Kisah Vespa Tua


Foto: 2019

Oleh : Hakim Syah Reza Lubis
            Sebelum komunitas vespa mejamur seperti tampak dewasa ini, kehidupanku sudah dekat dan akrab dengan vespa. Bisa dibilang kendaraan pertama yang aku kenal adalah vespa, sejak aku balita hingga ayah meninggal di tahun 2008, kendaraan satu – satunya yang dimiliki ayah hanya vespa, saat itu usiaku masih 17 tahun. Vespa yang dimiliki ayah bukan hanya sekedar kendaraan, tapi sudah melekat pada diri ayah dan mewarna kehidupan keluarga kami.
            Dari jarak 1 km, sangat mudah mengetahui kalau yang aku lihat dari kejauhan adalah ayah dan vespanya, selain warna dan bentuknya yang unik diantara motor – motor bebek yang mainstream di jalan raya, gesture yang khas dari ayah saat mengendaraianya juga menjadi penandanya. Tidak heran saat masih kanak – kanak, bila aku bermain terlalu jauh dari rumah, aku akan bersembunyi bila melihat ayah yang tengah lalu – lalang. Setelah dipastikan ayah tidak melihatku baru aku keluar dari persembunyianku.
            Selain dapat dikenali lewat indra penglihatan, ayah dan vespanya juga dapat dikenali dengan indra pendengaran. Vespa ayah mengeluarkan suara yang khas yang tidak bisa diungkapkan dengan kata - kata, tapi aku yakin selain kami sekeluarga, orang – orang disekitar rumahku dapat mengenali kalau yang masuk dari simpang gang itu adalah ayah. Ada cerita berkesan yang berkaitan dengan suara vespa ayah. Waktu aku kelas 3 SMP, aku punya tetangga baru yang sekaligus ngontrak rumah dengan kami, dari salahsatu anggotanya ada seorang abang yang sering main gitar di depan rumah, dari situ awal mula aku tertarik main gitar. Aku sering menyuruh adikku Mamad untuk meminjam gitar abang tersebut saat ia pergi kerja, sebenarnya aku segan meminjamnya, apalagi kalau beliau ada di rumah, makanya aku suruh adikku. Aku memanfaatkan waktu untuk belajar gitar saat ayah pergi keluar rumah dengan vespanya, aku tidak mau ayah tahu kalau aku sedang latihan gitar. Saat tengah asyik mencoba beberapa chord dasar pada gitar, tiba – tiba terdengar suara vespa ayah dari kejauhan, itu merupakan early warning bagiku, saat itu juga aku suruh adikku mengembalikan gitar tersebut ke tetangga sebelah.
            Dulu aku tidak tahu menggolongkan vespa ayah ke dalam jenis apa. memang selain ayah, ada juga orang di lingkunganku yang menggunakan vespa, tapi aku merasa vespa yang ayah kenakan berbeda dengan jenis yang aku lihat pada umumnya. Pembeda yang khas dari vespa ayah menurutku ialah; lampu depannya berbentuk bulat, ukuran bodynya lebih lebar, bahan penyusun body yang tampak lebih keras, kalau ayah bilang sih dari baja.
Sekarang aku baru tahu kalau jenis vespa yang ayah kenakan merupakan jenis Congo, yaitu jenis vespa favorit yang kini menjadi incaran para pecinta motor antik, terutama pecinta vespa. Aku penasaran kenapa dikatakan vespa Congo, padahal tidak diproduksi di Congo. Ternyata vespa tersebut pertama kali beredar di Indonesia sebagai hadiah dari pemeritah bagi Pasukan Garuda yang baru pulang dari Congo dalam menyelesaikan misi perdamaian di Afrika pada tahun 1960-an.
