Hongkong hingga Austria
Kamis, 19 Desember 2013.
Berada di sampingnya membuat ku senang, punya kenalan baru tentunya banyak cerita baru yang ku dapat. Ia duduk di sebelah kananku, sesekali betisnya yang lebih putih dari punyaku, bahkan lebih mulus, bersentuhan dengan betisku yang dibungkus celana jeans panjang berwarna biru.
Meski kami berbeda bangsa dan ras, namun kami sama-sama menyukai music and traveling. Tiada yang tahu, apakah kami akan dipertemukan lagi setelah ini? yang jelas kami mengabadikan moment dengan berfoto bersama. Kelak, bila ingin melihat wajahnya, aku tidak perlu repot-repot untuk menghayal.
***
Dari pintu gerbang Pelabuhan Ulee Lheue, kami arahkan langkah menuju loket. Beberapa informan mengatakan bahwa ada dua tipe keberangkatan kapal menuju Sabang, short time dan long time. Via cepat menggunakan kapal express dengan waktu tempuh sekitar 45 menit dan dikenakan tarif sebesar Rp. 65.000, sedangkan via lambat menggunakan kapal Ferry dengan waktu tempuh sekitar 2 jam dan dikenakan tarif sebesar Rp. 20.350.
Kami tidak sedang mengadakan perjalanan pergi-pulang dalam satu hari, tentunya option kedua menjadi pilihan yang tepat, ditambah lagi kondisi keuangan kami yang merakyat. Mengadopsi pepetah ‘Tidak akan lari gunung dikejar’, juga ‘Tidak akan lari Sabang dikejar’ tentunya.
Selaku bendahara yang mengurusi keuangan selama di perjalanan, ku keluarkan uang hasil ngamen untuk membeli tiket. Jujur aku tidak berbakat menjadi bendahara, dan tidak pernah mau mengemban posisi itu, namun secara aklamasi Fuad dan Dona menunjukku, suka tidak suka aku harus menerimanya.
Keberangkatan kapal pukul 14.00 WIB, masih ada waktu 30 menit lagi. Kami mencari bangku untuk meluruskan kaki yang sedari pagi sudah banyak berjalan, sambil mendiskusikan prihal kami di Sabang nanti, yang jelas tidak akan ada pembahasan ‘kami akan tidur di villa mana?’ Dalam keadaan menunggu begini, biasanya aku menghitung dan merapikan lembaran rupiah yang masih berserakan di dalam tas maupun bong, tentunya lewat support kedua mitraku. Beragam spektrum warna uang kami rapikan dalam bentuk bundelan, satu bundelnya bernominal Rp. 100.000, mau tahu sudah berapa bundel yang kami kumpulkan? Biarlah menjadi judul lagunya Ari Lasso ‘Misteri Ilahi’.
***
Ku lirik jam tangan hitam yang melekat di kiri tangan, sudah pukul 14.00 WIB, belum ada tanda-tanda kalau kapal tujuan Sabang akan berangkat. A few moments later terdengar kabar keterlambatan, kapal yang akan kami naiki masih dalam perjalanan menuju ke mari.
Tidak bisa dipungkuri, rasa bosan mulai menggrogoti, juga berkecamuk dengan rasa penasaran akan seluk-beluk Pulau We. Kalau memang ditakdirkan berjodoh, pertemuan merupakan suatu kepastian, sebab jodoh will don’t go anywhere. Ajakku pada kedua temanku untuk menyaksikan ‘karpet biru’ lebih dekat. Debur ombak yang senantiasa menghempas tepi pelabuhan semakain terdengar jelas, ada yang datang dan pergi, bukan rindu, melainkan kapal express dari dan menuju Sabang.
Salah satu cara membunuh kebosanan adalah lewat sifat ria yang diperbolehkan, yaitu dengan berfoto ria. Sudah menjadi suatu kebiasaan setelah melihat nice view, aku memotret orang lain terlebih dulu, setelah itu baru diriku, secara tidak langsung aku memberikan contoh dan ingin diperlakukan dengan cara yang sama, alias difoto seperti yang aku memoto mereka.
Saat ini aku mengenakan kaos hitam bertuliskan dan bergambarkan Museum Tsunami, aku minta difotokan juga dengan background laut dan bebarapa kapal yang ada disekitar sini, dibelakangku ada kapal express putih dengan sentuhan warna merah yang bertuliskan ‘Pulau Rondo’.
