Penyampai Pesan Kematian

Oleh: Taring

 

            Mendaki bukit, lewati lembah seperti pada lirik lagu Ninja Hatori, tampak juga anak sungai yang mengalir indah, meski saat ini Sikon (Situasi dan Kondsi) sedang tidak indah-indahnya. Berbaris layaknya semut, bedanya iringan serangga tersebut kerap bergerak ke tujuan dan arah yang pasti, di mana ada gula, di sana pula arah tujunya.

Tujuan kami pasti, ingin segera kembali ke tenda, agar bisa merebahkan badan, menyantap makanan, juga bersendau gurau, namun sampai gelap menghampiri, kami masih terjebak dalam ketidakpastian arah, berulang kali mondar-mandir di jalur yang sama.

Gerimis, susana mencekam, serta rasa lelah membuat kami menyerah pada arahan GPS (Global Positioning System). Setelah berulang kali, usulku diterima juga, berteduh di gubuk yang tampak sore tadi, sempat terpikir hanya aku yang melihatnya, ternyata Miska juga. Keyakinan mengatakan kalau gubuk itu nyata, meski hanya kami berdua yang jadi saksinya. Sesuatu di samping pintu gubuk telah mencengangkan kami, tanpa pikir panjang, kami langsung memasukinya dan membiarkan hujan kesepian di luar, sebab kami sudah lama basah.

***

Tugu Perjuangan 45 Binjai terpilih sebagai Tikum (Titik Kumpul), kami menunggu kedatangan beberapa sepeda motor lagi, seketika aku teringat peristiwa malam tadi, seorang adik kelas yang menghampiriku, tinggalnya di kota ini, bisa-bisanya dia mendekatiku lewat jalur mimpi, jelas-jelas aku ada yang punya, omak.

 Sebagian kami tidak menunaikan shalat jum’at, buru-buru packing dan menghindari keterlambatan jadi kambing hitamnya. Dari luar tampak tenang, namun di dalam, resah sudah menggrogoti dinding hatiku. Sebagian lain, meski sudah dua puluh tiga tahun tidak melaksanakan shalat jum’at, tampak tenang-tenang saja, wajar karena mereka perempuan dan Noni (Non Islam).

Destinasi petualangan kali ini adalah lokasi peneletian Berri di Dusun Tanjung, Desa Lau Damak, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat. Ajakan agar kami terlibat dalam pengambilan data untuk skripsinya sudah lama jadi wacana, rencananya minggu depan kami berangkat. Pagi tadi, usai jam perkuliahan, di belakang gedung Jurusan Pendidikan Geografi Unimed (Universitas Negeri Medan), mendadak ia mengatakan kalau keberangkatan dipercepat jadi hari ini, lantas kami bergegas pulang ke rumah dan kosan masing-masing demi persiapan camping selama tiga hari dua malam.

Jumlah kami sebelas orang, ban sepeda motor kembali menggilas aspal, meninggalkan kota asal Berri yang jaraknya dua puluh kilometer dari kota asalku, Medan. Kami sangat menikmati kelokan, turunan, dan tanjakannya di sepanjang perjalanan. Selain permukiman yang polanya memanjang menuruti jalan lintas Binjai - Bukit Lawang, pemandangan juga diramaikan perkebunan kelapa sawit.

Sudah tiga sungai yang kami lalui, Sei Mencirim di tengah Kota Binjai, Sei Binge di pinggirannya, dan Sungai Wampu sebelum Tugu Bahorok. Aspal berakhir, artinya dusun bermula, ibu dari minyak goreng kembali menampakkan diri. Kini roda berputar pada jalan tanah yang di beberapa titiknya terdapat genangan air, pertanda hujan pernah turun, bukan pertanda anggaran tidak kunjung turun.

Ban motor telah berputar sejauh enam puluh kilometer, kami tiba di perkampungan yang mana antara rumah yang satu dengan lainnya lumayan berjarak, di sini lahan hijau lebih mendominasi ketimbang lahan terbangun. Enam motor dititipkan ke rumah yang pemiliknya sudah dikenal Berri saat survey ke mari bersama dua orang tetangganya, yang usianya sudah di atas kami dan hari ini mereka ikut juga. Kami berpamitan pada perempuan paruh baya yang suaminya sedang ke kebun, Berri memanggil beliau bibi, sedang suaminya kila, kebetulan ia dan pemilik rumah sama-sama Suku Karo.

Sebelum meninggalkan perkampungan, kami berdoa menurut ajaran agama masing-masing, meski dikenal selengek-an, ritual tersebut senantiasa dilakukan sebelum memasuki hutan. Kampung hilang di pelupuk mata, jalan tanah yang lebar idealnya hanya dapat dilalui satu mobil belum berakhir, namun langkah harus berbelok ke jalan setapak yang menanjak di kanan jalan, mulai tampak kebun karet yang berbatasan dengan hutan, sesekali berfoto jadi intermesonya. Kami palingkan wajah ke belakang saat menaiki bukit yang cukup tinggi, tampak lautan hijau terbentang dari kejauhan.

Setelah berulang kali menaiki bukit, menuruni lembah, dan melewati lereng, kami tiba pada sungai yang lebarnya sekitar tiga meter, permukaan airnya di atas mata kaki, banyak batu berukuran kecil hingga sedang. Bagi kubu sepatu trekking seperti ku, jelas harus melepasnya, aku menggantungnya pada sebatang kayu yang ku taruh di pundak, layaknya tokoh pengembara pada film Jadul (Jaman Dulu), sedang kubu sandal trekking lebih merelakan pelindung kaki mereka dijilati air.

