Penampakan di Bunker Jepang
Oleh: Taring
Sabtu, 21 Desember 2013. Perlahan-lahan mataku mulai terbuka dan dirasuki cahaya lampu yang tidak lelah bersinar sejak tadi malam, hidungku mulai menginformasikan kesejukan udara di sini ke otak, telingaku mendengar debur ombak yang mulai melemah diiringi lantunan ayat suci Al-Qur’an dari masjid sekitar.
Ku lirik jam tangan, ternyata sudah pukul 04.58 WIB. Mencoba bangkit dari zona rebahku, lalu duduk dan melihat ke bangku sebelah, Fuad dan Dona masih terlelap dalam tidur dengan posisi badan menyamping. Sepertinya mereka kedinginan, tampak dari kaki yang ditekuk dan telapak tangan yang diapit di antara 2 lutut mereka. Di dekat mereka sudah ada gitar, tadi malam salah seorang bapak yang tengah berkumpulu di seberang jalan meminjamnya dari kami. Mereka sudah bubar, yang belum hanya sampah makanan dan minuman yang bertengger di atas meja depan warung, sebelum tidur aku sempat mendengar keseruan mereka bermain kartu.
05.13 WIB, adzan berkumandang dari masjid yang aku tidak tahu di mana posisinya, sepertinya aku shalat di sini saja.
“Man... bangun man,” ucapku ke Dona sambil menyentuhnya.
“Hmmm...” jawabnya.
“Bro... bangun bro,” ucapku ke Fuad.
“Hmmm...” Ia juga menjawab begitu.
Ku kenakan sepatu Vans hitamku dan bersiap untuk mencari musholla di areal Taman Wisata Kuliner Kota Sabang ini. aku melangkah meninggalkan bangunan beton yang wujudnya mirip halte, tidak lupa ransel ku taruh di dekat Fuad dan Dona setelah mengambil dompet dan handphone. Posisi bangunan yang kami jadikan sebagai lapak tidur ini berada di tepi jalan, meski dari kemarin malam kami melihat motor masyarakat setempat hanya ditaruh di depan rumah saja, aku tatap berjaga-jaga, Bang Napi pernah mengingatkan “Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat, tapi karena ada kesempatan. Waspadalah! Waspadalah! Waspadalah!”
***
Pukul 07.00 WIB kami bertolak ke arah timur laut, mengarungi Jalan Malahayati, meninggalkan ‘penginapan bintang 1000’, ku sebut demikian karena tadi malam kami bisa melihat hamparan bintang dari penginapan yang dindingnya sejauh mata memandang. Tujuan awal kami sebenarnya hendak mencari sarapan agar kuat melalui hari ini, karena melihat mangsa yang begitu menggiurkan, akhirnya kami memilih untuk ngamen dulu.
Ada 3 warung makan yang sedang diramaikan pengunjung di sini, posisinya dekat dengan pelabuhan, namun bukan pelabuhan umum, dari sini tampak beberapa kapal besar yang tengah bersandar, kapal yang besar saja butuh sandaran, apalagi kita yang tampak kecil di alam semesta ini.
Syukuri apa yang ada
Hidup adalah anugerah
Tetap jalani hidup ini
Melakukan yang terbaik
Tuhan pasti kan menunjukkan
Kebesaran dan kuasanya
Bagi hambanya yang sabar
Dan tak kenal putus asa
Lagu D’Masiv di atas merupakan salah satu lagu yang kami suguhkan untuk para pengunjung rumah makan. Awalnya ingin menyanyikan lagu ‘Titip Rindu Buat Ayah’ miliknya Ebiet G. Ade, tapi ada sedikit rasa trauma, dua hari yang lalu ketika ngamen di Banda Aceh, ada pemuda yang menangis karena saat kami membawakan lagu tersebut ia teringat almarhum ayahnya yang direnggut dahsyatnya Tsunami 2004.
Alhamdulillah, rezeki yang kami dapat pagi ini lebih dari cukup untuk membeli sarapan, terlihat dari antusias para pengunjung saat menghadiahkan uang. Dona memberikan bong (wadah pengutip uang setelah ngamen) kepada ku, ku tumpahkan isinya ke dalam rasel sembari menjauh dari tempat makan tersebut. Sebenarnya bisa saja kami makan di sana, dalam kode etik pengamen rasanya kurang etis kalau kami makan di tempat yang baru saja kami ngameni, kecuali para pengujung yang melihat kami tadi sudah pada bubar.
“Makan apa kita man?” tanyaku ke Fuad dan Dona.
“Apa aja Za, asal bisa ditelan,” jawab Dona dengan nada bercanda.
