FROM ZERO TO ZERO - Di Batas Kota Medan
Oleh : Hakim Syah Reza Lubis
numpang pickup dari simpang sei sikambing ke simpang kampung lalang, 16 Desember 2013. |
Menjelang
magrib kami tiba di Simpang Kampung lalang, lalu kami turun dari pickup dan
menghampiri pak supir.
“makasi
banyak ya pak...” ucap kami bersamaan.
“yoo...
sama-sama dek” jawab bapak tersebut.
Kami menepi sejenak dari badan jalan. kami tidak ngamen
lagi disni. Kami lebih memilih mencari tempat untuk berdiam sejenak selama
suasana maghrib berlangsung. Tiba-tiba pikiran tertuju ke Meilinda yang disapa
dengan indah, sebab rumahnya dekat dari sini, dibelakang Pasar Kampung lalang.
“bro...
kita singgah bentar ya kerumah kenalanku di belakang Pasar Kampung Lalang”
ucapku kepada Fuad.
“oke
bro...” jawab Fuad.
“bentar
ya aku sms dia dulu”
“oke
bro... aku beli rokok dulu ya” ucap Fuad sambil mengajakku ke sebuah warung
kecil yang berdiri ditepi parit. Di antara kami dua hanya Fuad yang doyan sama
rokok, sementara aku lebih doyan wanita dan ngemil, tapi sepertinya fuad juga
doyan wanita, sama seperti laki-laki normal lainnya.
Aku
keluarkan handphone dari saku celana untuk menghubungi Indah. Aku membawa dua
handphone, blackberry dan nokia kecil yang tidak punya fiture kamera apalagi
fasilitas internet, fungsi utamnya hanya untuk menelepon dan membuat sms, namun
dilengkapi dengan flaslight dan game ular di dalamnya, meskipun demikian dia
tetaplah handphone idola yang selalu aku bawa saat melakukan travelling sebab
batreinya mampu bertahan hingga 72 jam serta memiliki kekuatan menangkap sinyal
meski dibawa ke tempat yang enggan dikunjungi sinyal.
Aku
menghubungi Indah lewat sms.
“assalamu’alaikum
ndah, lagi dimana, abang boleh main ke rumah? abang lagi di kampung lalang nih”
“wa’alaikumsalam
bang, ndah lagi dirumah bang, kok mendadak gitu, main la kerumah”
“oke dek
abang kesana ya, abang bedua nih sama teman abang”
Indah merupakan kenalan ku di Pitu Room yang merupakan
tempat band-band indie Medan menampilka karyanya, ternyata dia juga menikamti
penampilan band-band bergenre melodic
punk hingga metalcore, saat itu
aku bersama bandku “Last Day With Friend” baru saja menyelesaiakan penampilan
musik, setelah turun dari stage teman satu bandku mengenalkan aku dengan Indah,
disitulah awal perkenalan kami. Dipertemuan kami selanjutnya, masih di Pitu
Room, setelah aku dan bandku perform, aku
pernah mengantarkan Indah pulang ke rumahnya, dari situlah aku tahu rumahnya.
Indah masih sekolah di SMK Amir Hamzah dan sebagian personil bandku juga
sekolah di situ, ternayat kami keluarga besar YPI (yayasan pendidikan islam)
Amir Hamzah, aku juga alumni dari situ, hanya saja aku di SMA.
Setelah konfirmasi dengan Indah kami berjalan menuju
Pasar Pinang Baris, suasana disini memang selalu menjadi langganan untuk macat,
selain aktivitas pasar tradisonal yang sampai memakan badan jalan, disini
merupakan pertemuan arus lalu lintas antara Kota Medan dengan Kota Binjai sebab
banyak orang Binjai yang bekerja dan menempuh pendidikan di Medan, ditambah
lagi angkutan umum lintas kota yang suka mangkal disini sambil menunggu
penumpang.
Jalan disni becek dan sedikit berlumpur dikarenakan
limbah pasar yang setia menyelimuti aspal. Kami tiba di simpang sebuah lorong
yang menjadi jalan masuk menuju rumah Indah, rumahnya tidak jauh lagi dari
sini, kurang lebih 30 meter lagi, di sini merupakan kawasan padat permukiman.
Kami belok ke kanan melewati lorong yang lebih kecil lagi, kami tiba di rumah
Indah saat adzan mulai di kumandangkan.
