FROM ZERO TO ZERO - Di Kota Rambutan


Oleh : Hakim Syah Reza Lubis
numpang pickup dari simpang sei sikambing ke simpang kampung lalang, 16 Desember 2013.
Kami melewati gerbang Kota Binjai yang di kanan dan kirinya terdapat replika buah rambutan yang cukup besar, kira-kira satu buah rambutannya seukuran dengan kepala manusia dewasa, hal tersebut mempertegas selogan Binjai Kota Rambutan, sejak SD aku sudah mendengar istilah tersebut, dijuluki kota rambutan sebab di Binjai masih banyak pohon rambutan, yang bila sudah musimnya kita akan melihat pedagang rambutan menghiasi jalan-jalan di Kota Binjai, selain itu rambutan dari Binjai juga di ekspor ke Kota Medan.
Suasana malam hari di jalan Medan-Binjai tidak sepadat di pagi hari ataupun sore hari, hal tersebut membuat kami tiba di Kota Binjai setelah 30 menit melakukan perjalanan. Kami turun di depan di depan Ramayana. Kalau sebelumnya kami membayar angkot dengan uang pribadi, namun setelah mendapatkan uang hasil ngamen, kami memperdayakan uang tersebut sebagai alat tukar atas pembayaran jasa pak supir angkot kepada kami.
Misi selanjutnya adalah mencari kafe-kafe yang menjadi tempat makan warga binjai. Karena kami belum tahu dimana tempat yang kami tuju, kami hanya melangkahkan kaki menuruti kata hati, namun kami tetap mengikuti jalan utama yang banyak dihiasi ruko-ruko. Kami menyapa anak-anak komintas BMX yang telah berlatih di pinggir jalan, kemudian kami melalui jembatan yang dibawahnya mengalir sungai yang melalui kota ini.
Setelah berjalan kurang-lebih sejauh 500 m, akhirnya kami melihat hilal yang menjadi pertanda kalau tempat ini memang layak untuk ngameni. Dari sini kami melihat sebuah jalan yang disepanjangya berdiri kafe-kafe dengan tenda yang bisa dibongkar-pasang, kefe tersebut beroperasi di depan ruko-ruko yang tengah tutup. Masyarakat Binjainya menyebutnya pasar kaget, dikarenakan keberadaan nya membuat orang terkaget-kaget, bila kita melewati jalan ini di pagi ataupun siang hari kita tidak akan menemukan kafe-kafe tersebut, meski kalian membuka mata batin kalian ke dukun atau ke orang kalian pintar, kalian tetap tidak bisa melihatnya, karena kafe-kafe tersebut baru bermunculan menjelang malam hingga di penghujung malam. Ada lagi alasan lain yang masuk akal yang kudapat dari teman kuliah yang tinggal di kota ini, Beri namanya, dia mengatakan kalau harga makanan disini membuat orang terkaget-kaget sehingga dikatakan Pasar Kaget.
Kami merapatkan badan ke tepi dinding ruko yang berbatasan dengan tepi jalan raya untuk menyetem gitar kembali, kami melihat ada petugas parkir yang tengah berdiri di dekat kami.
“boleh ngamen disini bang?” tanyaku pada petugas parkir.
“boleh... gas aja bang” jawab petugas parkir.
Setelah selesai menyetem gitar kami mantapkan langkah kami menuju hamparan kafe yang terbentang di depan mata kami.
“mau gantian bro? Kau yang main gitar...” ucapku kepada Fuad.
“hahaha... kau aja dulu bro” jawab Fuad.
“ayolah bro...”
“udah... ntar aja bro”
Sekitar satu jam kami habiskan untuk menyusuri kafe-kafe yang ada disepanjang pasar kaget, kami terus berjalan hingga akhirnya kami tiba disebuah jalan besar yang merupakan jalan utama kota binjai, siang hari tempat ini merupakan pusat perbelanjaan yang didominasi oleh penjual pakaian.
Langkah kami terhenti di tepi trotoar yang di atasnya berjajar lampu-lampu hias seperti lampion, lampion biasanya berwarna merah dan berbentuk bola, sedang ini warnanya sangat bervariasi, selain itu bentuk juga macam-macam, mulai dari bentuk hati, kepala boneka, hingga bentuk-bentuk unik lainnya. Lampu hias tersebut terdiri dari bola lampu, kabel dan colokan listrik, kemudain bentuk-bentuk yang menghiasinya terbuat dari kayu dan kain. Lampu hias tersebut dipajang bertingkat-tingkat diatas papan bukan karena ada perayaan ataupun ritual tertentu, melainkan untuk dijual, beberapa tahun yang lalu di Medan juga pernah musim seperti ini, namun sekarang sudah tidak lagi. Melihat lampu hias yang ada sekarang, aku teringat kalau aku pernah memberikan mantan pacarku lampu hias yang berbentuk hati berwarna pink. Sudah-sudah... kenapa bahas mantan, let’s move on!
