Surat Untuk Sendi
Bogor, 12 April 2017
Kepada teman karibku
Sendi Permana Perangin-angin
Di Yogyakarta
Assalamu’alaikum. Semoga kau tetap energik!
Apa kabar teman? Aku yakin kau
selalu bisa dan selalu energik (kata-kata yang sering kita kutip dari tulisan teman
kuliah Pak Sugiharto)! Beberapa tahun yang lalu kita masih hidup bersama dalam
satu kota (Medan) dan satu pulau (Sumatera). Tapi kini semuanya jauh berbeda,
kau dan aku sudah tidak di Pulau Sumatera lagi. Siapa yang dapat menerka-nerka
jalan hidup kita? Hanya Allah yang Maha Mengetahui dan Mengendalikan jalan
hidup kita, yang jelas kita hanya bisa berusaha dan berdoa. Nyatanya saat ini
kita sedang berada di satu pulau (Jawa), meskipun aku di Kota Bogor (Buitenzorg) dan kau di Kota Yogyakarta.
Tujuan kita loncat dari Sumatera ke
Jawa adalah sama, untuk mengejar mimpi yang masih tertunda, tidak lain dan
tidak bukan adalah untuk melanjutkan pendidikan. Bedanya, kalau kau udah resmi
menjadi mahasiswa magister UGM (Universitas Gajah Mada), sedangkan aku masih
calon mahasiswa magister Unhan (Universitas Pertahanan). Doakan temanmu ini
lulus ya Send, Biar sama-sama tambah panjang nama kita.
Jangan menyangka kalau aku
menulis surat ini untuk menceritakan betapa berat nya beban hidup yang dialami
Zali saat ini dan nanti, ya Allah...ampun kan hamba, semoga hari-hari Zali
kedepannya lebih cerah. Amiin. Zali biar lah berlalu, karena kita sudah
berupaya memperjuangkannya dengan sepenuh hati, namun apa daya si kawan masih
tetap aja pesimis. Tapi bolehlah ku ulas sedikit potret kehidupan Zali yang
terakhir, saat-saat dimana aku hendak meninggalkannya dalam keterpurukan, bukan
nya aku tidak mau menemaninya di saat ia sedih, hanya saja aku juga harus berangkat
ke Bogor untuk melaksanakan ujian seleksi masuk Unhan di Sentul pada waktu itu.
Jadi tidak ada lagi harapan untuk Zali menjadi mahasiswa Unimed (Universitas
Negeri Medan), karena di dalam peraturan univrsitas, mahasiswa yang tidak bayar
uang kuliah selama tiga semester berturut-turut dinyatakan Drop Out. Tapi ketika terkahir aku hubungi dia, katanya dia sudah bekerja
di salah satu pabrik yang ada di Jalan Medan-Binjai. Kita doakan aja rezeki
kawan itu manjur, tau-tau aja beberapa tahun kedepan dia sudah jadi kepala
pabrik. Amiin.
Sebenarnya aku mau cerita
tentang sepenggal kisah hidupku di Kota Bogor. Sudah dua bulan aku berada di
kota hujan ini, Saat ini aku ngontrak di Kp. Tanah Sewa Jl. Neglasari 2 RT.
01/03 Kelurahan Ciparigi Kecamatan Bogor Utara. Baru dua minggu aku ngontrak
disini, sebelumnya aku tinggal di rumah pamanku selama sebulan lebih. Yang mau
aku ceritakan ini adalah kejadian yang ku alami saat berada di salah satu
mesjid di sekitar sini, sebut saja namanya Mesjid Al-Ikhwan. Menurut ku cerita
ini cukup janggal, dan cukup layak aku ceritakan pada mu, siapa tahu setelah
membacanya ada inspirasi yang kau dapat. Mencoba membuat mu tertawa dan
merenung!