***
14.30 WIB, ada yang datang lalu bersandar, kapal. Berbagai jenis kendaraan mulai dari roda dua hingga roda empat berhamburan ke daratan. Ada yang merebut perhatianku, sebuah vespa antik dengan bak samping, pada platnya tercantum BK, tentunya para pemuda bernampilan freedom yang mengendarainya juga berasal dari provinsi yang sama seperti aku dan Fuad.
Di bagian belakang vespa berkibar bendera yang didominasi warna merah bertuliskan Partai Aceh, satu-satunya provinsi di Indonesia yang memiliki local party, aku membatin ‘Di tasku juga ada.’ Selain meyakini Arkanul Iman, aku juga meyakini kalau ‘anak-anak vespa’ tersebut mengambilnya karena punya alasan filosofis sepertiku, bukan karena simpatisan. Dari kecil aku selalu melihat bendera berlogo hewan buas dan pohon angker, namun tidak pernah terbersit untuk merebutnya seperti merebut kemerdekaan.
Penumpang yang lama keluar, saatnya penumpang yang baru memasuki kapal. Kami naiki tangga besi menuju lantai tiga, tempat di mana manusia-manusia bebas bisa melihat laut tanpa menggunakan jendela, dan bisa menyaksikan langit tanpa dihalangi atap. Setelah lantai dasar dipenuhi oleh berbagai kendaraan, mesin kapal yang tadinya sayup kini mulai menggelegar, pertanda kapal mulai melepas ikatannya dengan Pulau Sumatera.
Matahari masih menyisakan teriknya pada bumi, namun tidak semenyala pukul satu tadi. Tubuhku merapat ke pagar bagian belakang kapal, mataku khusyuk meyaksikan garis pantai Aceh yang menghilang di batas pandangan. Waktu membawa ku pada sebuah perbincangan dengan laki-laki yang baru dikenal. Dari perawakan, sepertinya dia tahu kalau kami bukan penduduk sini, sehingga dia bertanya asal dan maksud kedatangan kami ke Sabang. Kata demi kata mengalir begitu saja, hingga akhirnya bermuara ke Hongkong.
“Tahu Jackie Chan kan?”
“Tahu lah bang, totonan masa kecil itu,” jawabku.
“Lihat bangunan-bangunan yang ada di sana?” tanyanya sambil menunjuk ke jajaran bangunan di perbukitan yang tampak kecil dari sini, dan masih berada di daratan yang baru saja kami tinggalkan.
“Lihat bang, dia pernah nginap di sana?” jawabku sambil memalingkan wajah ke Timur Laut.
“Tidak, itu perumahan yang dia bangun untuk beberapa korban tsunami 2004 lalu.”
“Kelihatannya seperti villa bang. Hebat dia ya, selain bisa bangun karir juga bisa bangun perumahan.”
“Yang bangun kontraktor, tapi yang mebiayai pembangunannya dia.”
Ini beda-beda tebal dengan Jalan Raya Pos (Groote Postweg), membentang dari Anyer hingga Panurukan sejauh 1000 km, yang katanya dibangun oleh Deandles, padahal pekerja adalah inlander, aku tidak yakin dia mau memegang sekop dan berkotor-kotor ria dalam mega proyek yang menghubungkan barat dan timur Jawa tersebut. Masih mending Jackie Chan mau mensponsori dan menggalang dana untuk perumahan yang sering disebut ‘Kampung Jackie Chan’.
Tidak ku sangka aktor legendaris Hongkong yang jago bela diri sendiri tersebut, ternyata juga jago bela diri orang lain yang berbeda negara dengannya, sejatinya kemanusiaan itu memang tidak mengenal batas negara, ada yang lebih tinggi di atas nasionalisme, internasionalisme. Mungkinkah ini balas budimu kepada rakyat +62 yang menonton film-filmmu di layar kaca?
Abang yang tadi berlalu, sepertinya merapat dengan keluarganya di second floor. Aku duduk di bangku melintang yang sejajar dengan pagar bagian belakang kapal, Fuad dan Dona tengah berbincang di sebelah kiriku, sementara aku memetik gitar dan bernyanyi, setiap untaian nada diiringi hembusan nafas alam.
***
Seorang berpakaian serba hitam dengan kaca mata ditaruh di atas kepala, baru saja tiba di lantai tertinggi kapal ini, kancing bagian atas pakaianya terbuka membuat sebagian dadanya terlihat. Dia melangkah ke arah pagar kapal di dekatku dan berdiri di sampingku, menatap ke laut biru, setelah itu dia duduk di sampingku, kami berjarak 50 cm.
