Kami Tidak Tegar

 

Oleh: Taring

 

        Kamis, 19 Desember 2013.

Tidak disangka dia bakal ketagihan, walau kurang mampu, kami coba untuk menyanggupi, pintanya adalah apa yang belum pernah ku lakukan sebelumnya. Sudah terlanjur ‘basah’, namun tidak seperti pepatah ‘nasi sudah menjadi bubur’, kami turuti maunya agar mendapatkan apa yang telah ia janjikan.

***

Semestinya dua jam, namun tidak setiap rencana dapat berjalan dengan mulus, semulus kulit dan kaki, kulit sofa dan kaki meja yang baru datang dari toko. Kalau dihitung sudah lebih dari dua jam kami mengarungi laut menuju pulau yang menjadi orientasi petualangan ini, kalau tidak dihitung bisa ketahuan kalau aku lemah di matematika. Beberapa saat lagi kapal berlabuh, sejak keeksotisan pulau tersebut tampak dari kejauhan, tak jemu-jemu aku memandangnya, inikah yang dinamakan love at the first sight?

            Kapal sudah memasuki teluk dan bergerak ke sudutnya, pada dua mata angin tampak daratan mengapit laut, di timur laut topografinya dominan landai, sedangkan yang di barat daya tampak berbukit-bukit, di mataku mereka sama saja, masih sedia membalut diri dengan hijab hijaunya, semoga evergreen.

            Selama di kapal, aku lebih banyak menghabiskan waktu di sisi kanan, kini ku rapatkan diri ke sisi kiri, ada yang menggoda, aku dirayu agar mendekat. Sungguh kecantikan yang membuatku tidak bisa berkedip meski hanya sesaat. Sayangnya, tangan ini tidak bisa menjamahnya, bukan karena muhrim atau bukan. Aku menaruh percaya, kelak ada saatnya terasa sangat dekat, dialah matahari yang jaraknya hanya sejengkal dengan kepala ketika semua umat berkumpul di Padang Mahsyar.

            Inikah isyarat kalau alam menerima kami? Kedatangan ini disambut dengan sangat istimewa, tanpa kibaran panji-panji dan tabuhan genderang, hanya lewat suguhan sunset yang luar biasa. Matahari yang sering membenamkan tubuhnya di lautan, kini tampak berbeda, sinklinal (lembah) di antara dua antiklinal (puncak bukit) yang berada pada ujung tanjung menelannya secara perlahan, antiklinal yang paling tinggi merupakan milik Gunung Berapi Jaboi. Kenampakan saat ini membawa ingatan pada goresan tangan yang pernah meramaikan buku gambar teman-temanku semasa kecil, matahari terjepit di antara dua gunung.

            Langit yang tampak menguning ku nikmati dengan seksama, bahkan hingga kapal bersandar ke Pelabuhan Balohan. Jujur, aku bukan seperti ‘mereka’ yang mengaku sebagai penikmat sunrise, penikmat sunset, atau kedua-duanya. Aku hanya penikmat matahari yang menerima kapan saja kehadirannya, baik saat ia menerbitkan dan memebenamkan keindahannya, bahkan saat ia sedang di puncak kenikmatan menjilati kulit penghuni bumi, itu merupakan kelumrahan bagi pengamen yang menghibur penumpang angkot di lampu merah.

            Gelap mulai merayap, para penumpang meninggalkan kapal. Ku kenakan kembali sweater merahku, lewat tangga kami menuju lantai dasar. Pijakan pertama kami di pulau ini disambut dengan spanduk bertulisakan ‘Welcome to Sabang – Weh Island’, lantas aku berfoto memegang kepala gitar dengan badannya menyentuh lantai, padahal pencahayaan sudah tidak mendukung untuk berfoto atas nama keindahan. Ku perhatikan sekitar, ternyata hanya aku yang berfoto di antara kerumunan manusia yang buru-buru berjalan menuju pintu keluar pelabuhan di awal malam seperti ini, kelihatan sekali aku tourist sedang yang lain local people.

            Nafsu berfoto Fuad dan Dona sedang berada di titik terendah, kami lanjutkan langkah ke pintu gerbang. Meski tubuh belum bermandikan air, namun lampu jalan di sekitar sini sudah memandikan kami dengan cahayanya. Mata mulai bertamasya ke berbagai penjuru, berharap ada angkutan umum yang akan mengantarkan kami ke Kota Sabang.

            Avanza hitam mendekat, kami tidak mengundang, sebab sedang tidak ada pesta kecil-kecilan. Seorang pria dengan logat khas setempat menyapa kami dari dalam mobil, “Mau kemana kalian dek?”

            “Ke Sabang bang,” jawab Dona.

            “Yok naik.”

            “Nggak bang, kami naik angkutan umum aja,” jawabku.

            “Inilah angkutan umumnya di sini.”

            “Bentar ya bang,” ucap Fuad.