Berri mengatakan kalau sungai ini akan menuntun jalan kami menuju tempat mendirikan tenda. Baru saja menerapi telapak kaki pada batu kerikil yang terhampar, kehadiran mayat yang tengkurap telah mengejutkan kami, bekas aliran darah masih tampak di punggungnya, kematiannya tampak belum lama, sedang kami tidak bisa berlama-lama di sini.

*** 

Sebelum gelap, tiga tenda dome sudah berdiri di tepi sungai yang alirannya masih sama dengan sebelumnya. Pinggiran sungai ini banyak ditumbuhi pohon bambu, sesekali ada yang melintang, sehingga kami harus merunduk, persebarannya terlihat sejak kami menemukan mayat kura-kura yang tengkurap saat awal menceburkan kaki. Saat masih di antara koloni bambu tersebut, kami sempat meraskan jeritan mesin motor yang terdengar dekat namun jauh, tidak ramai memang, cuma satu, sumbernya dari balik hutan di kanan sungai, mungkin warga kampung yang balik dari kebun.

Lima belas meter dari sini, terdapat rumah berkaki dengan tumpukan batu kerikil hingga sedang, dan pasir yang masing-masing terpisah, serta seperti seperangkat mesin, Berri mengatakan kalau di situ ada aktifitas penyaringan biji emas sakala kecil yang materialnya bersumber dari sungai di sini. Saat baru keluar dari sungai, mesin mereka masih beroperasi, sekarang sudah tidur, yang ada hanya kata sambutan dari perwakilan jangkrik dan primata setempat untuk malam yang sudah membungkus kami. Di sekitar tenda kami terdapat tumpukan bebatuan, bahkan di depan tenda ada tumpukan pasir dan batuan yang di tutup dengan terpal biru, di atas tenda juga ada terpal biru yang diikat dengan tali ke berbagai penjuru, sepertinya ini juga menjadi areal kerja gold hunter.

 Selain surplus pangan, kualitas dan kuantitas makanan kami juga terjamin malam ini, semua karena Isma, koki serba bisa di segala medan yang diutus dari Madina, bukan di Arab, tapi Mandailing Natal. Kami sepakat kalau masakannya menggugah selera, namun dia tidak seberuntung Chef Farah Quinn yang wajah dan masakannya sama-sama enak.

Usai makan, kami tidak langsung tidur, seperti biasa, bercakap-cakap mengenai semesta beserta isinya, yaitu semestanya mahasiswa, juga seputar kegiatan besok yang mana kami sudah mendapat peran masing-masing. Biasanya aku atau Tomy membawa gitar saat camping, untuk kali ini benda berdawai tersebut absen dulu menuntun malam menuju larut.

***

 

Ada yang menatap kami dari jarak seratus lima puluh juta kilometer, dari sana ia tumpahkan kehangatan sebagai sumber energi bagi penghuni bumi. Di belakang tenda, sungai melantunkan riaknya, di depan tenda, bukit kapur telah memberi kesempatan bagi pepohonan untuk membalut tubuh putihnya, sedang di kakinya banyak tanaman keladi.

Dari balik tabir hijau di lereng bukit, terdengar sambutan pagi dari salah sehewan primata. Juju, playboy kampus asal Dumai, sangat berharap itu Orang Utan, meski skripsinya mengenai hewan dilindungi tersebut, namun sejauh ini Tuhan belum mentakdirkan mereka untuk bertemu. Ia terus saja menerawang ke dalam hutan. Setelah tampak olehnya seekor Siamang yang tengah ber-parkour ria dari dahan ke dahan, barulah ia insyaf.

Di kanan tenda, sungai berbelok dan menghilang menuju lubang di kaki bukit, ke sana lah kami akan beranjak. Setelah sarapan dan memastikan tidak ada barang berharga yang tertinggal di dalam tenda, termasuk harga diri, kami pun berdoa. Karena akan menyusuri sungai dalam goa, sepatu trekking ku tinggalkan, ku kenakan sendal trekking dan celana loreng hitam yang biasa ku kenakan saat menghaadiri acara musik bawah tanah, sedang kali ini petualangan bawah tanah.

Toponimi ‘Pintu Air’ pada goa ini, menurutku sangat sesuai, karena merupakan pintu masuknya aliran sungai. Untuk memasukinya dibutuhkan penerangan, beberapa dari kami ada yang membawa headlamp dan senter genggam, sedang aku menggunakan helem sepeda BMX, di atasnya terdapat senter genggam yang ku ikat pakai webbing, seakan-akan aku penjelajah goa profesional.

Awal masuk goa, kami disambut potongan kayu dan ranting pohon, termasuk kiriman dari bambu-bambu yang ada di sekitar sini, lubang yang hanya bisa dilalui oleh satu orang membuat sisa-sisa tumbuhan tersebut tersangkut dan menumpuk. Kemudian kami dihadapkan pada lorong yang lebih sempit, untuk memasukinya kami harus sedikit memanjat, lorongnya memang tidak panjang, namun untuk meloloskan badan, kami harus merayap. Dari tiga perempuan yang ikut, Miska, perempuan asal Tebing, memiliki ukuran badan di atas rata-rata (tidak termasuk EQ, IQ, dan SQ), sampai-sampai ia harus didorong dan ditarik.

Setelah aksi tiarap kelar, kami menemukan ruangan yang luas, jika tanpa senter tempat ini sangat gelap, sebab cahaya matahari sudah enggan berkunjung. Lantai goa becek dan berlumpur. Kami tidak menemukan aliran sungai, mungkin di bawar lantai karst yang kami injak, rasa takjub dan penasaran membuat cahaya senter kami mulai bergentangan ke segala penjuru langit goa, banyak sosok putih dan panjang bergantungan.

