Kisah Vespa Tua
Oleh :
Hakim Syah Reza Lubis
Sebelum komunitas vespa mejamur
seperti tampak dewasa ini, kehidupanku sudah dekat dan akrab dengan vespa. Bisa
dibilang kendaraan pertama yang aku kenal adalah vespa, sejak aku balita hingga
ayah meninggal di tahun 2008, kendaraan satu – satunya yang dimiliki ayah hanya
vespa, saat itu usiaku masih 17 tahun. Vespa yang dimiliki ayah bukan hanya
sekedar kendaraan, tapi sudah melekat pada diri ayah dan mewarna kehidupan
keluarga kami.
Dari jarak 1 km, sangat mudah
mengetahui kalau yang aku lihat dari kejauhan adalah ayah dan vespanya, selain warna
dan bentuknya yang unik diantara motor – motor bebek yang mainstream di jalan raya, gesture yang khas dari ayah saat
mengendaraianya juga menjadi penandanya. Tidak heran saat masih kanak – kanak,
bila aku bermain terlalu jauh dari rumah, aku akan bersembunyi bila melihat
ayah yang tengah lalu – lalang. Setelah dipastikan ayah tidak melihatku baru
aku keluar dari persembunyianku.
Selain dapat dikenali lewat indra
penglihatan, ayah dan vespanya juga dapat dikenali dengan indra pendengaran.
Vespa ayah mengeluarkan suara yang khas yang tidak bisa diungkapkan dengan kata
- kata, tapi aku yakin selain kami sekeluarga, orang – orang disekitar rumahku
dapat mengenali kalau yang masuk dari simpang gang itu adalah ayah. Ada cerita
berkesan yang berkaitan dengan suara vespa ayah. Waktu aku kelas 3 SMP, aku
punya tetangga baru yang sekaligus ngontrak rumah dengan kami, dari salahsatu
anggotanya ada seorang abang yang sering main gitar di depan rumah, dari situ
awal mula aku tertarik main gitar. Aku sering menyuruh adikku Mamad untuk
meminjam gitar abang tersebut saat ia pergi kerja, sebenarnya aku segan
meminjamnya, apalagi kalau beliau ada di rumah, makanya aku suruh adikku. Aku
memanfaatkan waktu untuk belajar gitar saat ayah pergi keluar rumah dengan
vespanya, aku tidak mau ayah tahu kalau aku sedang latihan gitar. Saat tengah
asyik mencoba beberapa chord dasar pada gitar, tiba – tiba terdengar suara
vespa ayah dari kejauhan, itu merupakan early
warning bagiku, saat itu juga aku suruh adikku mengembalikan gitar tersebut
ke tetangga sebelah.
Dulu aku tidak tahu menggolongkan
vespa ayah ke dalam jenis apa. memang selain ayah, ada juga orang di
lingkunganku yang menggunakan vespa, tapi aku merasa vespa yang ayah kenakan
berbeda dengan jenis yang aku lihat pada umumnya. Pembeda yang khas dari vespa
ayah menurutku ialah; lampu depannya berbentuk bulat, ukuran bodynya lebih lebar, bahan penyusun body yang tampak lebih keras, kalau ayah
bilang sih dari baja.
Sekarang aku baru tahu kalau jenis vespa yang ayah kenakan merupakan jenis
Congo, yaitu jenis vespa favorit yang kini menjadi incaran para pecinta motor
antik, terutama pecinta vespa. Aku penasaran kenapa dikatakan vespa Congo,
padahal tidak diproduksi di Congo. Ternyata vespa tersebut pertama kali beredar
di Indonesia sebagai hadiah dari pemeritah bagi Pasukan Garuda yang baru pulang
dari Congo dalam menyelesaikan misi perdamaian di Afrika pada tahun 1960-an.