Kita mulai dari cerita yang
pertama ya. Selasa, 28 Maret 2017. Sore itu aku berangkat ke mesjid hendak
menunaikan sholat maghrib. Sesampainya di mesjid, yang ada hanya aku dan
seorang laki-laki yang sudah cukup tua, sementara waktu adzan maghrib tinggal
beberapa menit lagi.
“Berapa menit lagi adzan pak?”
, tanyaku kepada bapak tersebut.
“Lima menit lagi” , jawab bapak
tersebut.
“Loh itu kan lagu dangdut pak!”
, ucapku dalam hati.
Aku pun melaksanakan sholat
sunnah tahiyatul mesjid sembari menunggu waktu adzan yang tinggal lima menit
lagi.
“Sudah boleh adzan pak?” ,
tanyaku lagi.
Aku bertanya seperti itu,
karena aku tidak tega membiarkan bapak tersebut adzan. Maklum lah Send, kau
tahu lah gimana suara orang tua kalau sudah adzan. Bukan maksudku merendahkan,
kalau ada yang masih muda kenapa harus yang tua, karena sampai saat itu belum
ada jema’ah lain yang datang. Lagi pula ini bukan kali pertama aku adzan di
mesjid tersebut. Sebelumnya aku sudah perna adzan di waktu shubuh, itu pun
karena disuruh seorang bapak yang situasinya saat itu hanya ada kami berdua di
dalam mesjid. Yah aku juga gak berani adzan sembarangan adzan tanpa ada izin
dari jema’ah setempat, namanya juga aku kan new
comer.
“Sebentar ya”, jawab bapak
tersebut.
Ia pun berjalan ke arah bedug
dan kentongan untuk memukulnya, menandakan bahwa waktu adzan maghrib telah
tiba. Kalau kita dengar cara bapak itu memukul beduk dan kentongan, ya...gak
jauh-jauh beda la dengan drummer Blink 182, Eh...maksudku dengan yang kita
lihat di televisi selama ini. Setelah beduk selesai dipukul, aku pun
mengumandangkan adzan dengan lantang!
Enggak usah ditulis ya kalimat
adzannya Send. Aku rasa kau juga sudah hafal. Saat aku mengumandangkan adzan
satu-persatu jema’ah pun berdatangan sambil melirik ke arahku. Aku tidak tahu
pasti apa yang ada dipikiran mereka, apakah mereka terkagum-kagum dengan
suaraku emasku? Atau jangan-jangan telinga mereka serasa seperti ditusuk duri?
Ah... aku tidak perduli dengan semua itu, yang penting niatku baik, mengajak
orang sholat. Kalau menurutku, karena mereka baru melihat sosok lelaki yang
belum mereka kenal adzan di mesjid tersebut, ya wajar aja kalau mereka melirik
seperti itu.
Setelah mengumandangkan adzan,
aku dan beberapa jema’ah lainnya pun melaksanakan sholat sunnah qabliyah
maghrib. Setelah aku selesai sunnah, aku pun melirik ke sekelilingku, ternyata
masih ada jema’ah yang masih melaksanakn sholat sunnah. Setelah aku pastikan
tidak ada lagi jema’ah yang melaksanakn sholat sunnah, aku pun segera iqamah
tanpa harus berlama-lama lagi, karena seperti yang kita ketahui waktu sholat
maghrib lebih singkat dibandingkan sholat wajib yang lainnya.
Sekonyong-konyong! Aku merasa
ada kejanggalan di mesjid ini. Kau tau apa yang terjadi Send? Setelah aku
iqamah hampir semua bola mata yang ada disitu tertuju ke arahku, bukan karena
wajahku mengalihkan dunia mereka, bukan karena parasku tampan dan rupawan, tapi
seolah-alah aku ini telah melakukan kesalahan. Beberapa jema’ah saling berbisik
satu sama lain, aku itu merasa banget send.......kalau mereka itu menceritakan
aku. Aku kan jadi malu, jadi bahan pembicaraan publik.
Mencoba untuk menenangkan diri
dan mencari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi, aku pun mendekati salah
seorang jema’ah yang tengah duduk dihadapanku.