Kehadiran kami di sini adaah untuk memetakan  dan menggambarkan kondisi di sepanjang jalur goa, karena GPS kampus belum secanggih kepunyaan tim National Geographic, maka kami melakukannya dengan cara manual. Masing-masing kami sudah kebagian peran, Berri menggunakan LDR (Laser Distance Meter) yang juga di pinjam dari kampus untuk menghitung jarak, alat ini cukup memudahkan, dengan mengarahkan cahaya ke objek, sudah bisa diketahui berapa jaraknya. Seandainya menggunakan meteran atau tali bisa-bisa kami sudah ditinggal wisuda oleh teman kampus yang lain. Aku menggunakan kompas yang merupakan hadiah ulang tahun dari Berri dan Miska untuk menghitung azimuth. Johan yang satu kota dengan Berri, Isma, dan Miska mendata keberadaan fauna. Juju dan Nazar yang tampil beda dengan mantel hujannya bertugas mendata bentukan-bentukan di dalam goa, di antara kami, Nazar satu-satunya produk asli Langkat, meski dari kecamatan yang berbeda. Tomy, asal Sidikalang dan Gustaf yang jauh-jauh merantau dari perbatasan Indonesia dengan Singapura dan Malaysia, mendokumentasikan kegiatan bermain sambil belajar ini lewat kamera, sedang kedua tetangga Berri mem-back up sebagai penunjuk jalan.

Dari ruang yang luas barusan, kami disambut lagi oleh aliran sungai yang keluar dari bawah lapisan batuan. Kembali lagi, kami celupkan kaki into the hidden river sambil menjalankan tugas yang telah diamanahkan konstitusi, bukankah penelitian ini bagian dari mencerdaskan kehidupan berbangsa? Tentunya sambil berfoto saat menemukan spot yang menarik, sepertinya semua ornamen yang ada di sini menarik.

Sorotan cahaya dari berbagai senter merayap di permukaan air, kami melangkah dengan penuh kehati-hatian mengikuti arus sungai. Sungai ini tidak selurus rambut milik model iklan sampo, semakin banyak kelokan semakin banyak pula sudut arah yang harus ku data, ditambah lagi aku harus mencatat jarak yang tertera pada layar LDR, sepertinya arah dan jarak memang ditakdirkan untuk bersama, kesempurnaan akan raib bila salah satu di antara keduanya tiada.

Lebar sungai bervariasi, begitu juga kedalamannya, mulai dari sebetis hingga yang sedada. Agar tidak basah, selain pengguna dry bag, mau tidak mau harus mengangkat tas lebih tinggi dari kepala saat melewati bagian sungai yang paling dalam, begitu juga bagi pembawa lembar observasi yang melekat pada papan kerani.

Sejauh ini, kami masih menjumpai neneng moyangnya Batman yang beterbangan dan jangkrik yang bertengger di dinding goa, selaku tuan rumah. Tidak terhitung banyaknya ludah yang mengucur dari langit-langit goa, kami hiarukan saja, sebab bagian dari pelapukan kimiwai, dimana air dan batuan kapur larut dalam hubungan intim yang kerap melahirkan stalagtit, stalagmit, bahkan coloumn. Meski hampir tiga jam di dalam goa, kami sama sekali tidak sesak nafas, sebab masih mendapatkan supply oksigen dari air yang mengalir, berbeda halnya bila berada di goa kering.

Secercah cahaya bukan dari senter kami jatuh ke air, saat didekati ternyata bersumber dari langit-langit goa di sebelah kanan, dua buah lubang seukuran lingkar badan orang dewasa telah meloloskannya ke mari, dalam bahasa speleologinya disebut jendela alam atau window, tajuk pepohonan yang berlatarkan langit biru tengah mengintai dari sana. Tidak beberapa lama, tepat di atas kepala, lubang yang lebih besar menumpahkan cahaya ke air, bentuknya oval tidak beraturan, dengan jari-jari terpanjang sekitar dua meter dan terpendek satu meter.

Ternyata di depan sana sudah ada yang menyambut kami, pintu keluar yang lebih besar dari pintu masuk. Sungguh menakjubkan, sungai yang menghilang ke dalam bumi bisa muncul lagi di lubang yang berbeda. Akhirnya aku bisa menyusuri sungai bawah tanah, selama ini aku mengetahuinya lewat buku atau televisi.

Saat keluar dari mulut goa, kami dihadapkan pada sungai yang muka airnya sedada. Setelah mulut goa memuntahkan manusia yang sejak tadi merasuki lambungnya, kami menepi ke kanan sungai. Kelamaan berendam di air membuat warga perut berunjuk rasa, tujuan selanjutnya adalah kembali tenda dan makan siang.

“Kita balik lewat goa lagi bray? Tanyaku ke Berri.

“Sebenarnya ada jalan tanpa harus lewat sana lagi, kemarin kami lewati pas survei,” jawabnya.

“Yang penting bisa lekas balik ke tenda, udah lapar nih,” ucap Juju yang raganya semakin kurus karena bolak-balik revisi skripsi dan terlalu merindukan Orang Utan yang selama ini hanya terlihat di foto.

“Abang masih ingat kan? aku lngat-ingat lupa,” kata Berri ke kedua tetangganya yang berbadan gempal.

“Aku juga ber, tapi kita gas aja lah,” jawabnya Jogal.

Perjalanan dilanjutkan tanpa menyusuri goa, sadar baru ke mari, kami memilih ikut pada yang lebih berpengalaman. Kami mulai menaiki lereng bukit yang humusnya cukup tebal. Meski sungai sudah tidak tampak, namun kami masih mendengar jelas suaranya.