Salah seorang pengamat budaya dari Universitas Padjadjaran mengatakan bahwa
vespa yang di produksi Piaggio tersebut mulai ramai di tanaha air sejak priode
1960 hingga 1970. Sangat berbeda dengan apa yang kita lihat sekarang, kalau
sekarang vespa identik dengan kesederhanaanya, justru masa itu vespa merupakan
simbol kejayaan yang hanya dimiliki oleh kalangan menengah ke atas. Kala itu
siapa yang memiliki vespa meruapakan orang yang lebih kaya dibandingkan dengan
orang yang memiliki motor buatan Jepang. Sejak dekade 1980 hingga 1990-an harga
vespa mulai menurun dikarenakan perawatannya yang cukup rumit. Sekitar tahun
2004 atau 2005 harga vespa mulai melonjak kembali karena pengaruh gaya hidup
vintage dimana sebagian kalangan mulai mengoleksi barang – barang antik.
Ayah memiliki vespa ketika vespa sudah tidak lagi menjadi simbol kejayaan
dan ketika vespa belum menjadi gaya hidup vintage, justru di saat peralihan
kedua masa tersebut, dimana harga vespa sudah menurun. Ayah membeli vespa
tersebut dari sudara yang semasa hidupnya kami panggil Nenek Nanggul ketika
awal pernikahan ayah dengan omak (ibu) di tahun 1990, tentunya dengan harga
yang miring dari biasanya. Saat itu Nenek Nanggul merupakan pensiunan dokter, pastilah
vespa ini ada di tangan beliau ketika masa kejayaannya. Aku merasa heran ketika
orang – orang mulai mengoleksi vespa kembali, padahal waktu SD aku sempat merasa
aneh ketika ayah mengantarku ke sekolah dengan vespa. Jelas aku merasa aneh,
karena kendaraan yang ayah kenakan berbeda sendiri dengan orang tua yang lain.
Sebelum ayah menikah, ayah sudah pernah mengenakan vespa yang dibelinya
dari Nenek Nanggul itu, meminjamnya untuk keperluan tertentu. Menurut cerita
yang aku dengar dari Bouk (adek ayah perempuan) Manna, ayah pernah dengan Udak
(adek ayah laki-laki) Imam hendak akan menonton pertandingan spektakuler klub
sepak bola kebanggaan orang Medan yaitu PSMS (Persatuan Sepakbola Medan
Sekitarnya) dengan klub dari luar Sumatera, tentunya mereka menggunakan vespa
yang dipinjam dari Nenek Nanggul. Saat itu ayah yang memegang kendali vespa,
sedang udak dalam boncengan. Saat itu ayah mengisi minyak ke POM bensin,
setelah itu sepanjang perjalanan ayah terus berbincang dengan udak. Tapi muncul
kejanggalan dan keheranan di benak ayah, karena selama dia berbicara tidak ada
respon dan tanggapan dari Udak. Akhirnya ayah menoleh ke belakang, bahwa
adiknya sudah tidak ada di boncengan, ternyata oh ternyata dari tadi ayah
merasa ngobrol sendirian. Akhirnya ayah kembali lagi ketempat terakhir ia
melihat adiknya, yaitu POM Bensin, dan akhirnya ayah bertemu kembali dengan
adiknya telah berpisah sejak sekian menit. Jadi jangan kira kisah seperti ini
hanya ada di layar kaca, justru ada di kenyataan, mungkin karena terburu – buru
dan tidak sabar menyaksikan pertandingan sepakbola hal seperti itu bisa
terjadi.
Bila membahas kendaraan bermotor tentunya tidak lengkap bila tidak membahas
kecelakaan lalu lintas. Meski tidak pernah menimbulkan luka, vespa ayah juga
pernah memiliki rekam jejak kecelakaan, aku mendengarnya dari Bou Manna. Waktu
masih balita ayah dan omak membawaku dengan mengendarai vespa, tiba – tiba ada
motor bebek yang menabrak kami dari belakang, hantaman suaranya terdengar oleh
para pengemudi kendaraan lain. Uniknya vespa ayah dan penumpangnya sehat
wal’afiat, tidak ada yang peok. Justru yang patah itu kendaraan yang menbarak
kami, jelas saja, vespa kami bodynya terbuat dari baja sedang ia dari plastik.