Kami melanjutkan berjalan kaki ke arah lapangan merdeka Kota Binjai, karena tidak ada tanda-tanda kafe yang layak untuk dingameni, kami balik arah menuju tempat pertama kali kami tiba di kota ini. kami menyusuri trotoar jalan dan melewati sekolah taman siswa. Seketika angkot menghampiri dari belakang kami, warnanya kuning.
“ikut?” tanya supir angkot ke kami.
“gimana bro? Naik kita” tanyaku meminta pendapat Fuad.
“bolehlah bro” jawab Fuad.
Kami naik angkot hingga Ramayana Kota Binjai yang tidak jauh dari tugu perjuangan kota tersebut. Kami berjalan ke arah simpang tiga yang menjadi pertemuan jalan yang tengah kami lalui dengan jalan lintas Medan menuju Aceh, setelah tiba di persimpangan kami membelok langkah ke kiri.
“bro... habis ini tujuan kita ke Langsa ya...” ucapku kepada Fuad.
“dimana itu bro?” tanya Fuad kepadaku.
“lewat perbatasan Provinsi Sumatera Utara dengan Aceh”
“ada kenalanmu disana bro?”
“ada bro, saudara gitu lah, lebaran kemarin kami baru dari sana”
“berapa lama dari sini ke sana?”
“sekitar empat jam lah bro”
Kami meihat loket kecil untuk pemesanan tiket bus tujuan Aceh. Loketnya bukan berupa toko, melainkan seperti warung kecil, yang berdiri di atas aliran parit.
“bro... coba kita tanya dulu brapa ongkos ke Langsa” ajak ku kepada Fuad.
“ayuk bro” jawab fuad.
Kami menghampiri loket pemesanan tiket yang tidak ramai, meskipun dua minggu lagi pergantian tahun, mungkin karena sudah malam, tidak tahu juga kalau pagi.
“permisi bang...” ucapku kepada penjaga loket.
“ya dek.. mau kemana?” jawab abang penjaga loket dengan logat Aceh.
“mau nanya... ongkos ke Langsa berapa ya bang?”
“untuk berapa orang?”
“dua orang bang...”
“empat puluh ribu per orang”
Aku melangsung menatap wajah Fuad, seakan aku memberi isyarat kepadanya untuk di pertimbangkan lagi.
“kami nanya dulu ya bang...”
“berapa mau tanya abang tersebut?”
“enggak bang... makasih”
Kami pun berlalu meninggalkan tempat tersebut, melanjutkan langkah ke arah perbatasan Kota Binjai. Sambil berjalan kaki aku berbincang-bincang dengan Fuad.
“kenapa gak jadi tadi bro?” tanya Fuad.
“kemahalan itu menurutku bro... ntar kita nyetopnya waktu busnya udah jauh dari loket bro, biasanya lebih murah kalau gitu”
Aku ingat akan pengetahuan yang aku terima dari Udak Imam dan keluargaku terkait penyetopan bus tujuan luar kota, menyetop bus diluar loket atau stasiun bisa lebih murah 30% ,bahkan bisa mencapai 50% bila kita siap meluangkan waktu untuk tawar-menawar dengan kernet (asisten supir) dan mampu menampilkan wajah butuh belas kasihan atau pura-pura kehabisan uang, silahkan! Terserah mau gunakan trik yang mana. Dengan demikian bisa lebih murah sebab ongkos penumpang yang naik diluar loket tidak disetor ke perusahan, justru akan menjadi bonus yang seutuhnya mendarat ke kantong pak supir dan anggotanya.
Namun semua itu ada resikonya, sebab nama kita tidak terdata di catatan perjalanan bus, seandainya terjadi kecelakaan kita tidak terhitung dalam jasaraharja, yah itu resiko! Siapa suruh mau jadi penumpang gelap bin ilegal. Kalau lagi musim lebaran dan hari besar lainnya, jangan harap dapat ongkos murah meskipun menyetop bus di tepi jalan, ini adalah saatnya pak supir dan krunya untuk jual mahal.
Kami melewati jalan raya yang dilalui jalur kereta api, 50 m setelah melewati jalur kereta api, di seberang jalan kami melihat kafe yang layak untuk dingameni, dari kejauhan kafe tersebut tampak menjual ayam penyet, kemudian kami menyebrangi jalan agar mengetahui seluk beluk kafe tersebut. Kafe tersebut bernuanas etnik dengan bangunan berbahan kayu, kemudian di luar ruangan utama terdapat jajaran pondok-pondok lesehan yang biasanya untuk rombongan keluarga hingga rombongan teman-teman dekat.
“coba lihat bro... rame gak?” ucapku kepadaku Fuad setelah tiba di depan kafe.
“sepi sepertnya bro” jawab fuad.
“yaudah kita ngameni yang aja lah bro”
“yuk lah bro...”
Kami tidak sadar kalau jam tanganku sudah menunjukkan pukul sembilan malam, jelas saja kafe ini terasa sepi, pengunjung yang tersisa hanya sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, seorang anak laki-laki, dan seorang anak perempuan, benar-benar keluarga bahagia versi BKKBN, dua anak cukup! Mereka tengah makan di pondok lesehan yang posisinya lebih dekat dari arah jalan masuk menuju kafe.