Pada serasah dedaunan yang basah, aku menemukan sesuatu yang berserakan, sepertinya bukan dari tas temannku, langkahku pun terhenti. Panjang rata-ratanya sekitar sepeuluh centimeter, sebagian ujungnya runcing, sebagian lagi tumpul, bahannya lebih mendekati tulang pada bulu ayam, hanya saja diameternya lebih lebar, warnanya dominan putih, namun pada ujungnya yang tumpul ada sentuhan hitam. Ku masukkan tiga batang ke dalam tas, sebagian mereka juga memungutnya. Secara fisiografis, tempat ini masih bagian dari TNGL (Taman Nasional Gunung Leuser), dari yang pernah ku baca, landak memang salah satu fauna khasnya, dan biasanya landak melepas bulu untuk menyerang predator.

Tanjakan usai, digantikan punggungan bukit yang dominan datar, dalam pendakian, kami menyebutnya bonus, setelah itu kami potong kompas ke kiri, menuruni lereng bukit. Hingga bertemu anak sungai yang lebarnya satu meter, kami pun menyebaranginya. Kami terus menerobos hutan, mengikuti langkah yang paling depan. Hingga akhirnya kami keluar dari hutan, tempatnya terbuka, namun bukan di lokasi kemah.

Kini kami berada di kelokan jalan tanah, lebarnya bisa dilalui satu mobil, pembuatan jalan ini kelihatan mangkrak, dari ciri-ciri yang tampak, sepertinya beko pernah sampai kemari. Pada arah yang menurun, tumbuhan menjalar hampir menutupi jalan yang berujung pada semak belukar, sebagai isyarat kalau jalan ini sudah lama tidak dilalui dan pengerukannya berakhir di sana. Kami dikepung dari segala penjuru oleh perbukitan yang dibalut hutan tropis, ada kebun kelapa sawit yang masih sedikit di dekat kami, dengar-dengar yang sedikit lama-lama bisa merambah bukit.

Untuk memastikan kami sedang dimana dan harus kemana, Berri menghubungi kila lewat handphone-nya dengan bermodalkan setitik sinyal, panggilan diangkat dan ada jawaban meski suaranya terdengar kurang jelas, Berri sempat menyampaikan keberadaan kami dan menjelaskan ciri-ciri tempat ini, setelah itu komunikasi terputus, sinyal enggan kembali. Kejadian barusan merupakan suatu keajaiban, di tempat seperti ini sinyal lebih suka menghampiri handphone yang biasa-biasa saja.

Sore mulai dijamah mendung, burung-burung yang sepertinya tahu kalau hujan bakal turun, mulai kembali ke peraduannya. Dalam harap, kami juga ingin kembali ke tenda sebelum gelap. Langkah berlanjut, mengikuti Berri dan kedua tetangganya menuju jalan tanah yang berbeda arah dan tampa mengecil. Meski di tengahnya ditumbuhi rerumputan, ini tampak lebih menjajikan dari yang diramaikan tumbuhan menjalar tadi.

Canda dan tawa minggat dari jiwa kami, terakhir saat di goa. Meski jangkrik sedang berteriak sekuat tenaga, namun kami seakan berjalan di tengah keheningan. Pada hati kami, mungkin cemas dan doa saling beradu. Aku tahu, satu per satu dari kami mulai kelelahan, ditambah lagi belum makan siang, makan siang di tenda hanya sebatas rencana, karena siang mulai dimakan gelap.

Sesuatu di kanan membuatku tersentak, pada tanah yang sedikit menanjak, ditumbuhi pepohonan yang jaraknya teratur, diramaikan serasah dedaunan, sekitar sepuluh meter dari jalan yang kami lalui, aku melihat gubuk yang jendelanya terbuka, papan belakang yang dipenuhi lumut menjalar, membuatnya semakin terkesan horor.

Awalnya aku sempat ragu akan keberadaannya, rindang pepohonan dan mendung membuat suasana di sekitar gubuk tampak remang-remang. Mata ku kucek, ku pelototi lebih lama, ternyata memang nyata. Rasanya hanya aku yang memperhatikan keberadaannya, kawan-kawanku lebih meratapi jalan dan fokus mengikuti yang di depan.

Gubuk berlalu, tampak ada jalan ke kiri dan lurus, keduanya semakin kecil. Lurus jadi pilihan hingga kami menemukan saluran air yang di atasnya melintang jembatan papan. Ada yang menangis, kami putar balik, menuruti intruksi. Mencoba belok kanan, jalan mentok pada sebuah gubuk yang tampak lebih terawat dari yang ku lihat sebelumnya. Di terasnya banyak tumpukan barang, di bawah atap menggantung boneka berupa anak perempuan dengan rambut kuning yang dikucir, angin membuatnya menari tidak karuan, gelegar petir jadi backsound-nya, balik arah pilihan yang tepat.

Gubuk horor tadi ku lihat lagi, namun tidak satu pun dari mereka yang memandang ke sana, ku sentuh pundak Miska.

“Misk, seram ya gubuknya,” ucapku dari belakangnya sambil menujuk ke kiri.

“Iya za,” jawab miska dengan mode Lowbat.

“Ntar kalau kemalaman, kek-nya kita bisa tidur di situ.”

“He em,” Miska meng-iya-kan tanpa gairah.

Syukur lah ada yang melihat selain aku, keyakinan semakin mengatakan kalau gubuk itu memang nyata. Dalam diriku ada tanda tanya besar, di saat hujan begini, kenapa mereka tidak tergugah untuk berteduh sejenak di sana? Mereka masih saja setia mengikuti langkah Berri, artinya mereka masih setuju dengan pimpinan perjalanan ini. Kendati demikian, aku tidak mau membuat kami pecah suara, ku turuti sampai di mana kemampuan akan berujung.