Salah seorang pengamat budaya dari Universitas Padjadjaran mengatakan bahwa vespa yang di produksi Piaggio tersebut mulai ramai di tanaha air sejak priode 1960 hingga 1970. Sangat berbeda dengan apa yang kita lihat sekarang, kalau sekarang vespa identik dengan kesederhanaanya, justru masa itu vespa merupakan simbol kejayaan yang hanya dimiliki oleh kalangan menengah ke atas. Kala itu siapa yang memiliki vespa meruapakan orang yang lebih kaya dibandingkan dengan orang yang memiliki motor buatan Jepang. Sejak dekade 1980 hingga 1990-an harga vespa mulai menurun dikarenakan perawatannya yang cukup rumit. Sekitar tahun 2004 atau 2005 harga vespa mulai melonjak kembali karena pengaruh gaya hidup vintage dimana sebagian kalangan mulai mengoleksi barang – barang antik.
Ayah memiliki vespa ketika vespa sudah tidak lagi menjadi simbol kejayaan dan ketika vespa belum menjadi gaya hidup vintage, justru di saat peralihan kedua masa tersebut, dimana harga vespa sudah menurun. Ayah membeli vespa tersebut dari sudara yang semasa hidupnya kami panggil Nenek Nanggul ketika awal pernikahan ayah dengan omak (ibu) di tahun 1990, tentunya dengan harga yang miring dari biasanya. Saat itu Nenek Nanggul merupakan pensiunan dokter, pastilah vespa ini ada di tangan beliau ketika masa kejayaannya. Aku merasa heran ketika orang – orang mulai mengoleksi vespa kembali, padahal waktu SD aku sempat merasa aneh ketika ayah mengantarku ke sekolah dengan vespa. Jelas aku merasa aneh, karena kendaraan yang ayah kenakan berbeda sendiri dengan orang tua yang lain.
Sebelum ayah menikah, ayah sudah pernah mengenakan vespa yang dibelinya dari Nenek Nanggul itu, meminjamnya untuk keperluan tertentu. Menurut cerita yang aku dengar dari Bouk (adek ayah perempuan) Manna, ayah pernah dengan Udak (adek ayah laki-laki) Imam hendak akan menonton pertandingan spektakuler klub sepak bola kebanggaan orang Medan yaitu PSMS (Persatuan Sepakbola Medan Sekitarnya) dengan klub dari luar Sumatera, tentunya mereka menggunakan vespa yang dipinjam dari Nenek Nanggul. Saat itu ayah yang memegang kendali vespa, sedang udak dalam boncengan. Saat itu ayah mengisi minyak ke POM bensin, setelah itu sepanjang perjalanan ayah terus berbincang dengan udak. Tapi muncul kejanggalan dan keheranan di benak ayah, karena selama dia berbicara tidak ada respon dan tanggapan dari Udak. Akhirnya ayah menoleh ke belakang, bahwa adiknya sudah tidak ada di boncengan, ternyata oh ternyata dari tadi ayah merasa ngobrol sendirian. Akhirnya ayah kembali lagi ketempat terakhir ia melihat adiknya, yaitu POM Bensin, dan akhirnya ayah bertemu kembali dengan adiknya telah berpisah sejak sekian menit. Jadi jangan kira kisah seperti ini hanya ada di layar kaca, justru ada di kenyataan, mungkin karena terburu – buru dan tidak sabar menyaksikan pertandingan sepakbola hal seperti itu bisa terjadi.
Bila membahas kendaraan bermotor tentunya tidak lengkap bila tidak membahas kecelakaan lalu lintas. Meski tidak pernah menimbulkan luka, vespa ayah juga pernah memiliki rekam jejak kecelakaan, aku mendengarnya dari Bou Manna. Waktu masih balita ayah dan omak membawaku dengan mengendarai vespa, tiba – tiba ada motor bebek yang menabrak kami dari belakang, hantaman suaranya terdengar oleh para pengemudi kendaraan lain. Uniknya vespa ayah dan penumpangnya sehat wal’afiat, tidak ada yang peok. Justru yang patah itu kendaraan yang menbarak kami, jelas saja, vespa kami bodynya terbuat dari baja sedang ia dari plastik.