“Hahaha...” kami tertawa.
“Jalan ke sana aja kita dulu,” ucap Fuad sambil menunjuk ke salah satu arah.
“Yok lah...” ucapku dan Dona.
Awalnya kami melihat warung yang pada steling kacanya tertulis lontong dan nasi gurih, tapi kami memilih untuk melangkah lebih jauh lagi, siapa tahu ada pilihan lain. Kami telusuri terus jalan yang berada di tepi pelabuhan ini, di sebelah kanan jalan ada tembok beton, semakin ke ujung ternyata tidak ada tanda-tanda yang menjual sarapan, lantas kami putar arah dan kembali ke warung makan sebelumnya.
“Buk... beli nasi gurihnya ya,” ucapku kepada penjual.
“Makan di sini atau bungkus nak?” ucap penjual sambil menyibak tirai pada steling.
“Bungkus buk.”
“Berapa bungkus nak?” ucapnya sambil menarik kertas pembungkus dari tumpukan yang tersusun rapi.
“2 bungkus buk,” jawabku.
Mendengar jawabanku, raut wajah beliau tampak keheranan, mungkin karena dia melihat 2 orang temanku yang sedang menepi di sudut warung, semoga saja beliau paham dengan melebihkan porsinya untuk 3 orang. Setelah melakukan pembayaran, kami mencari tempat untuk melahap menu sarapan pagi ini.
Tidak jauh dari tempat kami membeli nasi ada toko yang sepertinya sudah lama tutup, kami segera ke sana. 2 bungkus nasi gurih yang baru dibeli, kami satu padukan dengan menggelar bungkusnya di atas lantai yang sedikit berdebu, setelah Fuad memimpin doa kami segera melahap nasi yang menggoda semenjak dibuka hijabnya. Seandainya makan di warung mungkin kami tidak akan seromantis ini.
***
Hak lambung telah terpenuhi, kami berencana untuk mencari toko souvenir sebelum menyebrang ke Banda Aceh. Informasi dari beberapa penduduk yang kami tanyakan kalau tempat penjualan oleh-oleh berada di Jalan Perdagangan, kami segera melangkah ke sana. Saat memasuki jalan yang dimaksud, kami melihat banyak toko penjual oleh-oleh yang masih tutup, mungkin karena kami datang terlalu awal. Hingga akhirnya mata kami tertuju pada toko yang sudah buka, pada plangnya tertulis ‘Souvenir Outlet – INDATOE Design’. Kami mendekati toko yang dibagian depannya banyak bergantungan kaos bertuliskan ‘Sabang’ dan ‘Km 0 Indonesia’.
“Mari masuk dek... dipilih saja...” ucap bapak penjaga toko dengan ramah.
“Iya pak... terimkasih,” ucapku.
“Cari apa dek?” tanya penjaga yang sedang menuntaskan kegiatan menyapunya.
“Cari kaos khas Sabang pak,” jawab Dona.
“Itu lah yang bergantungan di depan contohnya, kalau yang di dalam itu stok dari berbagai ukuran,” ucap beliau sambil menunjuk arah yang dimaksud.
“Pilih saja dulu dek,” ucap beliau sebelum masuk ke bagian toko yang lebih dalam.
“Man... kita beli baju couple aja yuk,” ajakku ke Fuad dan Dona.
“Boleh...” jawab Fuad.
“Bebas... atur aja...” Dona menambahkan.
Kami mulai mengobservasi berbagai kaos yang bergantungan di hadapan kami, ada yang lengan panjang, namun didominasi oleh kaos berlengan pendek. Seperti toko penjual baju oleh-oleh pada umumnya, tersedia berbagai warna mulai dari hitam, putih, merah, kuning, hijau, hingga biru.
Setelah meraba kaos yang bergantungan dari ujung kanan hingga ujung kiri toko, mataku terpikat pada kaos hitam bergambarkan peta Pulau Wee di bagian depannya, kebetulan jurusan kuliahku identik dengan peta. Karena Fuad dan Dona belum mengusung pilihan mereka, ku usulkan pilihanku, mereka setuju.
“Ini berapa ya pak?” tanyaku sambil menunjuk kaos yang posisinya lebih tinggi dari kami.
“Kalau ngambil satu, 35.000. kalau ngambil tiga, 100.000.”
“Masih bisa kurangkan pak?” tawarku.
“Kalian mau ngambil berapa?”
“Tiga aja pak,” jawab Dona.
“Hehehe... memang segitu biasa harganya dek.”
“Satu, 25.000 ya pak, karena kami gambil tiga jadinya 75.000,” ucapku nekat dengan mental penawaran yang diwariskan omak.