Langkah terhenti pada kelokan jalan yang pertama kali kami dapati saat keluar dari hutan, hujan reda, ketegangan belum. Berri dan tetangganya bingung, bisa-bisanya kami sampai kemari, apa lagi kami. Waktu survei, mereka merasa lebih dekat bila tidak melewati goa.

Jika ingin berpositif thinking, sepertinya mereka lupa jalur, maklum baru sekali. Kalau tadi mereka bilang ‘ingat-ingat lupa’, kini jadi ‘lupa-lupa ingat’, sebab lebih banyak lupanya. Jika ingin bernegatif thinking, mungkin saja pandangan mereka dikelabui oleh penunggu hutan, sehingga jalan yang asli tidak kelihatan oleh mata fisik, kecuali dengan mata batin.

Melihat bekas pembukaan lahan pada salah satu sisi bukit yang sepertinya ditujukan untuk perkebunan, aku mengusulkan agar naik kesana, dengan penuh semangat, ku coba mendahului teman-temanku, aku terkejut saat sampai di puncaknya, pikirku akan melihat perkampungan di kejauhan. “Tidak ada jalan,” begitu ucapku kepada mereka yang mencoba menghampiriku. Hanya kelebatan hutan yang ada dibaliknya, kami turun ke tempat semula bersamaan dengan turunnya gelap.

Berri teringat pada GPS di drybag-nya, sebelum masuk goa, ia sempatkan menandai koordinat tempat kami mendirikan tenda. Jalan yang sudah jelas untuk kembali ke sana adalah goa, namun sangat beresiko bila melewatinya di saat malam, kemungkinan akan ada hewan buas yang menjadi petugas jaga malam.

Lagi-lagi gerimis menghempaskan raganya ke bumi, “kenapa kita nggak bermalam aja dulu di gubuk tadi?” usulku.

“Gubuk yang ada boneka tadi maksudmu cing?” tanya Gustaf.

“Bukan, sebelum itu kalau dari sini,” jawabku.

“Memang ada gubuk ya selain itu?” tanya Johan.

“Ada, Miska aja lihat, iya kan?” ucapku.

“Iya,” jawab Miska singkat.

“Sebenarnya tenda kita nggak jauh, ada dibalik bukit sana,” Berri memotong pembicaraan kami sambil meminta ilham dari GPS dan menunjuk ke arah yang belum dihampiri sejak tadi.

Bermodalkan senter yang sudah bekerja keras seharian, kami turuti keinginan Berri. Dari meeting point, aku menyebutnya demekian karena kemana pun beranjak selalu melewatinya dan disitu pula Berri mendapat mukjizat berupa sinyal, kami turuni jalan yang hampir diselimuti tumbuhan menjalar dan ilalang, menuju bukit yang ia maksud.

Kami berbaris seperti iringan semut, namun lebih rapat dari sebelumnya. Karena menggunakan celana pendek, rerumputan yang basah jadi sangat leluasa meraba betisku, awalnya aku menggunakan celana ini agar terasa mudah saat melangkah di air, siapa sangka kami bakal menerabas medan yang lebih dari itu. Sesekali ku arahkan senterku ke bawah, barangkali ada makhluk penghisap darah. Bekas kerukan beko ini berakhir pada pada jalan setapak, kami kembali memasuki hutan dan menemukan anak sungai yang lebarnya juga satu meter, aku melihat hujan sedang melukis lingkaran yang saling bersinggungan di badan air.

Di seberang sungai, kami dihadapkan pada lereng bukit yang masih diselimuti vegetasi. Kami berjalan mengikuti aliran sungai yang tingginya airnya hanya semata kaki, berharap ada jalan yang bisa dilalui, namun karena semua sisinya didominasi tumbuha pakis dan semak belukar, akhirnya Bang Jogal mengandalkan golok yang dibawanya. Sembelum menanjak, kembali lagi Berri mengucapkan kata yang sudah ia ucapkan tadi sambil melirik GPS, “sebenarnya tenda kita nggak jauh, ada di balik bukit ini.” Semoga saja wahyu dari angkasa yang disampaikan benda tersebut benar adanya, tanpa diintervensi oleh lemahnya sinyal dan usianya yang semakin menua.

Berri dan tetanggaya bergantian menebas pakis liar dan semak belukar yang mengepung kami, saat jalan sudah terbentuk kami melangkah dengan perlahan. Aku ragu akan tiba di tenda malam ini, jika begini caranya bisa-bisa besok pagi kami sampai, sebab harus membuat jalan terlebih dahulu, menerjang gelap, ditambah lagi gerimis yang tak kunjung usai. Alangkah baiknya kalau malam ini kami mengumpulkan tenaga di gubuk tadi, kemudian perjalanan dilanjutkan kembali esok pagi, aku masih memilih diam, agar tidak membuyarkan ambisi Berri yang ingin melampaui bukit ini. Berri dan tetangganya tampak antusias menerabas tumbuhan di yang menghalangi jalan kami, aku sadar mereka punya tanggung jawab besar karena sudah membawa kami dan tidak ingin sesuatu yang tidak diharapkan terjadi pada kami.

Sejauh ini teman-teman lain belum ada yang tergugah untuk berganti shift sebagai penerabas, sepertinya mereka sedang dilanda kekalutan, selain itu Berri dan tetangganya juga belum mengibarkan bendera putih. Jujur aku sedikit enggan meneruskan kisah ini, inginku masih sama, bermalam di gubuk tadi, kendati demikian tidak ku paksakan ingingku ke mereka. Memang tidak boleh sembarangan masuk ke gubuk yang tidak ada pemiliknya, kali ini berebeda, keadaannya darurat.