“Kenapa ya pak?”, tanyaku
dengan lembut dan penuh tanda tanya.
“Imamnya belum datang,
seharusnya jangan iqamah dulu” , jawab bapak tersebut.
“Imam???” , tanyaku dalam hati.
“Maaf ya pak, saya tidak tahu
kalau disini seperti itu” , ucapku.
“Ya sudah tidak apa-apa” , ucap
bapak tersebut.
Jrengjreng.......Akhirnya sosok
yang dinanti-nanti datang juga. Seorang kakek yang usianya sekitar enampuluh
lima tahun keatas, berjenggot panjang nan putih, tubuhnya tergolong tinggi dan
ideal untuk pria seumurannya, memakai peci dan gamis berwarna putih, serta
sorban yang digantunggkan di bahu sebelah kirinya. Ternyata kakek ini yang
dimaksud imam oleh si bapak tadi.
“Ada apa ini?”, tanya kakek
tersebut sembari berjalan dari pintu mesjid menuju sejadah imam.
“Tau tuh orang, sudah adzan
aja!” , ucap salah seorang jema’ah dengan nada sumbang.
Akhirnya kami pun memulai
sholat berjama’ah. Satu yang dapat aku simpulkan dari peristiwa tersebut,
jema’ah di mesjid Al-Ikhwan sepertinya mereka tidak akan memulai sholat
berja’mah kalau sang kakek belum tiba di tengah-tengah mereka. Yang menjadi
pertanyaan besar bagiku, kenapa sholat berjama’ah tidak dimulai saja, tanpa
harus menunggu kehadiran kakek tersebut. Secara jema’ah yang hadir disitu sudah
lebih dari tigapuluh orang, bissa kockk !
Banyak kok orang tua yang hadir disitu, apa mungkin mereka gak bisa jadi
imam?
Bagiku melihat kakek tersebut
menjadi imam bukan hal yang pertama bagiku, karena sebelum-sebelumnya aku juga
sudah pernah sholat berjama’ah dengan nya. Yah...aku bersyukur aja, melalui
peristiwa ini Allah menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi di mesjid tersebut.
Kalau aku ingat lagi, selama aku sholat disitu memang tidak pernah aku dapati
imam selain kakek tersebut. Setelah kejadian itu, aku selalu memperhatikan
dengan seksama, ternyata memang sholat berjama’ah tidak akan dimulai kalau si
kakek belum menginjakkan kakinya di Mesjid Al-Ikhwan.
Bagiku kebiasaan yang dianut
masyarakat disitu terlalu mendewakan beliau, tidak memberikan kesempatan buat
orang lain untuk menjadi imam. Sekitar limapuluh meter dari mesjid tersebut ada
sebuah musholla yang cukup sering aku datangi. Jika berjalan dari kontrakanku
musholla tersebut lebih dulu dapat, hanya saja untuk kesitu harus menyebrangi
kali terlebih dahulu, tenang sudah ada jembatan permanen, jadi gak perlu naik
rakit. Di musholla tersebut memiliki kebiasaan yang berbeda dengan mesjid yang
aku maksud, kalau disitu imamnya not just
one. Sudah beberapa kali aku sholat disitu, ada sekitar empat imam yang
sudah aku dapati. Meskipun bangunan musholla tersebut lebih kecil dibandingkan
Mesjid Al-Ikhwan, tapi hati dan kaki ini lebih sering mengarahkanku untuk
melangkah ke musholla tersebut. Cerita pertamanya berakhir sampai disitu aja
send.
Check this out! Semoga kau
belum bosan membaca ceritaku ya send, karena kita akan memasuki cerita yang
kedua. Cerita ini memiliki tema yang jauh berbeda dari cerita pertama, hanya
saja lokasi shootingnya masih di Mesjid yang sama, Mesjid Al-Ikhwan. Cerita ini
lebih tegang dari cerita pertama.
