bandrek dan teh telur. Dari sekian banyak meja dan kursi plastik, hanya satu meja yang berpengunjung. Sambil menyelam minum air, kami ngamen lagi, semoga jadi penutup di malam ini.
Empat orang mengitari meja plastik hijau di hadapan kami, ku dengar ucapan dari salah seorang di antara mereka saat ngamen, “Mereka bukan pe-ngamen biasa nih, mahasiswa mereka, lihatlah gayanya!”
“Apa abang ini cenayang, kok bisa tahu?” sempat-sempatnya aku berucap dalam hati saat sedang menyanyikan lagu berjudul Mapala (Mama Papa Larang) berikut.
Kamu segalanya, tak terpisah oleh waktu
Biarkan bumi menolak, ku tetap cinta kamu
Biar mamamu tak suka, papamu juga melarang
Walau dunia menolak ku tak takut
Tetap kukatakan ku cinta dirimu
-Judika-
Saat lagu berakhir dan kucuran dana sudah mengalir ke kami, lelaki tadi berucap, “Kalian mahasiswa ya?”
“Hmmm, iya bang,” jawab Dona.
“Saya waktu mahasiswa juga pernah ngamen, ketika lihat kalian jadi ingat masa lalu.”
Sebenarnya mereka mengajak untuk bergabung, kami tolak dengan ikhlas, takut kemalaman. Gaya sekali! kemalaman dikambinghitamkan, seakan-akan sudah punya penginapan untuk dituju, yang paling ditakutkan sebenarnya kalau kami dicarikan penginapan murah atau diajak tidur di kediaman mereka. Saat meninggalkan mereka, ku lirik ke belakang untuk yang terakhir kalinya, ternyata mata-mata itu masih belum kenyang menatap kami.
Suasana semakin sepi ketika menjauh dari tempat yang kami ngamen-i tadi, saking sepinya yang terdengar hanya rentak sepatu kami dengan aspal dan decitan tikus tanpa dasi yang tengah lembur dan mengais rezeki di tong sampah. Pintu-pintu rumah tidak seperti pintu ampunan yang selalu terbuka, sudah pada tutup. Suasana juga semakin gelap, syukurnya ada transfer energi dari beberapa lampu jalan yang menguning, serta adanya sedekah cahaya dari beberapa penghuni rumah yang menyalakan lampu depan.
Kemunculan pantai di kanan jalan membuat derap langkah kami diredam debur ombak, selimut malam membuat mata tidak dapat menatap fisiknya dengan jelas, meski auman baharinya terdengar sangat jelas. Sepanjang pengamatanku, ada perbedaan yang kontras antara kota ini dengan kota asalku, hampir setiap penduduk yang menutup pintu tidak memasukkan motornya ke dalam, motor mereka dibiarkan saja di luar rumah atau pagar, ku simpulkan bahwa tempat ini sangat aman dari Curanmor (Pencurian Motor), kalau pun terjadi, tentu sulit bagi pelaku untuk membawanya kabur, secara pulau ini kecil, jelas akan cepat terdeteksi. Di medan, motor-motor yang diperlakukan seperti ini akan menjadi santapan pencuri dan menjadi fenomena yang sangat langka.
“Lanjut jalan kita nih?” tanyaku.
“Lanjut aja lah bro.” Jawab Fuad.
“Eh,ada warung itu bro!” ucapku
Kami taransit sejenak di warung yang sedang mengakhiri episode harian, ibu pemiliknya sedang menghitung dan merapikan hasil pendapatan. Fuad dan Dona membeli rokok, sedang aku air mineral, agar tenggorokan yang sudah lelah bernyanyi tidak seperti Gurun Sahara. Pemilik warung kami jadikan infroman.
“Numpang tanya buk,” ucapku.
“Iya.”
“Benar ini jalan menuju 0 Km?”
“Iya, tapi masih jauh lagi.”
Syukurlah kami berada di jalan yang benar, kami teruskan langkah dengan sorak-sorai dari laut yang seakan menyemangati. Warung barusan merupakan batas terakhir area permukiman di sekitar sini, ku palingkan wajahku ke belakang, ternyata warungnya tidak menghilang.
Meski samar-samar, pancaran Milky Way’s Member sedikit membantu kami dalam mengukur panjang aspal. Hingga kami dihadapkan dengan jalan yang menanjak dan diapit banyak pepohonan, semoga tidak terjadi me versus every-babi. Kami terpaksa menyalakan senter dari handphone kecil kepunyaanku dan dona. Tanpa permisi, diam-diam laut meninggalkan kami.
Bukan hanya semakin larut, malam juga semakin jum’at, benakku menghadirkan tanya, inikah jalan yang dimaksud sosok misterius tadi? Kurasa tidak, sebab terlalu dekat, sementara ia mengatakan butuh waktu seharian kalau berjalan kaki ke sana. Awalnya sulit bagi kami mengklasifikasikan pepohonan di kedua sisi jalan ini berupa hutan atau kebun, mungkin karena retina kami sedang bertransisi dari mode terang ke mode gelap. Saat mata sudah berintegrasi dengan gelap, baru kami tahu kalau pepohonon tersebut diberi pagar kayu, tanda ‘dia’ sudah ada yang memiliki, memperhatikan, dan merawat, So sweet, kalau kamu belum, sabar aja dulu.
Tanjakan berakhir, tampak sosok abstrak berwarna putih bergerak ke arah kami dari kejauhan, kecepatannya sangat dahsyat, dalam sekejap tiba di pelupuk mata, setelah satu sosok muncul, disusul lagi oleh yang lain, dan yang lainnya, cahaya lampu dari perumahan penduduk tersebut membasahi kembali harapan yang hampir kering, kami menemukan tanda-tanda kehidupan yang sedang tertidur.
Di kiri jalan, tampak warung yang sudah tutup, kami menepi. Bukan ingin membobol warung, melainkan ingin rehat sejenak di bangku panjangnya. Awalnya kami duduk sambil mengobrol, tanpa sadar telah mengganti gaya ke posisi rebahan, semoga tidak seperti kisah ‘selonjor berujung molor’. Pemilik warung sangat memahami meski belum pernah dipertemukan, ia menyediakan tiga bangku panjang di sini.
Saat menatap ke atas, aku teringat pada ucapan sosok yang mendekati kami saat berada di seberang warung mie rebus dan nasi goreng.
“Abang yakin mau ke Km 0 malam ini dengan jalan kaki?” tanya lelaki yang masih duduk di bangku SMP tersebut.
“Yakin lah dek,” jawabku sambil menyisihkan uang hasil ngamen untuk membeli nasi goreng.
“Di sana banyak babi hutan loh bang, berani kalian?”
“Insy’a Allah berani. Nih uangnya, katanya mau belikan kami nasi goreng yang ada di seberang.” Dia belum tahu saja, di Medan, kami sudah terbiasa melihat babi di pinggiran jalan, memang bukan babi hutan, tapi BPK (Babi Panggang Karo).
Seketika pandanganku menjadi gelap, aku yang masih setengah sadar masih bisa mengkonsumsi obrolan Fuad dan Dona. Jika pesawat bisa melakukan pendaratan darurat, tentunya kami juga bisa melakukan check in darurat di sini. Tiada musyawarah yang tercipta, secara aklamasi keadaan memilih tempat ini untuk dijadikan tempat peristirahatan terkahir kami. Aku hanyut ke dalam gelap, tidak tahu dengan mereka.
Komentar
Posting Komentar