Ayah tidak pernah membawa vespanya terlalu jauh dari rumah, kecuali pada saat Hari Raya Idul Fitri ketika hendak bersilatulrahmi ke rumah – rumah saudara. Bila tidak dalam suasana lebaran, ayah membawa kami mengunjungi rumah saudara dengan jasa angkot (angkutan kota). Kata ayah kalau saat lebaran polisi tidak melakukan razia jadi bebas bila ingin pergi lebih jauh dari biasanya. Pernah ayah, aku, dan adikku yang pertama hendak menghadiri arisan keluarga ke rumah saudara yang jauh dari rumah, ayah memang membawa kami dengan vespa dari rumah, tapi tidak pernah sampai ke tujuan dengan vespa, biasanya ayah menitipkan kendaraannya ke tempat – tempat yang menyediakan parkir seperti rumah sakit, kemudian kami naik angkot ke lokasi tujuan. alasannya masih sama ayah seperti itu agar tidak kena razia. Pertanyaanku ketika masih kanak – kanak “kenapa harus di razia?”, jawabannya karena vespa ayah tidak memiliki buku hitam. Awalnya aku tidak tahu apa itu buku hitam, kenapa tidak buku merah? buku kuning,? Atau buku biru? Seiring dengan pertambahan usia, akhirnya aku mengetahui bahwa buku hitam adalah buku kecil tanda kepemilikan seseorang terhadap kendaraan yang disahkan oleh pihak kepolisian dan warna covernya memang hitam. Pertanyaan yang masih menjanggal “kemana buku hitam yang ayah punya?”, pertanyaan ini baru terjawab ketika aku sudah kelas 3 SMA, dimana ayah sudah meninggal, aku mendapatkan jawabannya dari bouk. Ternyata buku hitam ayah sudah sobek menjadi fragmen – fragmen kertas, dan yang merobeknya adalah aku sendiri, saat aku balita ketika bermain – main dengan buku berharga tersebut. Jujur aku tidak ingat sama sekali dengan apa yang pernah ku lakukan terhadap buku sakral tersebut. Akhirnya terjawab kenapa vespa ayah tidak bisa berkeliaran jauh dari rumah. mungkin karena berbelit – belitnya pengurusan buku hitam tersebut, ayah tidak membuat yang baru, dan menurutku itu sudah rahasia umum.
Kendaraan bermesin yang pertama yang aku pelajari adalah vespa, saat itu aku masih SMA kelas 1 di tahun 2007. Di antara teman – teman seumuranku saat itu, aku termasuk telat belajar sepeda motor, karena saat aku kelas 3 SMP teman – temanku sudah bisa menggunakan sepeda motor. Orang tua mereka menggunakan motor bebek jadi mereka memiliki kesempatan untuk mempelajarinya, sementara ayah yang saat itu punya vespa membuatku merasa aneh untuk mempelajarinya. Aku mempelajarinya karena bujuk rayu ayah yang berulang – ulang. “kau belajar vespa bukan tidak ada gunanya, nanti kalau ada sesuatu yang perlu dimana ayah tidak bisa melakukannya, kau bisa menggantikannya” ucap ayah kepadaku yang memberikan alasan logis untuk aku resapi. Dan ternyata itu memang terbukti, pernah ada sesuatu hal darurat, saat itu Ayah dan Omak sedang berada di Gang Subur, sekitar 1 km dari rumahku. Melalui handphone bouk ayah menyuruhku untuk menjemput mereka. Mau tidak mau, saat itu aku beranikan dan percayakan diri untuk mengendarai vespa tersebut, aku melesat keluar dari Gang Bersama dan Gang Suka Damai, hingga melalui Jalan Karya yang merupakan jalan protokol di lingkunganku. Itu merupakan pertama kalinya aku mengendarai vespa sendirian di jalan raya, biasanya ayah turut mendampingi di belakangku.