Biar kau lebih yakin lagi, baca aja ceritanya send, tapi aku ingatin
sebelumnya, kau jangan ikut-ikutan tegang
ya!
Rabu, 29 Maret 2017. Sore itu
aku berjalan dengan seorang temanku dari kontrakan menuju mesjid Al-Ikhwan.
Tapi aku tidak melewati jalan yang biasanya aku lalui, kalau biasanya aku lewat
jalan yang dari depan mesjid, kali ini aku lewat jalan yang dari belakang
mesjid. Aku penasaran aja lewat jalan itu, karena temanku ini biasanya kalau
mau kesitu lewat jalan yang dari belakang mesjid.
Mesjid ini tidak ada pagar dan
pekarangan nya, jadi antara dinding mesjid dan rumah penduduk di sekelilingnya
hanya dibatasi oleh jalan yang lebarya sekitar satu meter. Bisa dikatakan
disini itu kawasan padat permukiman, Kalau sudah dua sepeda motor datang dari
arah yang berlawanan, mau tidak mau harus ada yang mengalah, biar tidak terjadi
kemacatan. Itu kalau sepeda motor, lain lagi ceritanya kalau dua anak manusia
dewasa lewat saling berpapasan, itu bahunya bisa saling senggol-senggolan.
Begitulah caraku mendeskripsikan padatnya permukiman disini.
Sebelum mendapatkan pintu
mesjid, aku harus menelusuri bagian dinding luar mesjid terlebih dahulu, yang
mana posisinya tepat di sebelah kananku. “...Tiba-tiba langkahku terhenti...” ,
kutipan lirik lagu Ebiet G. Ade, saat melihat lubang pentilasi di dinding
mesjid. Sepertinya ada magnet yang menarik mataku untuk melihat situasi dan
kondisi di dalam mesjid. Aku mau tahu aja apa sudah ada yang datang, karena
tidak jarang aku kesini mesjid masih jauh dari pengunjung.
Bahkan lebih parahnya lagi, aku
pernah mendapati pintu mesjid masih dalam keadaan digembok, padahal sepuluh
menit lagi itu waktunya adzan shubuh. Shock
banget tau nggak! Aku udah buru-buru dari rumah biar gak ketinggalan sholat
berjama’ah, eh...tapi apa yang kudapatkan? Kalau tadi aku datang dua jam
sebelum masuk waktu shubuh, wajar lah pintunya belum dibuka. Akhirnya aku putar
arah menuju musholla yang aku ceritakan sebelumnya.
Mari kita arahkan lagi
pandangan ke lubang pentilasi mesjid, Aku perhatikan seluruh bagian dalam
mesjid, mulai dari atas hingga ke bawah, dan dari kiri ke kanan. Kesan awal
yang ku dapat adalah gelap, tidak ada siapa-siapa, dan pintu depan mesjid masih
tertutup. Tapi tidak gelap gulita, karena masih ada cahaya yang menelusup masuk
ke dalam mesjid.
“Och noch!!!!!!!” , aku
berteriak dalam hati.
Dengan pijakan kaki yang tidak
bergeser sedikitpun dan mata yang tidak berkedip sedikitpun, aku masih fokus
dengan apa yang aku lihat. Awalnya ku merasa seperti mimpi. Aku coba
mengedipkan mata dan membukanya kembali, tapi tetap saja apa yang ku lihat
benar-benar nyata. Memang benar kata orang-orang, kenyataan tidak bisa
dipungkiri. Cobalah menerima kenyataan meskipun itu pahit.
Tapi aku tidak akan mampu menerima
kenyataan yang ku lihat saat ini, tidak ada toleransi! Aku menyaksikan dengan
matakepalaku seorang anak laki-laki terbujur di samping dinding mesjid, tapi
bukan terbujur kaku! Dia terbujur sambil mengurut kemaluanya dengan begitu
kencang! Dia gunakan tangan kanannya mengurut kemaluannya dari bawah ke atas,
atas ke bawah, begitu seterusnya. Kejam! Dia onani di rumah Allah! Apa gak ada
tempat lain buat onani? Apa dia gak punya kamar mandi buat melangsungkan
misinya? Bijak-bijak dong dalam memilih tempat onani, walaupun kenyataannya itu
dilarang.