            “...menarilah dan terus tertawa...walau dunia tak seindah surga...bersyukurlah pada yang kuasa...cinta kita di dunia...selamanya...” kami membawakan lagu milik band nidji yang menjadi original soundtrack film laskar pelangi, alahmdulillah keluarga tersebut sangat menikmati dan terhibur dengan lagu yang tengah kami bawakan, terlihat dari cara mereka yang sangat antusias saat mendengarkan lagu yang kami bawakan, bagi kami kepuasan pelanggan adalah yang utama!
            Setelah meghibur keluarga bahagia tersebut, kami melaksanakan shalat isya disini, kami meminta izin kepada petugas kafe untuk memakai musholla. Alhamdulillah... shalat isya sudah terlaksana, kami bergegas meninggalkan kafe, kami kembali menyebrangi jalan. Kami melangkah menyusuri pinggiran jalan, masih terdegar oleh kami deru kendaraan yang tengah lalu lalang dengan kecepatan yang cukup tinggi, sebab ini merupakan jalan lintas provinsi sumatera utara dengan aceh.
            Semakin jauh kami melangkah, kami tidak menemukan tanda-tanda kafe yang masih buka, selain sudah semakin malam, semakin kemari nuansa kekotaan sudah berkurang, sebab kami tengah berada di pinggiran kota Binjai. Ditengah perjalanan kami menemukan rumah makan padang yang masih buka, namun dari tanda-tandanya sudah mau tutup, terlihat dari menu makanan yang hampir habis dan sudah sepi pengunjung.
            “bro... itu ada rumah makan yang masih buka, kita beli makan di situ aja yah?” ucapku kepada Fuad.
            “boleh lah bro... udah jam berapa juga ini kan...” jawab Fuad.
            “yuk lah bro...”
            Memang benar, rumah makan ini tengah berkemas-kemas untuk tutup, menu yang tersinya hanya hanya telur dadar sambal, kami tidak bisa memilih menu yang lain, seandainya ada pilihan lain tentunya kami tetap tertuju pada telur dadar, sebab itu yang paling murah. Kami hanya pesan satu bungkus untuk berdua, sepertinya ini bakal menjadi moment paling romantis antara aku dan Fuad, selain itu ini juga first dinner kami, hanya saja kami tidak ala candle light dinner, kami sudah tidak terpikir untuk membeli lilin.
Kami melihat ada ruko yang tengah tutup di seberang jalan, kami memutuskan untuk makan disana. Kami melangkah menuju ruko, sepertinya ruko ini baru diselesai dibangun, jadi tidak ada lampu depan yang menerangi. Stelah menyandarkan gitar, kami putuskan untuk makan dengan nuansa lesehan, meski demikian kami tetap semangat dan lahap menikmati makanan dengan suasana remang-remang yang terkadang dibantu lampu kendaraan yang tengah lalu-lalang dan cahaya lampu jalan yang masih enggan menghampiri kami.
            Alhamdulillah makan malam telah usai, aku tidak tahu Fuad kenyang atau tidak, sebab kami kami makan sebungkus berdua, aku harap dia kenyang. Aku belum menemukan alasan ilmiah yang membuktikan jika makan bersama dalam satu wadah meski makanannya sedikit bisa memberikan efek kenyang, namun itulah anggapan yang beredar di beberapa kalangan bahwa kebersamaan itulah yang secara psikologis memberikan efek kenyang.
            “tambah bro?” tanyaku kepada Fuad.
            “enggak bro” jawab Fuad.
            “emang kenyang bro?”
            “alhamdulillah kenyang bro”
            “syukurlah kalau gitu, ntar marah purah mamakmu pulang-pulang anaknya kurus”
            “hahaha...” kami sama tertawa.
            Fuad mulai menyalakan api dari korek gasnya, lalu membakar rokok yang tengah siap sedia di bibirnya. Aku tahu itu merupakan hal yang sangat nikmat baginya, aku sering melihat teman-temanku yang perokok, sesusai makan mereka selalu mencuci mulutnya dengan asap rokok, sepertinya tidak lengkap bila selesai makan tanpa rokok, namun aku belum menemukan orang yang makan nasi dan merokok secara bersamaan.
            “gerak kita bro?” ucapku kepada Fuad setelah sebatang rokok habis.
            “boleh bro” jawab Fuad.
            Kami berdiri dari dudukan, lalu kami bersihkan celana bagian belakang dengan menepuk-nepuk debu ata pasir yang kemungkinan menempel. Kami kembali menyebrangi jalan dan menyusuri sebelah kiri jalan dari arah Binjai menuju Aceh.
            “bro... kalau dapat bus cocok kita langsung berangkat aja ya?” tanyaku kepada Fuad.
            “boleh bro... udah mulai larut juga nih  kan”. bersambung ....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendakian Gunung Pusuk Buhit

PMR Madya dan Wira Sekolah Kallista Mengikuti Pelantikan PMR Se-Kota Batam Tahun 2017

Penyampai Pesan Kematian