Ayah tidak pernah membawa vespanya terlalu jauh dari rumah, kecuali pada
saat Hari Raya Idul Fitri ketika hendak bersilatulrahmi ke rumah – rumah
saudara. Bila tidak dalam suasana lebaran, ayah membawa kami mengunjungi rumah
saudara dengan jasa angkot (angkutan kota). Kata ayah kalau saat lebaran polisi
tidak melakukan razia jadi bebas bila ingin pergi lebih jauh dari biasanya.
Pernah ayah, aku, dan adikku yang pertama hendak menghadiri arisan keluarga ke
rumah saudara yang jauh dari rumah, ayah memang membawa kami dengan vespa dari
rumah, tapi tidak pernah sampai ke tujuan dengan vespa, biasanya ayah
menitipkan kendaraannya ke tempat – tempat yang menyediakan parkir seperti
rumah sakit, kemudian kami naik angkot ke lokasi tujuan. alasannya masih sama
ayah seperti itu agar tidak kena razia. Pertanyaanku ketika masih kanak – kanak
“kenapa harus di razia?”, jawabannya karena vespa ayah tidak memiliki buku
hitam. Awalnya aku tidak tahu apa itu buku hitam, kenapa tidak buku merah? buku
kuning,? Atau buku biru? Seiring dengan pertambahan usia, akhirnya aku
mengetahui bahwa buku hitam adalah buku kecil tanda kepemilikan seseorang
terhadap kendaraan yang disahkan oleh pihak kepolisian dan warna covernya
memang hitam. Pertanyaan yang masih menjanggal “kemana buku hitam yang ayah
punya?”, pertanyaan ini baru terjawab ketika aku sudah kelas 3 SMA, dimana ayah
sudah meninggal, aku mendapatkan jawabannya dari bouk. Ternyata buku hitam ayah
sudah sobek menjadi fragmen – fragmen kertas, dan yang merobeknya adalah aku
sendiri, saat aku balita ketika bermain – main dengan buku berharga tersebut.
Jujur aku tidak ingat sama sekali dengan apa yang pernah ku lakukan terhadap
buku sakral tersebut. Akhirnya terjawab kenapa vespa ayah tidak bisa
berkeliaran jauh dari rumah. mungkin karena berbelit – belitnya pengurusan buku
hitam tersebut, ayah tidak membuat yang baru, dan menurutku itu sudah rahasia
umum.
Kendaraan bermesin yang pertama yang aku pelajari adalah vespa, saat itu
aku masih SMA kelas 1 di tahun 2007. Di antara teman – teman seumuranku saat
itu, aku termasuk telat belajar sepeda motor, karena saat aku kelas 3 SMP teman
– temanku sudah bisa menggunakan sepeda motor. Orang tua mereka menggunakan
motor bebek jadi mereka memiliki kesempatan untuk mempelajarinya, sementara
ayah yang saat itu punya vespa membuatku merasa aneh untuk mempelajarinya. Aku
mempelajarinya karena bujuk rayu ayah yang berulang – ulang. “kau belajar vespa
bukan tidak ada gunanya, nanti kalau ada sesuatu yang perlu dimana ayah tidak
bisa melakukannya, kau bisa menggantikannya” ucap ayah kepadaku yang memberikan
alasan logis untuk aku resapi. Dan ternyata itu memang terbukti, pernah ada
sesuatu hal darurat, saat itu Ayah dan Omak sedang berada di Gang Subur,
sekitar 1 km dari rumahku. Melalui handphone bouk ayah menyuruhku untuk menjemput
mereka. Mau tidak mau, saat itu aku beranikan dan percayakan diri untuk
mengendarai vespa tersebut, aku melesat keluar dari Gang Bersama dan Gang Suka
Damai, hingga melalui Jalan Karya yang merupakan jalan protokol di
lingkunganku. Itu merupakan pertama kalinya aku mengendarai vespa sendirian di
jalan raya, biasanya ayah turut mendampingi di belakangku.