“ini bang Reza dan kawannya, yah...” ucap Indah
memperkenalkan kami kepada ayahnya yang tengah berdiri di depan pintu.
Kami menyalam ayah Indah, lalu beliau mempersilahkan kami
untuk duduk.
“buatkan minumlah sama kawannya ndah” perintah beliau
kepada Indah.
“iya yah...” jawab Indah.
Kemudian aku memanggil Indah dengan nada pelan.
“kami numpang shalat maghrib la dek”
“oh iya bang... bentar ya ndah siapkan sjadah dulu” ucap
indah.
Setelah itu indah pun menyiapakan sajadah, lalu dia
menghampiri kami lagi.
“wudhu lah bang... udah ndah siapkan itu”
Setelah selesai shalat maghrib kami dan Ayah Indah duduk
di kursi yag ada di depan teras rumah mereka, keberadan kami disaksikan oleh
tumbuh-tumbuhan yang sesaat lagi akan mendengarkan pembincangan kami. Kami
belum ada memulai perbincangan, biarkan saja beliau yang memulai deluan, sebab
kami canggung harus memulainya dari mana.
Keheningan di antara kami tidak bertahan lama, seketika
Indah datang dari dalam membawakan hidangan untuk kami. Indah menaruh satu
persatu gelas yang berisikan teh manis hangat ke atas meja. Asap yang keluar
dari dari teh manis hangat seketika terlihat seperti bentuk tangan yang
memannggil-manggil kami untuk menjamahnya. Sungguh kami ingin meminumnya, namun
tidaklah pantas bila belum dipersilahkan dan menunggu suhunya sedikit menurun.
“ini diminum bang” ucap Indah setelah selesai menaruh
beberapa gelas teh manis ke atas meja. Indah berlalu kedalam rumah.
“ayo diminum dek...” ayah Indah turut mempersilahkan.
“iya pak...” jawabku kepada beliau dengan nada pelan dan
malu-malu. Ternyata aku masih punya malu. Aku pikir tidak, hahaha....
Terdengar oleh kami beliau tengah menyalakan korek gas,
kemudian beliau mengarahkan apinya ke sebatang rokok yang tengah bertengger di
antara kedua bibirnya. Setelah sukses membakar rokok, beliau melakukan tarikan
pertama dan meniupkan asapnya ke udara.
“kalian ada yang merokok? Nih rokok...” tanya beliau
sembari menawarkan kami rokok di taruh di atas meja.
“saya gak pak... Fuad yang merokok pak” jawabku kepada
beliau.
“baguslah gak merokok, nih rokoknya...” ucap beliau
sembari mempersilhakn Fuad untuk menghisapnya.
“permisi pak....” ucap Fuad saat mengambil rokok yang ada
di atas meja. Kemudian fuad juga menyalakannya.
Dari beberpa perokok yang menawarkan rokok kepadaku,
setelah mengetahui kalau aku tidak merokok mereka selalu menyatakan pernyataan
yang sama “baguslah nggak merokok”, hahaha... sampai sekarang aku masih bingung
denga hal itu, kalau mereka tahu bagus tidak merokok, lantas kenapa mereka
masih merokok? Jangan mereka menganggap kalau merokok itu “lebih bagus” dari
pada tidak merokok.
Sejak SMP aku sudah bergaul dengan teman-teman yang
perokok, bahkan hingga SMA dan kuliah, aku tidak pernah menjauhi mereka karena
mereka perokok. Anak-anak cowok di kelasku, terutama yang hobbi mendaki gunung,
mereka adalah pendokok, setiap kali kami hendak mendaki gunung mereka selalu
mempersiapkan dengan matang stok rokok selama diperjalanan terutama untuk di
puncak gunung, sementara aku lebih memikirkan cemilan dan makanan, sebab aku
lebih doyan ngemil dan makan, apa lagi saat berada di daerah yang cuacanya
dingin.
Sejauh ini mereka memahami aku yang tidak merokok. Aku
hanya tidak suka dengan orang yang ingin dibilang hebat karena telah merokok,
apa lagi menganggap lemah orang yang tidak merokok. Ada yang juga mengatakan
“kalau tidak merokok tidak jantan”, hahaha... aku sangat mengecam kalimat tersebut,
bagiku merokok bukanlah simbol kejantanan, sungguh aku siap berkelahi sampai
mati meskipun aku bukan seorang Smoker, jelas-jelas
seorang banci juga merokok!