“Kalau segitu belum bisa dek hehehe...”
“Ya udah deh pak, tiga baju 80.000 ya? Cocok?” tawarku.
“Ambil lah buat buka dasar, itu aja? Gantungan kunci dan gelangnya pilih lah...” ucap si bapak sambil mengarahkan ke steling.
“Berapaan hargaya pak?” tanyaku.
“Di situ sudah ada harganya kok, pilih saja, sebentar ya saya ambilkan plastik dulu...”
“Nggak usah pak, bajunya kami masukkan ke tas saja,” kataku.
Kami melirik beberapa souvenir kecil yang dipampang di dalam steling, aku meminta si bapak mengeluarkan beberapa yang memikat hatiku. Setelah memilah-milah akhirnya aku memilih beberapa stiker berbentuk Pulau Wee, gantungan kunci bertuliskan Sabang dan berbentuk Pinto Aceh untuk dibagikan ke orang terdekat di Medan. Sebenarnya ingin sekali ku beli gelang dan cincin dari cangkang penyu, ku urungkan niatku sebab harus berhemat. Uang pembelian kaos bersumber dari APBN, Anggaran Pendapatan Belanja Negara? Bukan! Kami bukanlah oknum yang tega membelanjakan uang negara untuk kepentingan pribadi, APBN yang kami maksud adalah Anggaran Pendapatan Berbasis Ngamen, sedangkan untuk souvenir kecil-kecilan bersumber dari kantong pribadi kami masing-masing.
Setelah menyelesaikan pembayaran, mataku tertuju ke dinding di depan-kanan toko, dindingnya ditempel wallpaper yang menampilkan foto-foto Sabang tempo doloe lengkap dengan penjelasannya, ku amati dan ku baca. Di atas steling aku melihat ada browsur yang dilipat rapi, dari judulnya dapat diketahui kalau itu merupakan info mengenai tempat-tempat wisata yang ada di Sabang.
“Boleh diambil ini pak?” tanyaku kepada beliau sambil menunjuk ke arah browsur.
“Oh silahkan dek... itu memang disediakan untuk wisatawan...”
Senangnya hatiku, karena kami masih dianggap sebagai wisatawan, bukan gembel berjalan.
“Dua ya pak...” pintaku lagi karena melihat jenis browsur yang berbeda.
“Boleh, boleh, ambil saja...”
Ku buka browsur pertama, tampilannya berupa peta Pulau Wee dengan infografis yang menampilkan berbagai foto wisata alam lengkap dengan penjelasannya yang singkat dan padat. Ku buka browsur yang satu lagi, isinya merupakan perpaduan foto-foto wisata alam, budaya, hingga sejarah, lengkap dengan penjelasannya. Mataku tertuju pada tulisan dan gambar Benteng Jepang Sabang Anoi Itam, setelah ku tanyakan ke beliau ternyata jaraknya sekitar 6 km dari sini. Karena ku katakan selama di sini kami belum ada mengunjungi tempat bersejarah, lalu beliau menyarankan kami untuk ke Bunker Jepang yang dipergunakan untuk menghadapi Perang Asia Pasifik, jaraknya 1 km dari sini, bila berjalan kaki hanya 15 menit, berbeda bila ke Benteng Jepang Sabang Anoi Itam yang membutuhkan waktu sekitar 1 jam 30 menit. Tidak jauh dari Bunker Jepang ada Tugu Sabang-Merauke, syukurnya gambar kedua tempat yang ditawarkan beliau terpampang di browsur. Lokasi yang akan kami tuju berada di seberang Kantor Walikota Sabang, sebenarnya kami sudah melewati kantor orang nomor satu di kota ini, namun kegelapan malam telah memudarkan pandangan kami akan kedua tempat tersebut.
Setelah menyelesaikan pembayaran, aku meminta tolong ke bapak penjual souvenir untuk memotret kami di depan tokonya. Kami berpose dengan memegang peta Pulau Wee yang ada pada browsur dan mengenakan kaos yang kami beli tanpa membuka kaos yang kami pakai sebelumnya. Kaos yang baru dibeli kami lepaskan lagi dari badan dan kami masukkan ke tas masing-masing, lalu kami berpamitan dengan bapak penjual souvenir.
***
Setelah melewati jalan yang menanjak, akhirnya kami tiba di situs yang menjadi bukti penjajahan Jepang di Indonesia. Posisi bangunan yang berada di bawah tanah, membuatnya sulit terlihat. Aku yakin, orang yang baru pertama kali melewati jalan ini tidak akan mengetahui keberadaan bunker di sini kalau bukan karena prasasti bertuliskan ‘THE 1942 JAPANESE BUNKER’ yang menempel pada beton persegi panjang dengan ornamen Torii (gapura jepang) pada bagian atasnya.