Sesekali kami duduk sambil bersandar pada lereng yang kemiringannya cukup terjal, menunggu Berri dan tetangganya meneruskan jalur, sebagian ada yang memperhatikan mereka, sebagian lagi tunduk meratapi keadaan.

“Udah lah,” keluhan Berri menyentak kami, ia menghentikan tebasannya.

“Kenapa Ber?” tanya Bang Jogal.

“Kita putar balik aja,” ucap Berri yang mulai kehilangan konsentrasi.

“Kita bermalam di gubuk yang ku bilang tadi aja,” aku menyarankan sambil memandangi mereka yang sebagian ada di atas dan dibawahku.

“Dimana gubuk yang kau maksud Za?” tanya Berri dari atas.

“Kalau dari sini, antara kelokan waktu pertama kali kita keluar hutan dengan rumah yang ada boneka tadi.” Mendengar jawabanku, mereka mencoba mengingat-ingat, namun tidak satu pun dari mereka yang meresponnya. Aku tahu mereka tidak memperhatikannya tadi sore, maka dari itu ku yakinkan mereka dengan bertanya ke Miska, “Tadi, kau juga lihat kan Misk?”

“Iya, kita ke sana aja lah woi,” jawab Miska sambil menyapu ludah langit di wajahnya.

***

‘Yang jauh mendekat, yang dekat merapat’, kata-kata yang sering digaungkan penjual obat jalanan tersebut kini kami terapkan, sebab beberapa senter ada yang mulai redup karirnya, bahkan ada yang mati, sepertinya hujan melemahkan daya tahan baterai.

Di satu sesi aku senang Berri tidak melanjutkannya rencananya, di satu sisi aku menaruh curiga. Selama mendaki gunung dan keluar-masuk hutan dengannya, sedikit-banyak aku tahu karakternya di alam, yang aku tahu dia tidak pantang menyerah, bila kelelahan biasanya ia mulai memandang apa yang tidak orang lain padang, seketika ia jadi tidak banyak bicara seperti yang terjadi sekarang. Mendekati gubuk, aku tunjuk keberadaannya, semua senter spontan disorotkan ke sana, tapak sandal trekking yang bergesekan dengan serasah dedaunan jadi irama pengiring langkah kami.

“Seram juga ya,” ucap Tomy.

“Ini lah yang aku bilang dari tadi Tom,” sambungku.

“Nggak apa-apa, yang penting kita bisa berteduh,” kata Johan.

Dari samping, kami hampiri bagian depan, gubuk tersebut memeliki teras, sebagian kawan-kawanku mengamati sekeliling gubuk dengan senternya, memastikan keadaan aman terkendali. Posisinya menghadap ke semak belukar, lalu hutan, sedang belakangnya di huni pohon karet hingga ke jalan tanah. Terdengar rintih kayu saat ku naiki anak tangga, lemah senterku tidak sengaja menyoroti tulisan di kiri pintu.

“Apa? yang mati Alinurman?” ucapku dengan ekspresi terkejut karena melihat nama dosen terpampang di situ, bisa-bisanya yang menulis tahu kalau kami ini mahasiswanya. Isma tergoda untuk membacanya, “bukan! Aliaman-nya,” ucapnya dengan logat khas Mandailing yang tak kunjung luntur meski hampir sembilan semester di Medan .

“Iya cing, betul Isma,” Tomy meyakinkan.

Ku baca ulang, mereka benar, ‘YANG MATI ALIAMAN’, tulisan berbahan arang tersebut seakan jadi kata sambutan untuk kami yang tersesat namun tidak menyesatkan. Pintu tertutup namun masih menyisakan celah, ku dorong perlahan, decitannya memecah hening dalam ruangan.

Setelah menyoroti seisi gubuk, ternyata tidak ada siapa-siapa. Kami buru-buru masuk sambil memohon izin, siapa penyampai pesan kematian tersebut dan apa maksudnya, untuk sementara dihiraukan dulu. Hujan yang menemani kami sejak sore enggan beranjak, sekarang ia sendirian di luar, maaf jika kesetiaan dibalas dengan kesepian.

Pintu ditutup rapat, satu per satu kami duduk di lantai kayu dan bersandar pada dinding. Tidak ada sofa dan kasur di dalam gubuk berukuran tiga kali tiga meter ini, selain jaring laba-laba dan debu. Seketika aku teringat pada jendela yang masih terbuka, dalam rencanaku, kalau pintu gubuk ini terkunci, ku ajak mereka memanjat lewat belakang. Aku masuki ruang kecil yang ada di sudut, beberapa perkakas dan barang-barang yang lama terabaikan teronggok di setiap sudutnya. Ku tutup jendela, seketika ada yang meraba tanganku, suhunya lebih dingin dari tubuhku.

Sebagian kaum adam, termasuk aku, langsung membuka baju dan menjemurkannya ke pojok-pojok yang bisa digantung, kaum hawa tidak ikut-ikutan. Sudah seharian kami dilanda basah, runoff, perkolasi, infiltrasi hingga presipitasi jadi penyebabnya. Setelah semuanya duduk tenang dan ada yang merokok, aku mulai mengajukan rumusan masalah, “aku masih penasaran dengan tulisan tadi, kira-kira apa ya maksudnya?”

“Udah cing, nggak usah kau pikirin kali itu, besok lah kita pikir kan lagi, malam ini istirahat lah kita dulu,” ucap Gustaf.

“Iya cing, yang penting kita sudah dapat tempat berteduh,” tambah Johan.

“Mungkin Aliaman dulu matinya di sini kali.”

“Ah kau cing, makin takut nanti cewek-cewek ini,” kata Tomy.

“Tenang, kan ada Isma.”

“Iya, kan hantu yang takut sama Isma,” sambut Juju.

“Mak, parah kali kalian ya,” Miska membela.