            “Jangan lama-lama, saya ini trip terakhir, nanti kalian kehabisan mobil.”

            Ku amati sekitar, dalam sekejap keramaian sudah menjelma jadi kesunyian, sepertinya mereka punya jemputan pribadi, atau sudah booking jemputan. Lewat musyawarah singkat, tanpa meja bundar, menggunakan jasa angkutan yang ada di hadapan kami sekarang adalah keputusannya, syarat dan ketentuan masih berlaku, seperti biasa, tetap harus melewati proses tawar-menawar.

            Setelah mengungkapkan kondisi keuangan yang benar-benar dalam kondisi pas, bukan pas untuk menyewa penginapan berkelas sultan, tawar-menawar bermuara pada titik temu, win win solution dalam bahasa kerennya, segera kami langsungkan isra’, perjalanan malam hari.

            Di Medan tanpak jelas perbedaan fisik antara Angkot (Angkutan Kota) dengan mobil pribadi, di sini tidak. Tanpa berlama-lama kami masuk ke dalam ‘Angkot’, jujur aku enggan menyebutnya dengan itu, karena di tempat asalku indentik dengan kereotannya. Aku duduk di samping supir, dua temanku di bangku tengah, bangku belakang kosong, tidak tahu nanti, bisa saja ada sosok yang mengisi, mobil melaju tanpa penumpang lain.

            Di dalam mobil gelap, syukurnya cahaya lampu jalan dan lampu rumah penduduk rela menghampiri, beginikah pelayanan untuk oknum yang membayar dengan harga murah? Tidak apa-apa pikirku, asalkan kami bisa sampai ke tujuan dengan selamat-sentosa. Tujuan bukan sembarang tujuan, karena kami belum tahu akan tidur di mana malam ini, sebab tujuan adalah misteri itu sendiri.

            Semakin jauh dari pelabuhan, pemukiman semakin berkurang, di luar mulai redup, di sepanjang jalan mulai tampak hutan yang berkamuflase dengan kegelapan. Selaku pendamping supir, sesekali ku lempar obrolan ke telinganya yang sedari tadi dibisiki angin. Aku banyak bertanya mengenai Sabang, hingga aku tidak dapat berdusta pada mata yang mulai diserbu kantuk, diriku terhanyut dan tenggelam dalam gelap.

***

            Suara rem mobil mem-pause-kan tidurku yang sekenanya, mendengar “Sudah sampai, ini Simpang Garuda” dari supir, mataku mengaga perlahan. Fuad dan Dona turun, aku yang setengah watt masih asyik meraba uang di ransel. Rasa peka akhirnya membuat supir menyalakan lampu, setelah dihitung kembali, ku serahkan lembaran rupiah ke tangannya.

            Tujuan berikutnya masjid, di sana kami bisa rehat sejenak dan berdiskusi, tidak lama lagi maghrib dijemput isya. Setelah mendapat informasi dari supir, kami segela meluncur ke masjid terdekat, setibanya ku baca kalimat yang bertulisakn Masjid Agung Babussalam Sabang. Dari gerbang ke gedung masjid, kami melangkah di atas pekarangan yang sudah dilapisi kramik.

            Usai shalat, toilet masjid beralih fungsi menjadi lokasi pemandian umum, akhirnya kami bisa membasahi tubuh kembali setelah tadi pagi mandi di rumah temanku yang dijadikan TPS (Tempat Pengungsian Sementara). Keringat dan daki yang melekat di badan bisa luntur sehabis mandi, tapi tidak untuk cerita hari ini yang akan terus di kandung badan, kami genapkan waktu hingga isya di masjid.

            Ba’da isya kami lanjutkan langkah untuk mengamankan kampung tengah (istilah untuk perut, karena berada dibagian tengah tubuh), kami tidak pernah tahu tempat makan mana yang akan dituju, kami hanya melangkah hingga firasat menunjukkan tempat yang cocok untuk disinggahi.

Tidak jauh dari masjid, sebelum Simpang Garuda, tampak dua orang bapak sedang minum bandrek di meja tepi jalan sebuah warung. Agar ‘mesin’ panas kembali, kami putuskan untuk menghibur mereka, ini kali pertama kami ngamen pasca pendaratan di Pulau We.

 Karena sudah malam, sebagai vokalis merangkap gitaris, ku pilih lagu yang ada kata ‘malam’-nya, “Malam-malam aku sendiri, tanpa cintamu lagi, hanya satu keyakinanku, bintang ‘kan bersinar, menerpa hidupku, bahagia ‘kan datang.” Alasan lain aku memilih lagu itu karena di sampingku ada Fuad, fans berat Almarhumah Nike Ardilla, jadi dia bisa ikutan melepaskan suaranya. Kedua bapak barusan tampak menikmati, terhibur itu penting, bayaran itu nomor sekian, syukurnya mereka terhibur dan memberi cuan.