Tidak merokok adalah jalan hidup yang telah aku pilih,
insya’allah sampai aku mati nanti. Ada beberapa alasan yang membuat aku tidak
meroko; pertama karena memang menurutku merokok tidak enak dilidah, tidak
mengeyangkan, dan tidak bergizi, sebab aku orang yang doyan ngemil, jadi aku
lebih memilih mengorbankan uangku untuk membeli makanan. Alasan kedua aku
terinspirasi dari tulangku, tulang merupakan panggilan untuk abangnya ibuku
dalam adat Mandailing, tulang Fahmi usianya jauh lebih tua dari ayahku, namun
wajahnya lebih muda bila dibandingkan ayahku yang merokok, dari situ aku
memilih tidak merokok agar tidak kelihatan tua, agar wanita yang kelak menjadi
istriku senang memandang wajahku. Alasan yang ketiga aku tidak mau menyusahkan orang
terdekatku bila aku merokok, apabila aku mengidap penyakit karena mengkonsumsi.
Yang keempat adalah alasan yang paling romantic, sungguh aku sudah berpikir
jauh kedepan, bila kelak aku menikah nanti aku lebih memilih uangku
dialokasikan untuk kebutuhan rumah tangga, biar dapur gak ngebul!
Sebenarnya aku pernah merokok tapi sudah pensiun, maafkan
aku mak... yah... aku tidak pernah menceritakannya kepada kalian, lagian untuk
apa aku ceritakan, itu hanya membuat dada kalian lebih sesak dari orang yang
mengidap kanker paru karena merokok. Pertama kali merokok adalah saat aku kelas
enam SD, aku masih ingat jelas kejadiannya, saat itu aku dan beberapa teman
sekelasku tengah mengerjakan tugas kelompok di rumah teman kami Muhammad Hakim,
namanya sama dengan dengan namaku Hakim Syah Reza Lubis, aku di juluki hakim
satu dan dia hakim dua, ada juga yang menjuluki ku hakim pintar dan dia hakim
bodoh, aku tidak yakin dia bodoh, karena tidak ada mahkluk tuhan yang bodoh,
mungkin karena rangkingku jauh lebih tinggi dari dia, rangkingku biasanya tidak
jauh dari tiga besar, sedang ia lebih sering menduduki peringkat terakhir.
Rumah hakim tidak jauh dari sekolah kami SDN 060849,
orang-orang menyebutnya nama daerahnya lorong enam. untuk mencapai rumahnya,
dari sekolah kami harus melewati jalan yang membentang di sepanjang tepian
Sungai Deli, yaitu sungai utama yang menjadi urat nadi Kota Medan. Saat itu
kami tengah boring dengan tugas kelompok yang sedang kami kerjakan, aku dan
hakim pergi ke sebuah rumah kosong yang ada di tepi sungai, rumah tersebut
terbuat dari beton, tanpa atap, sebab atapnya juga berupa lantai beton, rumah
tersebut berada di seberang kuburan lorong enam, disekelilingnya banyak
tumbuhan menjalar yang menutupi tanah, disitulah kami menjalankan misi kami,
menyalakan rokok yang telah ia sediakan dan dibeli di warung, sebatang rokok
kami hisap secara bergiliran.
Itu merupakan pengalaman pertamaku menghisap rokok,
sedangkan pengalaman terakhirku merokok adalah ketika aku di kelas satu SMP,
saat itu aku dan anak laki-laki sekelasku tengan berjalan menuju lapang sepak
bola, tempatnya kurang lebih 1 km dari sekolah kami SMP 16, lapanganya terletak
di Perumahan Pondok Surya. Selama berjalan kaki aku menghisap sebatang rokok,
aku sempat bertemu dengan seorang abang yang tinggal di lingkungan rumahku, dia
mengatakan “merokok kau sekarang ya kim”, aku hanya bisa tersenyum sambil menyembunyikan
rokok.
Kembali ke obrolan kami dengan bapaknya Indah.
“habis dari mana kalian nih?” tanya bapak Indah ke kami.
“dari Petisah pak, kebetulan kami lewat Kampung Lalang,
jadi mampir kemari, bolehkan pak?”