“Nggak apa-apa Misk, besok nggak ku masakkan makanan buat mereka,” Isma berucap.

Sambil bercanda, kami membujuk Isma, dia tidak benar-benar merajuk, hatinya sudah kapalan. Perbincangan jadi sarana hiburan kami di tempat yang terisoloasi ini, negeri antah berantah, salah satunya dengan menerapkan selogan yang bukan arti sesungguhnya ‘Selalu Ada Cara untuk Membanggakan Diri Sendiri dan Menjatuhkan Orang Lain’. Itu yang bisa kami perbuat, mau makan, cemilan sudah habis, kebanyakan mengunyah angin membuat kami masuk angin, syukurnya ada sisa air di beberapa botol yang masih berkenan membentengi kami dari serangan kelaparan.

Sebagai penerangan, hanya satu senter yang dinyalakan, barang kali besok kami melewati goa lagi. Sejak awal sudah kami hiraukan suara-suara yang bersumber dari atap rumbia, ia tidak menganggu, hanya bereksistensi. Malam ini terasa panjang dari kemarin, sabar diuji lewat lapar, tanpa alas, kami berupaya tidur di berbagai sisi ruangan. Lantai kayu jadi berornamen karena cap basah celana, harta paling berharga kaum adam kini mengerut.

***

Tidak ada kokok ayam sebagai alarm pagi, baik dari kandang maupun handphone. Burung-burung mulai memamerkan bakat, kicauannya mengisyaratkan kalau pagi ini cerah. Aku bangkit tanpa Bangkit, teman kami yang tidak ikut dan belum main gila dengan skripsi. Pintu jadi sasaran langkahku, ku buka, tidak ada sarapan di teras. Matahari juga baru bangun, sedikit lebih cepat dari kami, ku palingkan wajahku ke kanan, tulisan misterius itu masih ada tanpa tambaha kata, tetap Aliaman, bukan Aliando pemain GGS, Ganteng-Ganteng Sange, Ganteng-Ganteng Srigala maksudnya.

“Woi, tulisannya hilang!” ucapku kepada mereka yang sebagian masih berbaring namun sudah siuman.

“Serius kau cing?” tanya Tomy.

“Lihatlah kalau nggak percaya!” ucapku.

Tomy yang sedang duduk merentangkan tangannya, kemudian menghampiri pintu, “ah becanda aja kau cing, masih ada nya, masih Aliaman, belum berubah jadi Alinurman.”

“Astagfirullahalazim,” ucapku, sungguh kami  mahasiswa yang durhaka kepada dosen, ampuni kami pak!

Bangun pagi, Berri langsung sarapan dengan rokok bakar, usulnya, kami balik lewat jalan yang sudah pasti, goa. Tidak ada pihak oposisi, semuanya menyanyikan lagu setuju seperti di DPR. Tiada yang harus dikemas, selain baju setengah kering yang menanti untuk dikenakan kembali sebagai penutup kedua mata di dada kami. Satu demi satu, kami keluar sambil membaca kata-kata wasiat di kanan pintu, jendela belakang ku buka kembali, pintu depan ditutup seperti sedia kala.

Tanah di depan gubuk cukup sempit, kami beralih ke sampingnya untuk berdoa bersama. Langkah berlanjut, ucapan terimakasih ramai terlontar kepada pemiliki gubuk yang sudah susah payah membangunnya di tengah hutan seperti ini, siapa pun sosok itu, ia telah bermanfaat untuk orang lain.

Sepuluh meter menjauh, untuk terakhir kalinya ku palingkan wajah ke belakang, “kenapa cing?”, tanya Tomy dari belakangku.

“Gubuknya Tom.”

“Ada apa dengan gubuknya?” ia melihat ke arah yang sama.

“Gubuknya masih ada, lihat sesuatu nggak di jendela?”

Berbelok arah membuat gubuk tadi hilang di mata, ditambah lagi kehadiran pepohonan yang menyembunyikannya. Tiada yang tahu, apakah gubuk itu akan tetap ada jika kami kembali lagi ke mari suatu saat nanti? handphone dan kamera kehabisan nyawa, sehingga kami tidak bisa mengabadikannya, sepertinya gubuk barusan lebih ingin diabadikan lewat ingatan kolektif kami.

Ketimbang pergi, waktu pulang lebih singkat, dari meeting point menuju pintu keluarnya air sungai memakan waktu tiga puluh menit, dilanjutkan melawan arus menuju pintu masuknya air sungai selama satu jam. Minimnya penerangan tidak begitu berarti dikarenakan semangat yang menggebu-gebu untuk kembali ke tenda, kali ini tanpa istirahat.

Wajah yang mendung, kembali berhiaskan pelangi ketika melihat tenda. Layaknya perantau yang bisa pulang ke kampung halaman setelah sekian lama, atau seperti orang yang terjebak di alam lain kemudian berhasil mudik ke alam nyata. Sepengatahuanku, kami baru menghilang semalaman, aku pernah dengar kalau perbedaan waktu di alam lain berbeda jauh dengan di alam nyata, satu hari bisa berbanding satu minggu, bahkan lebih.

Secara De Facto, kami dikategorikan menghilang, karena tidak kembali ke tenda selama satu kali dua puluh empat jam, tapi siapa yang merasa kehilangan kami? Secara De Jure, penduduk desa menganggap demikian, sesuai janji, kami kembali ke desa hari ini. Untuk memastikan bahwa kami hilang selama satu malam, aku bertanya ke Juju, sebab ia menggunakan jam digital bertanggal, hadiah ulang tahun dari kekasihnya.