Kami melangkah ke Tugu Simpang Garuda, titik temu empat persimpangan jalan, dari sini terlihat tempat makan pada ruas jalan yang berbeda. Saat dihampiri ternyata warung ayam penyet, kami langsung meminta izin kepada penjual makanan. Tempatnya cukup luas, namun hanya tiga meja yang terisi. Aku yakin sebelum kami datang pengunjungnya ramai, tampak dari sisa hidangan yang belum dibereskan di beberapa meja, sayang sekali mereka belum berkesempatan menyaksikan penampilan kami.

Di meja terdekat dari kami, sorang lelaki yang sedang makan bersama beberapa temannya minta tambah, bukan makanan, tapi lagu dari kami. Senang rasanya ada yang ketagihan, kami diminta membawakan lagu dari pengamen cilik yang sedang viral di layar kaca, Tegar.

Tidak satu pun dari kami yang menghafal lagu tersebut, aku tahu lagu dan nadanya dari teman yang pernah membawakannya di lampu merah Simpang Patimpus (Medan), tapi aku tidak hafal liriknya, hanya beberapa saja, jujur aku kurang suka lagunya, jadi tidak pernah terniat untuk menghafalnya. Lelaki tersebut ingin sekali kami menyanyikannya, akhirnya kami bawakan meski dengan lirik yang hilang-timbul.

Hidupku dulunya seorang pengamen

Pulang malam selalu bawa uang recehan

Mengejar cita-cita paling mulia

Membantu keluarga di rumah

 

Terlintasan dalam pikiran akan alasan yang membuat lelaki ini begitu ngotot kami membawakan lagu Metal (Melayu Total) miliknya Tegar, padahal kami sudah menawarkan lagu lain yang kami hafal, mungkinkah dia begitu mengagumi perjuangannya? Atau dia ingin kami termotivasi agar terkenal seperti Tegar? Kami tidak Tegar, kami dalah kami. Dia tergolong baik kubik (pangkat 3), sudah memberikan uang, melebihkannya, juga mengarahkan kami ke arah yang ramai tempat makan setelah dari sini.

Meski aku kurang suka lagunya Tegar, namun berkat lagu tersebut kami dapat bayaran lebih, terkadang yang tidak kita sukai bisa membawa kebermanfaatan, begitu juga sebaliknya yang kita sukai tidak selalu memberi kebermanfaatan. Bukankah sejatinya segala sesuatu yang diciptakan itu bernilai manfaat? Hanya saja kita belum atau tidak bisa menelaahnya, maaf jadi mendadak Mario Teguh.

Tidak ada unsur kepentingan yang membuatku menyebutkan nama kedua orang barusan, Tegar dan Mario Teguh, semuanya mengalir begitu saja, namun berkat karakter yang ada pada nama mereka juga kami bisa sampai kemari, yaitu sifat ‘teguh’ dan ‘tegar’.

Sebelum bertemu Dona di Lhokseumawe, aktor dalam perjalanan ini hanya aku dan Fuad, sesekali pernah rasa ragu menghantuiku akan sampainya kami ke Sabang, tidak tahu dengannya, sebab sebagai yang menggagas perjalanan ini tidak mungkin ku tunjukkan keraguan kepada orang yang ku ajak.

Meski aku mengenalnya sejak di bangku SMP, namun aku belum tahu kapasitas dia dalam berpetualang, apa lagi perjalanan ini ditempuh dengan perpaduan konsep backpacker dan ngestreet, memang kami pernah jalan-jalan bersama dalam acara reuni teman-teman SMP di pantai yang jarak sekitar 2 jam perjalanan dari Medan, tentunya itu tidak sebanding dengan apa yang sudah kami tempuh sejauh ini.

Bukan kendaraan yang mampu membawa kami bisa sampai ke mari, melainkan sikap ‘teguh’ dan ‘tegar’ itu sendiri. Keteguhan mampu membunuh keraguan, ku ingat lagi harapan yang pernah ku tulis di secarik kertas dan ku tempel di mading kamarku ‘TIBA DI KM 0 INDONESIA SEBELUM AKHIR TAHUN 2013’. Begitu juga dengan ketegaran, kami membuktikannya dengan tidak menyerah pada keadaan selama dalam perjalanan.

Aku yakin kalau perjalanan yang kami lakukan sekarang merupakan cuplikan dari perjalanan hidup, setiap perjalanan tentunya punya tujuan atau mimpi, berani bermimpi maka harus berani mwujudkannya, namun ingat dalam setiap perjalanan senantiasa ada rintangan yang akan membuat kita maju atau mundur, kami memilih yang pertama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendakian Gunung Pusuk Buhit

PMR Madya dan Wira Sekolah Kallista Mengikuti Pelantikan PMR Se-Kota Batam Tahun 2017

Penyampai Pesan Kematian