“hahaha... ya boleh la, sering-sering la main kemari”
“hahaha...” kami turut tertawa.
“terus kalian mau kemana habis nih?”
“mau ke Aceh pak”
“bah... jauh kali, mau kerja kalian kesana?”
“hehehe... enggak pak, mau jalan-jalan aja, kebetulan
lagi libur kuliah”
“hati-hati lah kalian di perjalanan, oh ya... bapak
kedalam dulu ya”
“oh iya pak” jawab kami kepada beliau.
Setelah bapak Indah masuk kedalam rumah, sekarang giliran
anaknya yang menghampiri kami, kemudian ia duduk di dekat kami.
“kenalin nih ndah teman abang” ucapku sembari
memperkenalkan Fuad kepadanya.
“Indah...” ucapnya sembari menjabat tangan Fuad.
“Fuad...” melakukan hal yang sama.
“enak kali teh manis buatan adek” ucapku kepada Indah
untuk memecah kebekuan suasana.
“hahaha... bisa aja abang, baru teh manis aja pun”
jawabnya sambil tertawa kami pun ikutan tertawa.
“oranga abang mau kemana nih, bawa gitar sama ransel
gitu?”
“mau berpetualang ke Aceh dek” jawabku.
“ih... jauh kali bang, kapan baliknya?”
“baliknya? Belum tahu juga dek, rencana kami sih
seminggu”
“lama juga ya bang, sehat-sehat la abang disana...”
“mau ikut gak? Kalau ya ganti bajunya sana...”
“hahaha... gak la bang, adek kan masih masuk sekolah,
lagian ayah juga mana ngasih sejauh itu”
“hahaha... abang becanda kok”
Aku melihat jam tangan, sudah pukul 19.00 WIB. Sudah
waktunya kami beranjak meninggalkan rumah Indah, jika terlalu lama di sini kami
akan kemalaman tiba di Binjai, binjai merupakan salah satu kotamadya yang
paling dekat dengan kota, bila dihitung dari titik nol Kota Medan, jarak nya 20
km ke arah barat.
Setelah pamit dengan keluarga Indah, kami segera
meninggalkan rumahnya beserta isi-isinya. Indah mengantarkan kami hingga ke
simpang gang menuju rumahnya.
“kami pergi dulu ya ndah” ucapku ku kepada Indah.
“iya bang...” jawab Indah.
“makasi yah buat jamuannya dek, assalamu’alaikum...”
“iya bang, sama-sama.... wa’alaikumsalam”
“deluan ya dek” ucap Fuad kepada Indah.
“iya bang... hati-hati yah”
Kami melanjutkan langkah kaki menuju jalan utama yaitu
Jalan Medan-Binjai, kemudian kami menyebrangi jalan yang sudah diterangi cahaya
lampu jalan dan lampu kendaraan yang tengah lalu lalang, teriakan klakson
kendaraan sahut-menyahut sebagai tanda masih adanya aktifitas lalu lintas.
“bro... kita lanjut ngamen ke Binjai ya?” ucapku kepada
Fuad.
“ok bro... naik apa kita nih?” jawab Fuad
“naik angkot ajalah... kalau udah malam gini susah
numpang pickup bro...”
“kenapa gitu bro?”
“kalau sudah malam gini biasanya supir pickup jarang ada
yang mau ngasih tumpangan, karena sudah gelap mereka susah juga memperhatikan
orang, jadi mereka lebih cari aman aja, dari pada mereka ngangkut orang yang
dapat membahayakan keselamatan mereka”
“oh gitu ya... jadi naik apa kita nih?”
“ada tuh angkot warna hijau yang langsung ke Binjai”
Setelah menunggu angkot yang kami maksud, akhirnya yang
dinanti datang juga.
“itu angkotnya sepertinya bro...” ucapku kepada Fuad.
“yang mana bro?”
“itu yang ada tulisan Binjai-nya”
Setelah angkot mulai mendekat, kami pun memintanya untuk
berhenti. Kami pun memasuki angkot yang tidak begitu dipadati penumpang, kami
disambut oleh dentuman musik yang bersumber dari speaker angkot, suasan
remang-remang didalam angkot menjadi pertanda awal perjalanan malam kami menuju
0 km Indonesia. bersambung...
Komentar
Posting Komentar