Berkat rayuan omak terhadap ayah, vespa ayah yang berwarna hijau muda
keluntur – lunturan karena sudah pudar dilunturkan zaman, akhirnya menjelma
menjadi hijau tua. Bodinya yang sebelumnya memiliki retakan dan lubang – lubang
kini sudah raib dari pandangan mata, menjelma menjadi bodi yang mulus. Proses modifikasi
vespa tersebut dikerjakan di rumah temanku Pian, Gang Laguboti, Jalan Karya
Dame. Ayahnya memang memiliki usaha bengkel pengecatan mobil yang berada tepat
di samping rumahnya. Pian merupakan temanku saat masih di Sekolah Dasar,
alhamdulillah sampai sekarang kami masih berkomunikasi. Ayahku dan ayahnya
tidak saling kenal, tapi Omakku dan Omaknya saling kenal. Saat itu omak sering
berkunjung ke rumah pian, sepertinya dari situ dimulai inisiasi dan negosiasi
penyulapan paras vespa ayah.
Januari 2008 ayah pergi meninggalkan kami yang masih menunggu giliran untuk
meninggalkan bumi, beberapa bulan setelah kejadian itu vespa tersebut dijual
dengan harga yang sangat memperihatinkan, yaitu sekitar Rp. 500.000, yang aku
tahu itu setara dengan biaya pengecatan yang balum lagi genap setahun. Vespa tersebut
dijual omak ke seorang bapak yang berdomisili di Gang Ayam. Omak tidak pernah
meminta persetujuan kami dalam menjualnya, tiba - tiba sudah ada seorang pria
yang menjemput vespa ayah ke rumah, proses transaksi pun di lakukan di rumah
tanpa ada upacara pelepasan benda yang selama ini menjadi saksi ikatan cinta
omak dan ayah. awalnya aku mengira itu dijual dengan sangat murah, namun yang
menjadi penghalang adalah tidak adanya buku hitam vespa tersebut, motor manapun
kalau buku hitamnya tidak lengkap akan diperlakukan seperti itu. mungkin omak
menjualnya karena kami tidak ada yang mengenakannya, atau mungkin juga omak
butuh biaya untuk menghidupi ke 7 anaknya, kalau ini sepertinya lebih realitis.
Kalau saja kabar komunitas vespa lebih cepat tiba ke telingaku, mungkin
kisahnya akan berbeda, tapi sepengetahuanku komunitas vespa baru booming sekitar tahun 2009. Aku yang
saat itu baru naik ke kelas 2 SMA dan masih dalam tanggungan omak, menerima
saja apa yang menurut omak terbaik. Aku tidak berdaya ketika melihat vespa ayah
meninggalkan rumah kami untuk selamanya, semenjak vespa itu di jual aku tidak
pernah melihatnya lagi berkeliaran di seantero Jalan Karya, apa mungkin pembeli
vespa ayah tersebut sudah menjual ke seseorang yang ada di luar kota? Pernah ada
penyesalan karena tidak bisa memperjuangkan vespa yang punya sejarah panjang
tersebut, genap 17 tahun vespa itu menemani kehidupanku sejak aku terjun ke
bumi. Apalagi setiap melihat komunitas vespa atau anak muda yang tengah menaiki
vespa yang sudah dihias sedemikian rupa, pikiranku pun tertuju ke ayah dan
selalu ada pertanyaan yang melintas di benakku “kenapa vespa ayah kemarin di
jual ya?”. Untuk menebus penyesalan itu sempat terpikir oleh ku untuk melacak
sudah dimana vespa itu berada sekarang dan aku berniat untuk membelinya
kembali, aku yakin itu pasti sudah tidak semurah saat kami menjualnya dulu. Apakah
kau masih sehijau saat terakhir kali aku melihatnya?
Komentar
Posting Komentar