Snack-snack yang semalaman Jablai (Jarang Dibelai), mulai ditransfer ke lambung. Sembari Chef Isma menyiapkan sarapan, kami menyicil packing. Akhir-akhir ini sedang heboh penggunaan batu cincin, salah satunya yang bersumber dari Langkat, hampir setiap jalan di Medan diramaikan penjual batu cincin yang kadang memampangkan bongkahan batu seukuran kepala manusia. Meski tidak gemar menggunakan cincin yang seperti itu, sebagai kenang-kenangan dan koleksi ku bawa beberapa butir yang ku pungut pagi kemarin di sungai, semuanya bening, apalagi kalau disenter jadi semakin bening, ada yang putih, kuning, dan merah muda, katanya lelaki memang suka yang bening-bening.

Setelah semuanya clear, kecuali tanah yang diramaikan guguran daun bambu, kami tinggalkan TKP (Tempat Kejadian Perkemahan), angin menggoyangkan beberapa batang bambu yang menimbulkan decitan khas. Sebelum masuk ke sungai, langkah kami terhenti oleh sapaan lelaki dari luar rumah panggung.

“Balik bang?”

“Iya bang,” jawab Berri.

“Tadi malam kok sepi bang? Nggak seperti malam sebelumnya ada cahaya dan suara ramai-ramai.”

“Kecapekan kami bang, jadi langsung tidur.”

“Tapi syukurlah bang.”

“Kenap bang?”

“Nggak apa-apa bang, hati-hati ya bang, kak.”

***

Kumandang adzan dzuhur yang terdengar sayup dari kejauhan berakhir saat kami tiba di perkampungan, semuanya lega, karena kembali ke habitat dan melihat tanda-tanda kehidupan. Pria yang dipanggil Berri dengan kila sedang di rumah, tampak saat memasuki pekarangan rumah yang dilapisi rumput jepang, ia mempersilahkan kami duduk di bangku kayu yang ada di teras samping.

“Kemarin kenapa bisa nelepon nak?”

“Waktu nelepon itu kami bukan di tempat kemah kila,” jawab Berri.

Kila juga heran, biasanya di sana nggak ada sinyal.”

Berri menjelaskan kejadian yang kami alami, beliau juga bingung bagaimana kami bisa sampai sana, meski telah di jelaskan ciri-cirinya, ia mengaku tidak pernah tahu mengenai tempat tersebut. Kila mengatakan kalau setiap kejadian itu pasti ada hikmahnya, dan setiap tempat itu pasti ada tuannya, yang terpenting kami bisa kembali dengan selamat.

***

Warung makan yang ada di dekat Tugu Bahorok, tepatnya di seberang simpang jalan dari arah perkampungan yang telah ditinggalkan, jadi tempat kami memberi makan handphone yang semalaman padam. Jarak tempuh dari rumah kila ke mari sekitra tiga puluh menit, karena pusat pasar, di sini rebih menyuguhkan keramaian, apa lagi sudah dekat dengan objek wisata Batu Katak yang sedang trend dan pemandian alam Bukit Lawang yang sudah ku kunjungi sejak kelas dua SD.

Ada yang mempesona di pinggir jalan, ku hampiri, ku tinggalkan teman-teman yang tengah menghisap rokok dan menyeruput kopi. Sebenarnya ada yang lebih menggoda dari bunyi lonceng yang sedari tadi merayuku, es krim yang dijajalkan, ditambah lagi cuaca terik yang jadi katalisatornya.

“Mau pakai corong atau roti bang?”, tanya abang penjual dengan logat Jawa.

“Roti bang.”

“Abangnya dari mana?” tanyanya sambil membelah roti dengan pisau.

“Baru pulang camping bang.”

“Seru dong, camping di mana bang?”

“Di dekat goa pintu air bang, pernah ke sana bang?”

“Belum, tapi saya pernah dengar, masuk-masuk hutan kan?”

“Iya bang, berapa bang?”

“Lima ribu bang, eh orang abang ada jumpa harimau nggak?”

“Enggak bang, emang kenapa bang?”

“Soalnya ada sapi warga yang mati dicabik-cabik sama harimau.”

“Kapan bang?”

“Tadi malam, cuma baru tahunya tadi pagi.”

Aku kembali ke meja sambil membawa es pesanan. Makanan sudah datang, sebagian ada yang melahap lebih dulu dikarenakan lapar akut, tidak lupa ku sampaikan info yang didapat dari penjual es barusan. Awalnya mereka tidak percaya, katanya aku suka bercanda, lagi-lagi aku bercanda dengan joke-nya Anak Medan, “kalau tidak percaya pindah agama aja kalian!”, merka baru percaya setelah ku pinta agar bertanya langsung ke abang tersebut.

Norma yang umum di kalangan forester, bila melihat kejanggalan yang sifatnya di luar nalar, tidak boleh diceritkan saat itu juga atau ketika masih di sekitaran TKP (Tempat Kejadian Penampakan), Berri mulai mengungkapkan kalau ia melihat sepasang mata di tengah kegelapan saat sedang menerabas tumbuhan, itu alasan yang membuatnya berhenti tadi malam.

Siapakah pemilik sepasang mata bola tersebut? Mungkinkah ‘Aliaman’ mati karena diterkam harimau? Tanda tanya yang mulai berkelabat dalam pikiran untuk sementara ku enyahkan, belum lagi ragam pertanyaan pada rumusan masalah penelitianku yang tidak kunjung terjawab. Perkataan Bang jogal “ini semua gara-gara kita nggak shalat jum’at” membumbui canda-tawa kami yang sedang asyik melahap nikmatnya makanan karena efek lapar dan lelah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendakian Gunung Pusuk Buhit

PMR Madya dan Wira Sekolah Kallista Mengikuti Pelantikan PMR Se-Kota Batam Tahun 2017