Nyaliku tertantang untuk memulai pembicaraan dengannya yang berparas Eropa, akhirnya aku buktikan kepada dunia kalau orang indonesia itu ramah-tamah lewat kemampuan berbahasa inggrisku yang ‘ada apanya’. “Hi, good afternoon.”
“Hi, good afternoon too.”
“Where do you come from?”
“Austria, you?”
“From Medan.”
“Where is it?”
“In North Sumatera, near from Toba Lake.”
“I know, it’s a very beautiful lake.”
“Have you gone there?”
“Not yet, but I want to go there.”
Perbincangan terus berlanjut demi mengasah kemampuan berbahasa inggrisku, ternyata dia ingin menyusul temannya yang lebih dulu ke Sabang, nanti malam mereka akan mengadakan party di villa tepi pantai, wow! Thursday night party! Kalau aku, malam jum’at biasanya yasinan.
Saat berbincang seputar musik, ternyata dia menyukai musik blues, lantas ku persilahkan dia memainkan gitar untuk membawakan sebuah lagu. Sungguh penampilan yang bagus, dari petikan gitar hingga lagu yang dibawakannya, membuat mataku terus tertuju pada performer-nya. Sayangnya aku tidak tahu itu lagu siapa, mungkin lagu dari negaranya, mungkin juga lagu bertaraf internasional yang tidak pernah aku dengar sebelumnya, atau jangan-jangan lagu ciptaannya sendiri?
Usai memainkan lagu, dia serahkan gitar kembali, memintaku untuk membawakan lagu juga. Saat ku tanya apakah dia menyukai musik reaggae, dia mengatakan tidak terlalu suka, namun dia tetap mempersilahkanku bila ingin memainkannya. Aku bertanya demikian bukan karena aku menggeluti musik reaggae, diri ini hanya pendengar yang baik saat teman-teman sekampusku memainkan musik tersebut ketika camping, justru aku mau memainkan sebuah lagu berbahasa inggris yang ku hapal sejak SMA, milik salah satu band reaggae Indonesia, Steven and Coconut Treez.
“Welcome to my paradise
Where this sky so blue, where the sunshine so bright
Welcome to my paradise
Where you can be free, where the party never ending”
Selain hafal, aku menyanyikan lagu itu karena ada alasan filosofis, lewat lagu yang baru aku nyanyikan aku ingin mengucapkan “Selamat datang di Indonesia yang merupakan kepingan surga di dunia,” negara dengan intensitas cahaya matahari tinggi karena dilalui ‘benang’ khatulistiwa, langit dan lautnya yang biru, ditambah lagi dia ingan mengadakan party ke mari.
Entah bagaimana ceritanya, yang semula posisi duduk kami berjarak 50 cm, kini sudah semakin dekat, awas nempel kayak perangko! Seperti yin dan yang, jika ada pertemuan maka ada perpisahan, dia ingin berlalu dariku. Sebelum berpisah, aku meminta Dona untuk memotokan kami. Posisi kami yang sudah dekat, kini semakin dekat, hingga betisnya yang lebih putih dari punyaku, bahkan lebih mulus, bersentuhan dengan betisku yang dibungkus celana jeans panjang berwarna biru.
Fuad juga minta difotokan dengan lelaki berewokan tipis yang berasal dari negara pemicu Perang Dunia I tersebut, Dona tidak ikut, seleranya lokal. Gayanya sangat simple, ia hanya mengenakan sendal gunung, celana pendek, dan kemeja dengan kancing bagian atas terbuka yang membuat bulu dadanya mengintip ke kamera.
Bulek tadi berlalu, Fuad dan Dona sedang membakar rokok yang sudah susah-payah diproduksi dari pabriknya. Aku menepi ke pinggir kapal, bukan ingin melompat dan lari dari kenyataan, hanya ingin lari dari keramaian. Ku amati buih ombak yang menjadi bekas laluan kapal, benarkah hidup seperti juga?
Ku ambil notebook hijau dari dalam tas, tidak lupa juga pena, ku goreskan tinta pada kertas putih akan apa yang telah kami lalui hari ini, termasuk saat kali pertama aku menyerahkan 1 kening, 2 telapak tangan, 2 dengkul, dan 2 ujung kakiku ke lantai masjid yang sedari kecil aku berharap bisa ke sana, Baiturrahman.
Komentar
Posting Komentar