Kami baca keterangan singkat mengenai bunker Jepang dengan seksama, dijelaskan bahwa bunker ini dipersiapkan negara yang menjadi asal Nobita dan Maria Ozawa tersebut untuk menghadapi Perang Asia-Pasifik. Langkah beranjak ke balik prasasti, ternyata lubang untuk masuk ke bunker tidak berada tepat di belakangnya, melainkan sekitar 5 meter ke arah kanan.
Aku terkejut saat berdiri di atas pintu masuk bunker, lubang yang minimalis membuatnya hanya bisa dilalui satu orang dewasa di waktu bersamaan. Seketika ingatanku tertuju pada ucapan orang-orang terdahulu yang mengatakan kalau orang Jepang sangat ahli dalam membuat terowongan di bawah tanah untuk strategi perang, apa lagi didukung tubuh mereka yang rata-rata berukuran kecil kala itu. Dari lubang yang berbentuk persegi panjang ini terlihat jajaran anak tangga yang menuntun pandangan menuju ke gelapan, rasa penasaran yang menggebu membuat imajinasiku semakin liar akan apa yang ada di dalam sana, mungkinkah aku akan bertemu hantu Jepang berseragam militer kusam lengkap dengan senjatanya?
“Masuk kita bro?” tanyaku kepada Fuad dan Dona.
“Boleh,” jawab Fuad.
“Tapi kau duluan ya Za,” Dona menambahkan.
“Loh kok aku?” tanyaku.
“Kan kau yang pengen kali ke dalam Kim,” ucap Fuad.
“Loh kok gitu, memang kalian nggak pengen?” ucapku.
“Pengen Za, tapi kau kan punya handphone senter,” ucap Dona.
“Oke lah kalau begitu,” jawabku.
Ku raih handphone Nokia bersenter dari ransel dan ku nyalakan. Cahaya senter mulai ku arahkan ke bagian dalam bunker, jangkauan pandanganku lebih jauh dari sebelumnya, namun yang terlihat masih anak tangga yang berujung di kegelapan. Ku langkahkan kakiku dan mulai menuruni anak tangga secara perlahan, di belakangku Fuad dan Dona mengikuti.
Anak tangga terlampaui, kami tiba di lantai dasar yang merupakan ruang utama bunker, susasana di sini pengap, serasah dedaunan dan beberapa sampah sampah plastik menjadi penunggunya (menunggu untuk dibersihkan), aku ingin ber-positive thinking, sepertinya mereka sampai kemari karena terbawa angin. Mata kami menjelajahi seisi bunker, saat melihat ke atas ternyata ada pentilasi berbentuk persegi yang meloloskan cahaya ke mari, meski demikian belum mampu untuk melawan gelap di dalam bunker. Sebaiknya bunker ini di beri penerangan demi kenyamanan wisatawan yang berkunjung ke mari dan tidak disalah gunakan sebagai meeting point makhluk-makhluk bertubuh halus.
Kondisi bunker yang gelap dan tersembunyi berpotensi digunakan untuk hal yang tidak-tidak, aku melihat 2 orang sedang membuka baju di tengah kegelapan bunker, bukan hanya aku yang menyaksikan penampakan telanjang dada tersebut, ternyata Fuad dan Dona juga melihat 2 orang sedang membuka bajunya. Setelah melihat adegan buka-bukaan tersebut, kami segera bergegas keluar dari tempat ini, sadar kalau kami hanya tamu yang tak diundang di sini.
Kami menaiki anak tangga yang menuntun kami ke arah cahaya, tapi bukan anak tangga yang baru saja kami turuni, melainkan tangga yang berhadapan dengan tangga sebelumnya, aku memilihnya karena penasaran tangga tersebut berhujung kemana? Satu per satu kami muncul ke permukaan tanah lewat pintu yang sama sempitnya dengan pintu sebelumnya, ternyata ada 2 pintu yang menjadi akses masuk ke dalam bunker, kami kembali menghirup udara segar yang disuguhkan pepohonan sekitar.
Bunker ini telah mengubah penampilan kami, kalau sebelum masuk ke dalamnya kami mengenakan warna kaos yang berbeda-beda, sekarang kami sudah menggunakan kaos couple, berwarna hitam dengan gambar peta Pulau wee. Saat berada di dalam bunker kami sempatkan untuk mengganti pakaian, tidak masalah belum mandi yang penting pakai kaos baru.
Dari kiri ke kanan: aku, Dona,
dan Fuad difoto prmilik toko souvenir.
Komentar
Posting Komentar