Berkat rayuan omak terhadap ayah, vespa ayah yang berwarna hijau muda keluntur – lunturan karena sudah pudar dilunturkan zaman, akhirnya menjelma menjadi hijau tua. Bodinya yang sebelumnya memiliki retakan dan lubang – lubang kini sudah raib dari pandangan mata, menjelma menjadi bodi yang mulus. Proses modifikasi vespa tersebut dikerjakan di rumah temanku Pian, Gang Laguboti, Jalan Karya Dame. Ayahnya memang memiliki usaha bengkel pengecatan mobil yang berada tepat di samping rumahnya. Pian merupakan temanku saat masih di Sekolah Dasar, alhamdulillah sampai sekarang kami masih berkomunikasi. Ayahku dan ayahnya tidak saling kenal, tapi Omakku dan Omaknya saling kenal. Saat itu omak sering berkunjung ke rumah pian, sepertinya dari situ dimulai inisiasi dan negosiasi penyulapan paras vespa ayah.
Januari 2008 ayah pergi meninggalkan kami yang masih menunggu giliran untuk meninggalkan bumi, beberapa bulan setelah kejadian itu vespa tersebut dijual dengan harga yang sangat memperihatinkan, yaitu sekitar Rp. 500.000, yang aku tahu itu setara dengan biaya pengecatan yang balum lagi genap setahun. Vespa tersebut dijual omak ke seorang bapak yang berdomisili di Gang Ayam. Omak tidak pernah meminta persetujuan kami dalam menjualnya, tiba - tiba sudah ada seorang pria yang menjemput vespa ayah ke rumah, proses transaksi pun di lakukan di rumah tanpa ada upacara pelepasan benda yang selama ini menjadi saksi ikatan cinta omak dan ayah. awalnya aku mengira itu dijual dengan sangat murah, namun yang menjadi penghalang adalah tidak adanya buku hitam vespa tersebut, motor manapun kalau buku hitamnya tidak lengkap akan diperlakukan seperti itu. mungkin omak menjualnya karena kami tidak ada yang mengenakannya, atau mungkin juga omak butuh biaya untuk menghidupi ke 7 anaknya, kalau ini sepertinya lebih realitis. Kalau saja kabar komunitas vespa lebih cepat tiba ke telingaku, mungkin kisahnya akan berbeda, tapi sepengetahuanku komunitas vespa baru booming sekitar tahun 2009. Aku yang saat itu baru naik ke kelas 2 SMA dan masih dalam tanggungan omak, menerima saja apa yang menurut omak terbaik. Aku tidak berdaya ketika melihat vespa ayah meninggalkan rumah kami untuk selamanya, semenjak vespa itu di jual aku tidak pernah melihatnya lagi berkeliaran di seantero Jalan Karya, apa mungkin pembeli vespa ayah tersebut sudah menjual ke seseorang yang ada di luar kota? Pernah ada penyesalan karena tidak bisa memperjuangkan vespa yang punya sejarah panjang tersebut, genap 17 tahun vespa itu menemani kehidupanku sejak aku terjun ke bumi. Apalagi setiap melihat komunitas vespa atau anak muda yang tengah menaiki vespa yang sudah dihias sedemikian rupa, pikiranku pun tertuju ke ayah dan selalu ada pertanyaan yang melintas di benakku “kenapa vespa ayah kemarin di jual ya?”. Untuk menebus penyesalan itu sempat terpikir oleh ku untuk melacak sudah dimana vespa itu berada sekarang dan aku berniat untuk membelinya kembali, aku yakin itu pasti sudah tidak semurah saat kami menjualnya dulu. Apakah kau masih sehijau saat terakhir kali aku melihatnya?



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendakian Gunung Pusuk Buhit

PMR Madya dan Wira Sekolah Kallista Mengikuti Pelantikan PMR Se-Kota Batam Tahun 2017

Penyampai Pesan Kematian