“Abang lagi liat apa?” , tanya
temanku Ian.
“Ada anak kecil lagi onani!”,
aku berbicara dengan nada pelan.
Ternyata keberadaan kami sudah
diketahui anak tersebut, karena suara si Ian membuat anak tersebut tersadar dan
membuyarkan konsentrasinya. Anak tersebut dengan secepat kilat memasukkan
kemaluannya kembali kedalam sangkar. Aku dan Ian pun segera bergegas ke TKP
untuk mencegah kejadian yang lebih parah lagi. Bak badan intelegent yang tengah menyergap musuh aku pun segera membuka pintu
mesjid. Apa yang aku dapatkan? Anak tersebut pura-pura tertidur pulas.
“Hmmm...kau kira aku bodoh?
Pura-pura tidur kau!”, ucapku dalam hati.
Aku mengira dia bakal lari
setelah kami mengetahui keberadaannya. Tapi dia malah mencoba menunjukkan
bakatnya dalam dunia acting di
hadapan kami. Aku pun segera wudhu untuk melaksanakan sholat tahiyatul mesjid.
Aku sholat berjarak dua meter dari samping anak tersebut. Sampai aku selesai
sholat dia masih pura-pura tidur, sesekali dia menggerakkan badannya seperti
gerak orang yang sedang tertidur pulas. Dia kira kami bakal percaya kalau dia
memang benar-benar tidur.
Sebenarnya aku mau membangunkan
dia dari kepura-puraanya itu, menasehatinya, mengadukannya kepada orang tuanya
dan penduduk setempat. Bahkan kalau dituruti emosiku, aku ingin mengarak dia
dihadapan orang banyak, memetong-motong kemaluannya, digoreng, lalu diberikan
kepada kucing. Tapi aku tidak setega itu send, aku masih memiliki belas
kasihan. Aku serahkan semuanya kepada Allah, biarlah orang yang memberi
pelajaran dan ganjaran atas apa yang telah ia perbuat.
“Allahu akbar Allahu akbar.......”, kumandang adzan dari
mesjid lain dikejauhan.
“Eh mau kemana? Kan belum nembak, kenapa gak sholat dulu baru
pulang?”, ucapku dalam hati.
Dia pun berlalu dari
pandanganku. Satu-persatu jema’ah mulai berdatangan ke mesjid untuk menunaikan
ibadah sholat ashar. Aku pun merelakan kepergiannya, meski aku belum sempat
merekomendasi tempat yang asyik buat gitu-gituan
lagi, just kidding! Aku masih kepikiran,
apa dia sudah bisa memproduksi susu
dari kemaluannya. Jika aku perhatikan sepertinya dia masih duduk dibangku SMP
tingkat awal, masa-masa dimana mulai mengenal seks. Kalau memang dia sudah bisa
menghasilkan benih-benih kehidupan, mari kita doakan agar dia menjaganya dengan
baik. Amiin.
Itu lah sepenggal kisah hidupku
selama berada di kota hujan ini. Aku
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari mu teman, jika ada.
Sebelum aku mengakhiri hubungan kita, eh...maksudku surat ini, aku meminta maaf
terlebih dahulu apabila ada kesalahan dalam pemilihan dan penyusunan kata,
kalau-kalau ada kalimatku yang menyinggung dan menyayat perasaanmu. Hatur nuhun, karena sudah menerima dan
membaca surat ini.
Wassalamu’alaikum. Salam
energik!
Di kaki Gunung Sinabung di tepi Danau Lau Kawar, Sabtu, 25 Februari 2012, 10.19 WIB. |
Dari temanmu,
Hakim Syah Reza Lubis
Komentar
Posting Komentar